Perspektif

Omong Kosong Covid-19 (1): Antara Virus dan Rumah Tuhan

3 Mins read

“Bukankah tuan-tuan itu perikutan yang patut bersuara dan mengadakan ikhtiar bagi membaiki hal sekalian mereka itu yang bodoh dan lalai itu; karena tuan-tuanlah konon orang besar-besar Islam… Apakah makna orang besar-besar itu? Apa untuk hendak mendada di dalam majlis sahajakah? Atau hendak mintak orang mencium tangan yang harum itu sahajakah?”

Syed Syeikh Al-Hadi (Saudara, 27/10/1928)

Pada saat ini, negara berhadapan dengan musibah besar yaitu akibat wabah COVID-19 yang dapat menggugat keamanan, kesejahteraan dan keselamatan rakyat serta negara. Pelbagai usaha dilakukan oleh semua pihak tanpa terkecuali, ditambah pula keadaan yang semakin parah sehingga hampir semua rakyat menjadi binggung dan panik. Di tengah-tengah badai yang melanda, muncul keadaan yang sangat kurang saya senangi apatah lagi berdiam diri melihatnya.

Di saat masyarakat digesa untuk memainkan peranan masing-masing buat menjaga diri sendiri dan orang lain daripada dijangkiti wabah dengan membatasi pergerakan ke banyak tempat. Termasuk penutupan sementara rumah-rumah ibadah seperti masjid dan pemberhentian segala aktivitas terkait dengannya. Timbul pula omong-omong kosong orang yang permukaannya tampak waras tetapi tidak.

Di permukaan mengenakan imej agama yang murni pada kenyataan mereka itu, tetapi sebetulnya sangat lari daripada apa yang diperintahkan Tuhan. Bercakap seolah-olah ingin membela agama dan bangsa tetapi sebaliknya. Hanya merusak pandangan masyarakat terhadap agama Islam itu sendiri.

Antara Covid-19 dan Rumah Tuhan

Mereka membuka gelanggang dakwah dengan menyeru “Usahlah takut kepada virus berbanding takut akan Tuhan”. Lantas membawa kepada kenyataan-kenyataan yang jelas salah seperti mempersoal dan menentang langkah penutupan masjid dan larangan melakukan shalat berjamaah serta shalat Jumat bagi membendung wabah Covid-19 ini daripada tersebar lebih luas.

Baca Juga  Cara Simpel Merespon Konflik Rusia dan Ukraina

Ada juga yang mempertanyakan dengan sinis mengapa masjid yang ditutup, dan kenapa pasaraya-pasaraya besar, gedung-gedung tempat perbelanjaan maupun panggung wayang tidak pula dihentikan operasinya? Kata mereka, ini adalah petanda akhir zaman bahwa umat Islam membenci syiar agama dan menjauhi masjid.

Ada yang mengatakan bahwa masjid merupakan “Rumah Allah”, maka mengapa kita takutkan virus memasukinya sedangkan Allah berkuasa melindungi “rumahnya”. MasyaAllah, termenung panjang saya mendengar kenyataan tersebut.

Bagi saya, cakap-cakap seperti ini jelas terpesong daripada seruan agama yang sepatutnya. Bukankah Tuhan telah berfirman di dalam kitab-Nya bahwa jangan sesekali mencampakkan diri kita ke lembah kebinasaan (QS. Al-Baqarah:195). Dan di tempat yang lain Tuhan berfirman bahwasanya Dia tidak mengubah keadaan sesuatu kaum melainkan kaum tersebut yang mengubah keadaan dirinya sendiri (QS Ar-Ra’d:11).

Keutamaan Menjaga Nyawa

Maka bukankah langkah untuk mengawal pergerakan umat Islam ke masjid yang nyata berisiko tinggi adalah sangat wajar guna menghentikan gelombang kedua serangan COVID-19 di Malaysia. Karena salah satu penyebabnya adalah apabila seorang ahli perkumpulan Jamaah Tabligh di Masjid Sri Petaling baru-baru ini dinyatakan positif virus tersebut.

Lantas para ahli jamaah yang lain pula telah pulang ke kampung masing-masing dengan dikuatirkan terjangkiti virus yang sama hasil melalui contact rapat sesama mereka (Astro Awani, 11/3/2020). Dan hal ini benar-benar terjadi dengan peningkatan jumlah pesakit yang terkena virus tersebut sejurus selepas perhimpunan itu selesai (Astro Awani, 15/3/2020).

Penulis tidak berniat untuk memburukkan dan menyalahkan Jamaah Tabligh jauh sekali daripada membenci institusi yang bernama masjid. Tetapi yang ingin ditunjukkan di sini adalah kerasionalan penutupan rumah ibadah termasuk juga rumah ibadat agama lain dalam hal ini. Penularan wabah COVID-19 mampu menjangkiti siapa saja tanpa mengira latar belakang agama. Makanya, segala aktivitas yang dapat menjurus kepada sebaran penyakit perlu dibendung walaupun ia melibatkan aktivitas keagamaan.

Baca Juga  Merawat Amanat Kemerdekaan

Malah, dalam prinsip maqasid syariah sendiri, sebagian ulama menyebutkan keutamaan menjaga nyawa berbanding agama saat seseorang terdampak oleh situasi yang ada. Karena jika nyawa tidak diselamatkan terlebih dahulu, siapa yang akan menjaga agama ini?

Bahkan, dengan menjaga nyawa juga, orang itu secara tidak langsung dapat menjaga prinsip-prinsip maqasid syariah yang lain. Penulis bukanlah orang yang mahir dalam hal keagamaan dan tidak pun mendapat pendidikan agama yang formal. Tetapi, sebagai seorang Muslim, tidak perlu ilmu agama yang tinggi dan kitab turath yang tebal-tebal untuk memahami maslahat ini, cukup hanya sekadar berpikir secara rasional dan waras.

Tentang Penutupan Masjid

Sementara mereka yang mempersoalkan mengapa masjid yang menjadi sasaran penutupan dan bukannya premis-premis lain, tentulah tak berpikir dengan panjang. Memang benar bahwa bukan masjid saja yang perlu ditutup, tetapi bukankah langkah penutupan ini menunjukkan bahwa Islam adalah sebuah agama yang sangat mementingkan keselamatan dan kesejahteraan penganutnya dari segenap aspek?

Bukankah hal ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama yang lebih di depan dan maju berbanding yang lain dalam menghadapi satu zaman?

Bagaimana kiranya kita ingin melawan narasi bahwa “Islam sebagai Agama Teroris” yang konon suka melakukan pembunuhan dan menyia-nyiakan nyawa manusia jika bukan umat Islamlah dan para pemuka agamanya yang perlu bertanggungjawab mengikis kesalahpahaman tersebut dengan mencontohkan hal yang sepatutnya. Yakni betapa Islam itu sebagai sebuah agama yang amat menghargai kehidupan makhluk dan serius menyeru kepada perdamaian dan keamanan.

Ini belum lagi kita berbicara tentang seorang agamawan yang mendakwa bahwa Masjidil Haram “disucikan” setelah disentuh oleh seorang waria yang bertelekung mengerjakan umrah dan penjualan produk-produk yang “diIslamkan” jenamanya dan diklaim dapat menyembuhkan virus ini.

Baca Juga  Beragama di Era Digital dan Covid-19

Sebenarnya banyak lagi tindakan-tindakan para ketua-ketua agama ini yang nyata jijik apabila berhadapan sesuatu isu bahkan sebelum kita semua menghadapi keadaan seperti sekarang. Maka penulis terpanggil untuk bersuara menyatakan kepincangan-kepincangan yang ada ini agar pemikiran yang sebenarnya jelas memundurkan umat Islam dibendung segera. (Bersambung)

Editor: Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Fellow penulis Lestari Hikmah, lembaga pemikiran dan pengkajian Islam yang berbasis di Ipoh, Perak, Malaysia
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds