Perspektif

Corona dan Kemenangan Kita yang (Harus) Tertunda

4 Mins read

Corona yang menunggu kendaraan baru untuk berpetualang, menempel pada tangan seorang pegawai yang tak sempat cuci tangan setelah memegang bagian dari pintu gerbong kereta. Kali ini dia tidak pulang sendiri. Di telapak tangannya telah ikut sekelompok Corona yang siap dibawa kemana sang perantara berkendara dengan roda dua.

Corona dan Perjalanannya

Sampailah sang pegawai di kampung tempat tinggalnya. Dia memarkir motornya di depan mini market untuk membeli beberapa botol minuman dan makanan ringan bagi anak dan istrinya. Sebagian corona ikut turun bersama jari-jari sang pegawai yang menyentuh rak-rak makanan dan ikut menempel pada gagang pintu lemari pendingin dalam mini market.

Sang pegawai pulang ke rumah, langsung mandi dan mencuci tangan sesuai anjuran pemerintah. Namun dia lupa, makanan yang dia beli tadi, hampir tanpa jeda telah berada pada tangan istrinya. Bahkan tutup botol minuman kemasan telah dijilat oleh anaknya yang balita. Begitu cepat dan sulitnya mencegah sang Corona yang menyerang melalui sedikit kecerobohan si pegawai.

Begitulah kira-kira bagaimana Corona bisa begitu cepat menyebar ke ruang lingkup masyarakat kita. Sampai tulisan ini dibuat, kondisi dunia khususnya Indonesia di tengah pandemik Corona belum juga bisa diprediksi secara akurat kapan akan menemui kepulihannya.

Kita semua dipastikan rindu dengan ruang sosial yang terbebas dari ketakutan dan ancaman kematian, ruang sosial yang relatif aktif dengan berbagai produktivitas masyarakat di ruang publik, serta rutinitas pemenuhan kebutuhan yang berputar setiap harinya tanpa jeda.

Hingga hari ini, kita semua berada dalam sebuah ketakutan atas sesuatu yang tidak bisa secara kasat mata kita hadapi. Sesuatu yang boleh jadi sedang menyerang secara membabi buta ditengah tawa kita bersama anak dan istri di sebuah ruang keluarga.

Upaya yang Terganjal

Ini realitas yang seluruh manusia saat ini hadapi. Berbagai langkah dan upaya dari pemerintah telah dilakukan sampai pada tingkat masyarakat terkecil di kampung-kampung.

Baca Juga  Dalam Situasi Saat Ini, Memaksakan Ijtima’ Jamaah Tabligh Adalah Kedzaliman

Ribuan relawan terpanggil hatinya untuk bergerak melawan sang virus yang setiap harinya semakin percaya diri hadir ke tempat yang lebih jauh dengan rombongan yang lebih banyak. Akibatnya adalah lebih banyak korban yang harus wafat. Ribuan warga Indonesia hidup dalam sebuah ancaman mendekati kematian.

Ruang-ruang rapat dan dialog digelar secara nirkabel dalam jarak jauh, memisahkan wajah-wajah teman yang biasa bertatap muka langsung dan berjabat tangan. Mereka semua membahas hal yang sama, “sudah berapa korban yang wafat hari ini?”, “kapan puncak Corona terjadi?”, “pada bulan apa grafik korban akan menurun?”, dan “kapan bencana kemanusiaan ini akan berakhir?”.

Namun, di antara berbagai upaya kita melakukan sebuah perlawanan besar-besaran terhadap virus yang bergerak lebih cepat dibanding serangan ISIS ini, masih ada saja kerikil-kerikil yang tersebar dijalanan yang membuat sebagian saudara kita harus tersandung dan jatuh. Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Kemenangan yang Tertunda

Seperti dalam sebuah ruang kelas, ketika guru menjelaskan materi, umumnya semua siswa mendengarkan dengan seksama agar penjelasan sang guru bisa dipahami dengan baik. Namun, tidak jarang ada siswa yang tetiba asal bunyi (asbun) dengan melontarkan kata-kata atau kalimat asal yang tidak berkaitan dengan materi sama sekali.

Alih-alih menjadi ‘suara kritis’, hal semacam itu hanya menghambat proses transfer ilmu dan etika sang guru pada siswa lainnya di kelas. Motifnya satu, mencari perhatian.

Begitupun ditengah upaya perlawanan bersama kita terhadap Corona, masih saja ada yang ngeyel tidak ingin mematuhi kesepakatan bersama. Contohnya adalah kelompok masyarakat yang merasa dirinya sehat, lalu berada di jalan-jalan bersama rekan-rekannya sekadar untuk minum kopi dan haha-hihi.

Atau sekelompok orang yang secara psikologis mengalami mental-illness untuk tetap pergi ke tempat-tempat umum untuk bersosialita. Memfoto diri mereka, lalu mengunggahnya dengan berbagai kalimat untuk pesona diri dan mencari perhatian publik atas kefakiran eksistensinya.

Baca Juga  Pasien Corona Masih Tinggi, Ketua MCCC Jatim Serukan Taati Fatwa

Ada juga masyarakat yang menanggalkan logika dan membuncahkan fanatismenya pada sesuatu hal, sehingga dengan yakin bahwa Corona adalah sebuah fitrah yang harus diterima begitu saja dan disikapi biasa saja.

Kelompok masyarakat ini secara sempit percaya bahwa kematian adalah hal mutlak yang terjadi tanpa campur tangan manusia. Maka mereka berpandangan bahwa tidak akan bisa diintervensi siapapun terlebih oleh Corona yang tidak bertangan, tidak berkaki, bahkan tidak berakal. Mereka berkontribusi membuat kemenangan kita terhadap Corona menjadi kemenangan yang tertunda.

Corona dan Nilai Universal Kemanusiaan

Selain kerikil-kerikil yang saya sebutkan di atas, Corona juga menjadi semacam Mesiah untuk seluruh manusia hari ini. Bila kita mau untuk berpikir sedikit saja, begitu banyak pesan yang ingin disampaikan semesta kepada manusia melalui kehadiran Corona.

Yang pertama adalah runtuhnya arogansi sektarianisme golongan, etnis dan agama, menjadi angin kebijaksanaan yang menyejukkan nurani. Kita saksikan di media, warga sipil, tokoh publik, seniman, politisi, aktivis sosial, akademisi, infleuncer, dari berbagai strata sosial dan latar belakang pendidikan yang berbeda, etnis dan suku yang berbeda, agama bahkan madzhab yang berbeda, semua berbondong-bondong melakukan aksi peduli kemanusiaan dalam beragam bentuk.

Fenomena ini bukan seperti oase di gurun pasir yang lahir dari imajinasi dan kelelahan berpikir. Persatuan yang terbangun hari ini adalah manifestasi kepedulian dan kejujuran nurani. Tidak perlu tanya lagi anda siapa, agama anda apa, etnis mana, semua itu melebur terkubur sebagai kesalahan kita di masa lalu.

Yang kedua adalah menguatnya konstruksi spiritual yang bisa kita lihat sebagai pemandangan umum ditengah pandemik Corona. Setiap orang bisa memiliki waktu untuk berkumpul bersama keluarga di rumah, saling menasehati, dan memberi motivasi tentang hidup yang harus lebih baik ke depan pasca Corona.

Baca Juga  Looking To Up Your Insta Game? Here’s How To Nail An Instagram Video

Harapan dan Pesan Tuhan

Sebagian lain pergi ke rumah sakit, membagi-bagikan bantuan dan setangkai mawar untuk petugas paramedis, sebagai ungkapan apresiasi dan dukungan atas perjuangan mereka menyelamatkan manusia. Sungguh, pemandangan yang pernah terjadi di masa lalu, kini terulang dan memberikan semacam kekuatan yang tidak bisa dikalkulasi dengan angka.

Yang terakhir adalah bahwa humanisme menjadi muara konvergensi antar manusia yang heterogen untuk sama-sama bertemu dalam dialog yang lebih universal. Tembok-tembok eksklusivitas yang kemarin telah dibangun menjulang ke langit, hari ini telah runtuh oleh semangat kebersamaan untuk tetap bisa bertahan hidup.

Betapa Tuhan melalui alam telah begitu gamblang memberi pesan agar manusia bisa kembali pada maqamnya sebagai pemimpin di muka bumi, yang diberi akal dan nurani untuk berbuat, bukan untuk saling menghabisi demi sebuah pembelaan atas kebenaran yang egosentris dan kering adab.

Lapisan ozon kini kembali menebal, jalan-jalan raya menjadi lebih bersih dari sampah yang biasa kita lihat keluar secara liar dari dalam mobil mewah, dan rumah-rumah yang kembali hangat dengan kelengkapan keluarga untuk saling berbagi dan saling menguatkan satu dengan yang lain.

Sebagai manusia yang optimis, saya yakin kita semua, tidak hanya di Indonesia, akan menang melawan Corona. Namun durasi tertundanya kemenangan tersebut akan sangat bergantung pada bagaimana cara kita bersikap.

Perbuatan buruk di masa lalu apa yang benar-benar harus kita akhiri, dan perbuatan baik apa yang kini telah kembali dan harus kita pertahankan ke depan. Semua itu yang akan menjadi indikator kemenangan kita yang utuh, kemenangan untuk kembali kepada kemanusiaan.

Sapere Aude!

Editor: Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Direktur Eksekutif Yayasan Visi Nusantara Maju
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds