Perspektif

Kartini dan Khaulah Sahabat Rasulullah: Gugatan Perempuan Dua Zaman

3 Mins read

Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya sudah menduga, peringatan Kartini senantiasa dikait-kaitkan dengan agama dan Barat. Kalaupun ada yang mengatakan ide Kartini khas Indonesia, itu karena dua hal; isu kartini mau dipoligini dan foto Kartini memakai jilbab. Paling tidak, komentar-komentar itu yang sering muncul selama tiga hari ini saya menjadi narasumber daring perayaan Kartini diberbagai organisasi dan provinsi.

Tulisan ini menarasikan hal yang berbeda dari sosok Kartini. Bukan hanya kisah perkawinan paksa, poligini (suami beristeri lebih dari satu), atau kematian eklamsia paska melahirkan—angka perkawinan ibu—yang dialami Kartini. Tetapi kisah inspiratif Kartini layaknya sahabat perempuan Rasulullah. Ia menggugat cara beragama dan mendobrak budaya yang mengurat akar.

***

Ketika belajar agama Islam dengan Kyai Saleh Darat, apa yang dilakukan Kartini semasa hidupnya (1879-1904) merupakan wujud kecerdasan seorang perempuan yang haus agama, menggugat kesetaraan dalam hal beragama. Ia mempertanyakan hak perempuan untuk bisa memahami Alquran, bukan dengan bahasa Arab.

Sejenak Kiai Darat tertegun, baru kali ini ia memiliki murid yang sangat kritis. Kyai Darat mengakui dahaga ilmu yang dirasakan muridnya. Ia pun menterjemahkan (mentafsirkan) Alquran dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab, yang dinamai Faidh al-Rahman fi Tafsir al-Qur’an, terdiri dari 13 juz mulai surat al-Fatihah hingga Ibrahim, dan menjadi hadiah pernikahan Kartini. Sebuah kitab tafsir Alquran berbahasa Jawa pertama di Indonesia. Seandainya Kartini tidak menggugat, mungkin tafsir itu tidaklah hadir.

Apa yang dilakukan Kartini, mengingatkan kita pada Asma’ binti Umais ra, isteri Ja’far bin Abi Thalib ra. Asma datang menghadap Nabi Muhammad saw, Rasulullah, dan bertanya ‘adakah ayat Alquran yang turun menyebut dan mengapresisasi kita (perempuan)?’.

Baca Juga  Kacamata Maqashid Syariah: Pendidikan Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Selain Asma’ bin Umais ra, Umm Ammarah r.a. atau yang dikenal Nusaibah binti Ka’ab ra juga bertanya kepada Rasulullah hal yang sama ‘wahai Rasul, mengapa (kiprah) kami (para perempuan) tidak diapresiasi Alquran sebagaimana laki-laki’. Atau dalam riwayat yang lain tertulis ‘wahai Rasulullah, mengapa Tuhan (dalam al-Qur’an) hanya menyebut para mukmin laki-laki dan tidak menyebut para mukmin perempuan’.

Gugatan para perempuan inilah yang menjadi awal turunnya ayat-ayat Alquran tentang apresiasi untuk perempuan atas amal baik yang mereka lakukan. Yakni QS. Ali Imran [3]:195, QS. al-Ahzab [33]:35, QS. an-Nisa [4]:124, QS. an-Nahl [16]:97, dan QS. al-Mu’min [40]:40.

Seandainya mereka tidak menggugat, bisa jadi tidak ada ayat khusus tentang apresiasi pada perempuan. Itu sebabnya, sejarah turunnya ayat (asbab an-nuzul) di atas adalah kontribusi mereka.

***

Sebagaimana kisah dua sahabat Rasul di atas, Kartini juga bukan tipe perempuan yang sami’na wa atho’na, hanya sebagai pendengar, pengikut, dan tidak kritis. Keberanian Kartini menggungat ketidakadilan yang dialami perempuan dari ikatan adat istiadat yang berurat berakar dan erat-erat mengekang sehingga dianggap takdir hingga seolah tidak bisa diubah, patut diapresiasi.

Kartini menulis ‘tiada seorang manusia pun sanggup menolak apa yang sudah ditakdirkan Allah. Tetapi sebelum kecelakaan itu terjadi, wajiblah dengan sungguh-sungguh berikhtiar menolaknya’ (Kartini, terjemahan: Sulastin Sutrisno, 2000, h.372).

Kartini mengajarkan, takdir dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Bukan takdir namanya bila kita tidak berusaha mengubah adat istiadat yang membelenggu perempuan. Kartini menggugat poligini yang menciptakan neraka pernikahan pada isteri pertama (h.166-167). Menggugat pernikahan anak sebagai wujud perkosaan (h.173), dan pernikahan tanpa restu pengantin perempuan sebagai pernikahan paksa (h.161).

Baca Juga  Pokoknya, Menolak Damai dengan Korona!

Walau akhirnya ia tidak kuasa menolak permintaan ayahnya untuk menikah dengan laki-laki berstatus suami. Kartini tetap menggugat dengan mengajukan tiga syarat. Gugatan Kartini didengar, ketiganya dipenuhi. Pertama, tetap diberikan ruang untuk bisa mengajar anak-anak perempuan paska pernikahan. 

Kedua, pernikahannya bukan wujud ketundukan isteri pada suami. Kartini menolak adat resepsi pernikahan yang mencuci kaki suami. Kartini pun menolak foto yang tidak setara, yakni posisi isteri duduk dan suami berdiri. Hingga foto Kartini bersama suaminya sama-sama berdiri atau sama-sama duduk. 

Ketiga, Kartini meminta status ibunya sejajar sebagai isteri bukan selir.

***

Gugatan Kartini pada adat yang dianggap takdir seperti kisah sahabat perempuan Rasulullah yang bernama Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar. Khaulah mengadu pada rasulullah atas sikap suaminya Aus bin Shamit bin Qais, yang menzihar dirinya, lalu hendak menggaulinya.

Gugatan Khaulah mencerminkan budaya kala itu. Bahwa suami yang sudah tidak suka kepada isterinya akan menyamakan isterinya dengan ibu kandungnya/zihar, sehingga tidak akan digauli selama-lamanya, tetapi tidak pula diceraikan, hingga hidup isteri terlunta-lunta. Berstatus isteri tetapi tidak memiliki hak sebagai isteri.

Khaulah menyadari betul situasi itu bukanlah takdir, tetapi adat budaya yang mengurat akar, menggugat tradisi zihar yang sudah mapan. Ia langsung menghadap Rasulullah. Gugatan Khaulah didengar Allah swt  hingga turunlah ayat QS. al-Mujadalah [58]:1-4.

Ayat ini langsung mengkoreksi, merubah tatanan sosial dan hukum masyarakat Jahiliyah kala itu. Terhadap aksinya, Allah swt memberikan putusan baru. Suami yang menzihar isterinya dan bila ingin rujuk/kembali harus melakukan kafarat (memerdekan seorang budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 fakir miskin).

***

Gugatan Khaula dan Kartini berhasil merubah situasi sosial kala itu. Menyadarkan kita bahwa suami tidak boleh semena-mena, adat istiadat yang mendiskriminasikan perempuan bukanlah takdir. Sejarah hidup kartini mendorong kita berani bermimpi tinggi. Kartini yang tidak pernah keluar Jepara sudah membayangkan pergi ke Eropa bahkan Paris (h.352), Belanda (h.353), dan menguasai bahasa internasional (h.145).

Baca Juga  Trensains (Pesantren Sains): Konvergensi Muhammadiyah-NU

Kartini mengajarkan kita jangan menyerah, terus berjuang (h.38), jangan lupa untuk terus sembahyang, layaknya doa istisqa’ ketika kemarau (h.436). Dan terakhir, ikhlas (h.373). Semangat Kartini memberikan optimisme pada kita, bahwa korona segera berakhir. Hingga suatu saat kita bisa pergi ke tanah Arab atau ke Eropa. Mengajarkan pada anak-anak kita bahwa perempuan sangat berharga.

Kartini tidak pernah menyesal lahir sebagai perempuan (h.353). Dari perempuanlah (Kartini dan sahabat perempuan Rasulullah) pintu-pintu perubahan terwujud.

Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga menjadi insan kamil.

Kartini: Membedakan Takdir dan Budaya
Editor: Yahya FR
12 posts

About author
Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan ITB Ahmad Dahlan Jakarta I Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) I Anggota LHKP PP Muhammadiyah I Penulis Buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds