Hidup ini penuh warna-warni. Warna kehidupan tak selalu putih atau keemasan terang benderang. Terkadang hitam kelam, terkadang abu pucat, terkadang merah bersemangat. Apa yang menyebabkan perubahan warna kehidupan tersebut? Sunnatullah kehidupan tidaklah berubah. Yang berubah adalah cara pandang kita (worldview). Yang berganti adalah suasana hati kita, sering kali berbolak-balik.
Hati yang berubah warna, akan melahirkan perubahan sikap pula. Jika warnanya berubah indah, akan indah pula perubahan sikap yang terjadi. Sebaliknya jika warnanya buruk, maka efeknya akan buruk pula.
Perubahan situasi internal (karena faktor dalam diri) atau eksternal (karena faktor luar), baik mendatangkan kesusahan atau kemudahan, akan terasa sama saja jika kondisi hati tetap dalam satu warna atau keadaan. Hati yang terbiasa bersabar, misalkan, perubahan situasi lingkungan dari biasa-biasa jadi menjengkelkan, tak akan berpengaruh apa-apa. Dia tak akan dirundung susah dan duka. Sebab warna hatinya tengah dihiasi warna kesabaran dan ridho. Bahkan pada sebagian mukmin, musibah justru membahagiakan mereka. Subhanallah. Sebaliknya, lingkungan dan fasilitas hidup yang mewah dan serba komplit, akan terasa hambar, bahkan menyiksa jika warna sama saja, apakah manusia memujinya, atau mencelanya. Fokus pikiran hanya pada Allah, pujian dan cinta-Nya, jangan sampai amarah-Nya.
Bayangkanlah, kehidupan dunia tanpa rasa sedih, tanpa rasa takut, galau, dan nestapa. Lalu imajinasikan, semua perasaan tersebut berganti jadi senang dan bahagia. Kita senang karena prestasi dan apresiasi, karena pencapaian dan kekayaan. Itu biasa. Bagaimana kalau, bahagia karena gagal? Atau bersyukur karena meraih selain harapan? Jika demikian perasaan yang kita alami, hidup di dunia ini serasa hidup di surga, tak ada resah, kuatir, sedih, apalagi takut.
Dulu, Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah mengungkapkan, sebagaimana dinukil oleh murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullah: “Sungguh di dunia ini ada surga. Siapa yang belum memasuki surga tersebut, dia tidak akan memasuki surga di akhirat kelak.” [Madaarij as-Saalikiin: 1/454]
***
Inilah warna kehidupan yang kita inginkan. Lantas, bagaimana cara menggapainya? Jawabannya sederhana, namun jujur, merealisasikannya tidak mudah. Butuh kesungguhan, mujahadah, dan doa. Yang kita butuhkan sebenarnya hanya dua yaitu ilmu dan amal. Ilmu yang dimaksud, adalah yang bersumber dari Wahyu yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Tentunya dipahami dengan pemahaman yang benar sesuai dengan pemahaman para sahabat Rasulullah ﷺ.
Ilmu menanamkan kepada kita keyakinan. Bahwa kita adalah makhluk yang serba lemah, zalim dan bodoh dan Allah lah yang Maha Sempurna. Dia Maha Mengetahui sementara kita tak tahu apa-apa. Kalau begitu apa yang kita anggap baik, belum tentu baik buat kita. Yang kita anggap buruk bagi kita, belumlah tentu buruk, boleh jadi sebaliknya.
Lihat bagaimana malaikat “agak mempertanyakan” kebijakan Allah menciptakan manusia di muka bumi. Allah memberikan jawaban yang intinya; Aku tahu, kalian tidak tahu. Ternyata Allah hendak memunculkan Sayyidu Bani Adam, Rasulullah ﷺ sebagai rahmat bagi alam. Lihat bagaimana Keluarga Imran yang berharap mendapat anak laki-laki, justru Maryam yang lahir. Ternyata, melalui Maryam lahirlah Isa ‘alaihissalaam. Ingat, ketika Ibunda Musa menghanyutkan putra tercintanya, Musa kecil. Renungkan apa yang terjadi pada Musa setelah itu, berada dalam kemananan dan kenyamanan, di saat semua anak laki-laki dibantai musnah.
Di sisi lain, ingatlah kisah Qabil yang menganggap saudarinya yang cantik jelita, sebagai puncak kebahagiaan yang pasti baginya. Bagi Qabil, tanpa si cantik, kelamlah warna hidup ini selamanya. Ia harus membunuh Habil saudaranya, demi mendapat si cantik jelita. Namun di akhir kisah, warna kecantikan tak pernah mampu menutupi warna sengsara penyesalan di hati Qabil. Terlebih lagi, setiap dosa pembunuhan Bani Adam yang terjadi di muka bumi, akan dipikul oleh Qabil semuanya.
***
Demikianlah, yang buruk di mata kita, belum tentu buruk. Yang baik menurut kita, bisa jadi membawa nestapa di kemudian hari. Takdir yang “buruk”, jika dihadapi dengan warna hati yang indah (warna kesabaran), digabung dengan “warna” harapan pada rahmat Allah, niscaya akan melahirkan canvas kehidupan dengan lukisan yang indah.
Sementara takdir yang–kita anggap–baik, jika tidak dihiasi dengan warna syukur dan ketaatan, justru akan menjadi keburukan. “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. al-Baqarah: 216]
Pada akhirnya, yang terbaik selalu ada dalam genggaman Allah. Untuk meraihnya, harus meminta kepada-Nya, dan Dia cinta untuk memberi. Di sinilah urgensi amal setelah ada ilmu. Meminta anugrah Allah, mustahil dengan mendurhakai-Nya, harus dengan mengikuti apa yang dicintai-Nya. Sekali lagi di sinilah urgensi amal. Para Nabi dan Rasul menyebutnya sebagai Tauhid dan Ketaatan pada Allah.
Renungkan bagaimana Allah mengecam orang-orang yang stagnan, tidak bertindak, tidak beramal setelah berilmu. Tak ada kecaman yang lebih keras melebihi kecaman dalam ayat berikut ini: “Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”_ [QS. al-Jumu’ah: 5].