Perspektif

Al-Qur’an dan Rasa dalam Diri Manusia

3 Mins read

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat muslim. Kandungan al-Qur’an banyak sekali menjeskan tentang kehidupan baik kehidupan yang akan datang maupun kehidupan terdahulu, selain tentang kehidupan al-Qur’an juga banyak menyimpan cerita-cerita. Mulai dari cerita para nabi, cerita adanya surga dan neraka, al-Qur’an juga sebagai dasar hukum umat Islam dalam kehidupan.

Nabi dan Surah ‘Abasa

Al-qur’an merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang merupakan mukjizat terbesar. Karena al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi setiap manusia dan juga sebagai pembeda yang hak dan bathil. Menurut Kiai Muhasim Imam Masjid Istiqlal, “semua aktivitas di langit dan bumi serta semua isinya sudah dirangkum di dalam al-Qur’an“.

Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, proses diturunkannya juga merupakan kelebihan lain yang dimiliki kitab suci ini dibandingkan dengan kitab-kitab sebelumnya seperti injil, zabur, dan taurat. Al-qur’an memiliki lebih dari 6.000 ayat yang terdapat dalam 114 surat.

Menurut Aristoteles, manusia ternasuk zoon politicon yang berarti manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lainnya supaya saling menghargai.

Banyak macam rasa yang dapat di alami manusia, salah satunya adanya rasa menghargai ada dalam al-Qur’an surah ‘Abasa ayat 1-11, Allah Swt memberitahu bahwa:

“Dia ( Muhammad ) berwajah masam dan berpaling. Karena orang buta telah datang kepadanya ( Abdullah bin Ummi Maktum ). Dan tahukah engkau  ( Muhammad ) barangkali dia ingin menyucikan dirinya ( dari dosa ). Atau dia ( ingin ) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya?. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup ( pembesar-pembesar Quraisy ). Maka engkau ( Muhammad ) memberi perhatian kepadanya. Padahal tidak ada ( cela ) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri ( beriman). Dan adapun orangnya yang datang kepadamu dengan bersegera ( untuk mendapatkan pengajaran ). Sedang dia takut ( kepada Allah ). Engkau ( Muhammad ) malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan ( begitu )!sungguh, ( ajaran-ajaran Allah ) itu suatu peringatan.”

Dalam  kitab al-Muwaththa karya Imam Malik bahwa surat ini tertuju pada seorang sahabat bernama Abdullah bin Ummi Maktum yang pada saat itu mendatangi Rasulullah Saw. Sahabat tersebut meminta diajarkan tentang Islam. Saat itu, posisi Nabi sedang bersama pembesar Quraisy untuk berdiskusi sehingga mengacuhkan Ibnu Ummi Maktum.

Baca Juga  Benarkah Orang Muhammadiyah Tak Suka Baca?

Acuhnya Nabi terhadap Abdullah bin Ummi Maktum dapat teguran dari Allah pada ayat ke 3-4 dalam surah ini. Maksud dari ayat terdebut adalah, seandainya nabi mengetahui tujuan dari Abdullah bin Ummi Maktum yang meminta diajarkan Islam dan diperdengarkan bacaan al-Qur’an, ternyata lebih besar manfaat bagi dirinya dan lebih baik untuknya.

Hal tersebut tak lepas dari diskusi Nabi ditujukan pada orang-orang Quraisy yang “merasa cukup”. Bukan cukup terhadap harta tetapi mereka tidak memerlukan hidayah. Teguran Allah ini merupakan bentuk “ta’limiyah”, yaitu pendidikan pada Nabi Muhammad ketika menghadapi dua situasi yang berbeda yaitu dihadapkan dengan orang kafir untuk didakwahkan dan orang muslim yang ingin lebih dekat dengan islam. Dalam situasi ini  penting untuk mendahulukan orang Muslim yang ingin mendalami islam daripada mendakwahkan orang kafir yang angkuh terhadap Islam.

Rasa pada Diri Manusia

Peristiwa ini mirip pada zaman sekarang di mana sekolah hanya sekedar sekolah untuk mendapatkan uang jajan bukan sekolah untuk mendapatkan ilmu. Kalau sekolah untuk mendapatkan ilmu, maka anak sekolah akan dapat identitas sendiri di mata orang seorang guru bukan hanya untuk dapat uang jajan. Kita harus menghargai orang yang membutuhkan banyak ilmu daripada orang yang tidak membutuhkan ilmu.

Selanjutnya rasa pada manusia yaitu rasa syukur. Rasa syukur yang dapat dirasakan rasa syukur nikmat yang Allah  berikan kepada manusia yaitu nikmat hidup, nikmat rezeki, dan masih banyak lagi nikmat-nikmat yang lainnya. Manusia yang tidak bersyukur dinamakan manusia yang kufur nikmat. Kufur nikmat ini karena seseorang telah mengguankan pemberian Allah di jalan yang tidak diridhoi-Nya.

Salah satu contoh orang kufur nikmat dalam sejarah dan disebutkan di dalam al-Qur’an adalah Qarun. Seseorang yang kaya raya akan tetapi tidak bersyukur kepada Allah sehingga dihukum oleh Allah. Qarun dihukum dengan ditenggelamkan ke dalam bumi bersama harta-hartanya. Hal ini sangat terkenal sehingga jika ada emas atau benda berharga ditemukan  disebut dengan istilah harta karun.

Baca Juga  Bagaimana Keluarga yang Ideal Menurut Islam?

Contohnya sebagai mahasiswa sering membandingkan dirinya dengan mahasiswa lainnya yang diterima di kampus favorit. “Kok dia bisa sih masuk universitas itu? Kok aku ga bisa kaya dia? aku cuman masuk universitas negeri tapi tidak favorit?”

Coba kita pikir lagi bagaimana dia bisa masuk universitas favorit. Mungkin belajarnya lebih giat dari kita yang belajarnya biasa-biasa saja, mungkin dia belajar sehari 3 kali belajar dengan waktu  tertentu. Sedangkan kita belajar sehari hanya 2 kali dengan waktu yang tidak maksimal.

Bagaimana kalau kita renungkan lagi kita pikir lagi masih banyak orang yang ingin kuliah di universitas negeri walau bukan favorit. Kita bersyukur masih diberi kesempatan kuliah apalagi kuliah dengan beasiswa untuk meringankan beban orang tua. Bagaimana jika beasiswa kita dicabut tanpa alasan dan orang tua tidak bisa membiayai lebih lanjut? Apakah bisa lanjut kuliah untuk menggapai kesuksesan?

Kufur Nikmat

Itu hanya sedikit nikmat yang diambil jika banyak apakah manusia berguna. Dalam al-Qur’an juga disebutkan maka manusia yang kufur nikmat maka celaka di dalam surat ‘Abasa ayat 17-23 yang artinya sebagai berikut:

“Celakalah manusia! Alangkah kufurnya dia! Dari apakah dia Allah menciptakannya lalu membentuknya. Dari setetes mani, Dia menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian jalannya Dia mudahkan. Kemudian Dia mematikannya lalu menguburkannya . kemudian jika Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali jagan (begitu)! Dia (manusia) itu belum melaksanakan apa yang Dia (Allah) perintahkan kepadanya”.

Maksud dari ayat 17-23. Manusia perlu mempelajari asal kejadian dan jati dirinya, agar menyadari kelemahannya sehingga tidak angkuh. Sehingga selalu bersyukur dan memohon kepada Allah dan agar mengetahui potensi-potensinya agar mengembangkan dan memanfaatkannya.

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds