Tidak dapat dipastikan siapa yang melepas hewan buas itu, jika virus Covid-19 boleh disebut sebagai hewan buas. Pada awal kemunculannya, intelijen Israel menuduh bahwa ia sengaja dilepaskan dari pusat laboratorium virus di Wuhan. Sementara Donald Trump, terang-terangan menyebut itu sebagai virus Tiongkok (China’s virus).
Covid-19 vs Dunia
Dunia telah mafhum bahwa Covid-19 merebak hebat pertama kali dari Wuhan dan kemudian menumbangkan kota-kota lainnya di Tiongkok seperti Shanghai dan Beijing. Jadi, mudah sekali negara-negara pesaingnya, terutama Amerika Serikat yang belum lama ini terlibat perang dagang, menyebut Tiongkok sebagai biang kerok munculnya wabah pandemik kali ini.
Tapi yang paling penting, kita semua menyaksikan bawa Covid-19 belum ada antivirusnya. Dengan kata lain, manusia yang terjangkit virus ini dapat dipastikan bahwa tidak mendapatkan obat yang bisa membunuh virus itu.
Selama ini, obat yang digunakan untuk menyembuhkan pasien adalah obat peningkat kekebalan tubuh, sehingga virusnya mati dengan sendirinya. Atau sebaliknya, jika kekebalan tubuh tidak berhasil mengatasi virus ini, korban jiwa tidak terelakkan lagi.
Israel dan Amerika mengumumkan bahwa mereka sedang mengembangkan antivirusnya. Jadi masih dalam tahapan menciptakan obat yang manjur, belum menemukannya. Sementara itu, Tiongkok, Jepang, Taiwan, dan Korea juga demikian. Negara-negara lainnya hanya bisa menunggu karena tidak memiliki kemampuan saintifik garda utama ketika harus berhadapan dengan wabah pandemik ini. Termasuk Indonesia.
Bisa dikatakan bahwa, hampir semua negara tumbang berhadapan dengan penyakit “pagebluk” ini. Tidak terkecuali negara-negara superpower seperti Tiongkok, Amerika ,dan Rusia. Tapi kita juga tahu bahwa Tiongkok adalah negara yang berhasil meloloskan diri dari segala gempuran Covid-19.
Dalam konteks kemampuan bertahan, bukan hanya Tiongkok yang patut diacungi jempol. Negara-negara seperti Taiwan, Korea, Jepang, dan Singapura juga berhasil melindungi diri dari gempuran hebat virus tanpa DNA ini.
Peradaban yang Tumbang
Artinya, ras manusia berkulit putih dan bermata sipit telah membuktikan dirinya bahwa mereka memiliki kemampuan bertahan hidup (survival) yang kuat. Tiongkok sendiri di zaman dahulu kala dikenal sebagai peradaban tua yang adidaya. Tak ayal bahwa pepatah Arab menyinggung, “Belajarlah walau ke negeri Tiongkok.” Tentu hal ini karena kedigdayaannya.
Bagaimana dengan peradaban lainnya? Iran tumbang. Negeri yang dulu dikenal dengan nama Persia ini tak berdaya melawan serangan dahsyat Covid-19. Walaupun memiliki kemampuan dalam sains dan teknologi canggih, Iran tidak cepat tanggap dalam menciptakan antivirus corona jenis baru ini. Di samping itu, mungkin karena merasa berperadaban tinggi, mereka menganggap remeh penyebaran virus tersebut. Karena itulah virus ini tak segera diatasi.
Negara yang bernasib sama adalah Italia. Meski dahulu dianggap sebagai basis kerajaan terkuat di dunia, yakni Romawi, tapi kini menjadi yang paling terpukul di antara negara-negara lainnya. Banyak orang Italia yang meninggal karena keganasan Covid-19. Bahkan di antara mereka yang masih hidup menyebut bahwa negara mereka akan segera tumbang karena serba tidak siap menghadapi virus mematikan tersebut.
Negara-negara superior abad ke 20 dari benua Eropa, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman tidak bernasib lebih baik daripada Italia. Meskipun apa yang mereka alami tidak separah negara Leonardo da Vinci ini, tapi penanganan yang tidak sigap menyebabkan jatuhnya korban yang tidak sedikit.
Timur Tengah dan Afrika
Anak kandung peradaban Eropa, yakni Amerika Serikat, ternyata tidak kebal dari Covid-19. Saat ini, lebih dari 20 ribu penduduknya terjangkit virus buas ini. Diproyeksikan beberapa bulan ke depan perkembangannya akan sangat masif.
Namun, berbeda dengan kawan terdekatnya, Israel dan Australia. Kedua negara tersebut bernasib mujur. Di samping angka keterjangkitan penduduknya rendah, kesiapan pertahanan dirinya bagus dan sigap. Mereka sangat siap dan kompak dalam mencegah penularan awal Covid-19 di negaranya masing-masing.
Bahkan Australia menerapkan kebijakan untuk tidak menerima warga negara asing masuk ke teritorinya. Sementara jika warga negaranya sendiri datang dari luar negeri, mereka harus dikarantina selama 14 hari.
Sementara itu negara-negara Timur Tengah dan Afrika tidak jelas nasibnya. Sebagian yang maju seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab bisa dengan mudah (dengan tangan besinya) menerapkan kebijakan tertentu untuk mencegah penyebaran Covid-19. Tapi bagaimana dengan Irak, Suriah, Yaman, dan Palestina? Tidak ada jawaban yang pasti. Kecuali nasib mereka di masa mendatang mungkin akan lebih memprihatinkan ketimbang Iran dan Italia.
Bagaimana dengan India dan sekitarnya? Meskipun India baru saja mengumumkan kebijakan lockdown dengan cara yang sangat otoriter dan menindas rakyat, belum tentu mereka mampu mengerem laju penyebaran Covid-19. Terlebih bahwa jika rakyatnya semakin banyak yang memprotes kebijakan pemerintah, maka kerusuhan sosial yang akan ditimbulkan, akan mendorong penyebaran virus tersebut secara lebih masif. Tapi sejauh ini hal tersebut belum terjadi. Mungkin menunggu momen yang tepat.
Di masa lalu, India adalah peradaban kuno yang disegani. Terutama karena negeri ini melahirkan falsafah dan kebijaksanaan hidup yang luhur. Dua agama besar seperti Hindu dan Buddha lahir dari negeri ini.
Sayangnya, India sebagai negara modern seperti kehilangan akarnya. Wajahnya kini tampak kebingungan dan terlalu cemas. Terutama ketika harus mempertaruhkan antara keselamatan rakyat dengan pertumbuhan ekonomi yang terjun bebas.
Strategi Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia, negeri yang dahulu kala dihuni oleh kaum Atlantis yang cerdas, bijaksana dan berbudi pekerti luhur, bahkan di era pra kolonial, pernah berdiri kerajaan agung seperti Sriwijaya dan Majapahit?
Indonesia seperti berhadapan dengan masa depan yang berwajah muram. Di masa awal negara-negara tetangganya menetapkan kebijakan strategis, Indonesia tampak santai. Bahkan para pejabat negara, terutama Menteri Kesehatan terlampau meremehkan keganasan Covid-19.
Kini, ketika nasi sudah menjadi bubur, bahkan pemerintah tak segera menerapkan kebijakan lockdown. Alasannya adalah ketidaksiapan masyarakat dan pertimbangan jatuhnya perekonomian nasional.
Memang pertimbangan ini benar. Tapi secara sembrono menganggap enteng persoalan yang sangat berbahaya di awal, bisa menjadi tanda kekalahan di hari kemudian. Mungkin, tinggal menunggu waktu Indonesia tumbang, apabila pemerintah dan rakyatnya terus-terusan menerapkan strategi santai.
Saya pikir mustahil sikap santai ini diwarisi dari nenek moyang manusia Indonesia di zaman dahulu kala. Karena para leluhur seringkali menasehati pentingnya masalah “eling lan waspada” (ingat dan senantiasa waspada) atau “prihatin lan bisa rumangsa” (prihatin dan mawas diri).
Kendati demikian, kemungkinan menang melawan virus Corona masih senantiasa ada. Harapan itu ada. Hanya saja, syaratnya adalah kita harus memakai strategi yang lebih strategis: strategi perang semesta melawan Covid-19.
Pemerintah dan rakyatnya harus kompak dalam menerapkan keprihatinan, kewaspadaan dan mawas diri nasional. Dengan begitu, mudah-mudahan Indonesia tidak terlalu terlambat mengikuti jejak negara-negara manusia kulit putih dan mata sipit yang terlebih dahulu sukses menangani wabah ini.
Editor: Nabhan