Fikih

Dengan Berbagai Kemudahan Transportasi yang Ada, Masihkah Safar Menjadi Uzur untuk Tidak Berpuasa?

4 Mins read

Di zaman yang serba cepat seperti sekarang ini, semuanya seakan bisa kita dapatkan dengan mudah. Kemajuan teknologi menyentuh berbagai macam bidang, mulai dari komunikasi, sampai moda transportasi. Banyak transportasi yang semakin canggih, hingga antara jarak dan waktu kini tak lagi menjadi alasan.

Kita bisa pergi ke berbagai tempat dengan cepat dengan tidak memakan waktu yang banyak, sehingga kita tidak terlalu lama dan jenuh ketika dalam perjalanan. Lalu bagaimana ketika kita safar saat Ramadan sedangkan jarak yang jauh tersebut masih dapat kita tempuh dengan waktu yang relatif singkat, apa tetap boleh tidak berpuasa?

Bolehnya Meninggalkan Puasa

Orang yang dalam bepergian (safar) yang biasa disebut musafir, adalah orang yang sedang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalatnya dan juga diperbolehkan untuk tidak berpuasa (ketika Ramadan). Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

Namun, jika musafir tersebut masih menginginkan untuk berpuasa, maka beberapa mayoritas sahabat tabi’in serta empat imam madzhab berpendapat bahwa puasa saat melakukan perjalanan (safar) itu sah. Namun ketika kita bepergian saat Ramadan, kira-kira baiknya berpuasa atau tidak? Para ulama dalam hal ini masih ada perselisihan pendapat, tetapi ada tiga kondisi ketika kita menggabungkan beberapa macam dalil yang terkait dengan bolehnya meninggalkan puasa, termasuk ketika safar.

Kondisi pertama, jika kita merasa berat untuk berpuasa salah satunya saat bepergian, maka lebih baik untuk tidak berpuasa dengan menggantinya dikemudian hari. Kedua, jika dalam melakukan suatu perjalanan terasa tidak memberatkan diri kita untuk berpuasa, maka lebih baik kita tetap menjaga puasa kita. Hal ini sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana Rasulullah masih tetap berpuasa ketika beliau dalam perjalanan.

Baca Juga  Fatwa dan Sistem Zonasi COVID-19 yang Ambigu

Dari Abu Darda’, beliau berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ

“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”

Jadi, apabila kita merasa baik dalam perjalanan, dan kondisi tubuh kita terasa kuat untuk berpuasa. Baiknya kita tetap menjalankan puasa meski dalam suatu perjalanan, dengan kita berpuasa, maka kita lebih cepat terlepas dan dapat melaksanakan kewajiban. Daripada kita mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa, malah akan lebih berat lagi godaannya.

Kemudian pada kondisi yang ketiga, yakni ketika puasa menjadi haram apabila ketika kita berpuasa akan mendapati suatu kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan kita pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa.

Musafir Boleh Tidak Berpuasa, Ketika ….

Lalu, kapan saat diperbolehkannya tidak berpuasa bagi musafir? Dalam hal safar,ada beberapa hal yang harus kita perhatikan terlebih dahulu. Yang pertama, perjalanan tersebut dimulai sebelum terbit fajar atau ketika fajar sedang terbit dan dalam kondisi bersafar, kemudian di niatkan untuk tidak menjalankan puasa pada hari tersebut, maka hal ini diperbolehkan untuk tidak berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama.

Dengan alasan, pada kondisi semacam ini, orang tersebut sudah disebut musafir karena adanya sebab yang memperbolehkannya untuk tidak menjalankan shaum, namun pastinya dengan berkewajiban menggantinya di lain hari (diluar bulan Ramadan).

Baca Juga  Pakaian Syar'i: Kemunculan Kembali Kaum Apartheid

Lalu kondisi kedua, jika berniat puasa padahal sedang bersafar, kemudian karena suatu sebab di tengah perjalanan berbuka, maka hal ini diperbolehkan (hadits Abu Darda’ diatas). Atau ketika bersafar dilakukan setelah fajar (atau sudah menjelang waktu siang), maka diperbolehkan meninggalkan puasa di hari itu. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Lalu kemudian, kapan berakhirnya keringanan untuk tidak berpuasa bagi seorang musafir? Berakhirnya keringanan (rukhsoh) bagi orang yang sedang dalam perjalanan untuk tidak berpuasa adalah dalam dua keadaan. Pertama, ketika berniat untuk bermukim, dan yang kedua, jika telah kembali ke negerinya.

Ketika seseorang bersafar tersebut telah kembali ke negerinya pada malam hari, maka keesokan harinya ia sudah wajib berpuasa kembali. Lalu apabila ia kembali pada siang hari, sedangkan sebelumnya ia tidak berpuasa, apakah ketika ia tiba di negerinya ia ikut berpuasa sampai waktu buka tiba? Untuk permasalahan ini terdapat dua pendapat, namun pendapat yang lebih tepat adalah dia tidak perlu menahan diri dari makan dan minum. Jadi boleh tidak berpuasa hingga waktu berbuka.

Kriteria Boleh Tidak Puasa Bagi Musafir

Kriteria seperti apa bisa dikatakan sebagai musafir, sebagian ulama’ berpendapat bahwa safar tidak ditentukan dengan jarak tertentu, akan tetapi yang menjadi rujukan adalah ‘urf (kebiasaan). Apa yang dianggap safar menurut kebiasaanya, maka itu adalah safar dan berlaku baginya hukum safar dalam syariat seperti jama’ (menggabungkan) dua shalat, mengqasar dan berbuka bagi musafir.

Dari beberapa pendapat, pendapat terakhir adalah pendapat dari Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Karena Allah tidak pernah menetapkan jarak tertentu untuk kebolehan mengqasar. Begitu juga Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam tidak menentukan jarak tertentu.

Baca Juga  Jadikan Puasa Ramadan Sumber Meraih Karakter Takwa

Seandainya ada perbedaan dalam menentukan safarnya sebuah perjalanan berdasarkan ‘urf, tidak mengapa dalam hal ini jika seseorang berpedoman dengan jarak tertentu. Karena pendapat ini juga dipegang oleh sebagian ulama mujtahid. Akan tetapi jika pandangannya (dalam menentukan sebuah safar berdasarkan kebiasaan) sama, maka kembali kepada kebiasaan untuk menentukan safar adalah sikap yang tepat.

Lalu, melihat keadaan sekarang yang penuh dengan kemudahan dan kecepatan, termasuk pada moda transportasi. Maka seharusnya kita melihat kondisi tubuh kita, jika kita mampu berpuasa sampai pada tempat tujuan kita, maka menjaga puasa itu merupakan lebih baik.

Apalagi ketika moda transportasi yang kita naiki terasa nyaman, dan tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk sampai di tempat tujuan, sedangan kondisi tubuh kita mampu, tidak ada alasan untuk tidak berpuasa dan sebaiknya kita tidak uzur.

Terkecuali ada permasalahan yang dapat membatalkan puasa, misalkan mabuk ketika dalam perjalanan (muntah), maka harus membatalkan puasanya dengan menggantinya dihari lain. Atau merasa letih dan tidak kuat lagi ketika harus menahan lapar dan haus, ataupula dalam keadaan sakit maka diperbolehkannya membatalkan puasa dikarenakan puasa membuatnya kesulitan.

***

Di era sekarang ini, banyak sekali moda transportasi yang cepat bahkan super cepat, sehingga memangkas banyak dari waktu perjalanan kita, dan kita bisa tiba di tujuan dengan cepat dan nyaman, apa masih ada alasan tidak puasa padahal fisik dan perjalanan kita tidak terlalu membebani puasa kita?

Agama Islam memang selalu memberikan kemudahan bagi para pemeluknya, apabila dengan melakukan perjalanan, kita merasa akan terganggu atau menemui kesulitan dalam tubuh (kesehatan), baiknya kita tidak berpuasa guna menjaga diri kita. Semoga kita dapat berlaku bijak, dan semoga Allah memberikan kekuatan sehingga kita tetap bisa istiqamah dalam beribadah.

Wallahu A’lam Bishawab

Editor: Yahya FR
Hendra Hari Wahyudi
97 posts

About author
Anggota Majelis Pustaka, Informasi dan Digitalisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur periode 2022-2027
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…
Fikih

Hukum Isbal Tidak Mutlak Haram!

3 Mins read
Gaya berpakaian generasi muda dewasa ini semakin tidak teratur. Sebagian bertaqlid kepada trend barat yang bertujuan pamer bentuk sekaligus kemolekan tubuh, fenomena…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds