Perspektif

Problem Pernikahan Dini yang Tak Kunjung Usai

3 Mins read

Bila kita mengingat sejarah, dapat kita pahami bahwa pahlawan perempuan kita, R.A Kartini, sangat memperjuangkan keadilan untuk para perempuan Indonesia pada masa itu. Salah satu perjuangan R.A Kartini yang dapat kita lihat adalah perjuangan untuk menerbitkan undang-undang untuk memberikan hak kepada perempuan.

Karena pada masa itu, sangat banyak perempuan-perempuan yang masih sangat belia melakukan pernikahan, padahal kita ketahui bahwa pernikahan dini ini dapat membahayakan perempuan karena belum siapnya alat reproduksinya.

Akhirnya setelah segala perjuangan, terbitlah undang-undang mengenai pembatasan umur perkawinan yaitu Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Pada Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, disebutkan bahwa batas umur perkawinan bagi pria adalah 19 tahun dan bagi wanita adalah 16 tahun. Tetapi pada tahun 2019, pasal ini mengalami revisi yang dijelaskan pada UU No. 16 Tahun 2019 yang menyebutkan bahwa batas umur perkawinan bagi pria dan wanita menjadi 19 tahun.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, menyatakan bahwa revisi dilakukan utamanya untuk melindungi hak anak dan terciptanya perkawinan yang sehat dan sejahtera.

Munculnya aturan tersebut untuk menekan jumlah calon pengantin yang ingin melangsungkan perkawinan dengan umur di bawah ketentuan peraturan tersebut. Karena di umur yang sangat belia tersebut, ditakutkan belum siap untuk membina keluarga.

Dampak pernikahan dini dari segi kesehatan dapat kita lihat bahwa banyak sekali terjadi kematian pada ibu setelah melahirkan. Karena disebabkan ketidaksiapan fungsi-fungsi reproduksi ibu. Kemudian banyak sekali kita temui pada pernikahan dini, terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau yang sering kita sebut dengan KDRT.

Hal ini terjadi karena kedua belah pihak belum matang dalam pola berpikir, sehingga lebih mengedepankan emosi. Dampak lain yang dapat kita lihat adalah akan banyak angka putus sekolah. Aturan wajib sekolah 9 tahun pun menjadi gagal. Padahal pemerintah membuat aturan tersebut agar dapat menumbuhkan bibit unggul yang akan menyongsong masa depan menjadi lebih baik.

Baca Juga  Muhammad bin Abdul Wahab: Harus Al-Qur'an dan Sunah?
***

Walaupun sudah ada aturan yang jelas mengenai larangan perkawinan muda, tetap saja masih banyak yang ingin melaksanakan pernikahan muda. Pada umumnya, pernikahan muda dipengaruhi oleh beberapa faktor. Yaitu faktor ekonomi, faktor pendidikan yang rendah, dan yang terakhir faktor adat .

Dari faktor ekonomi, dapat kita lihat bahwa kebanyakan pernikahan dini ini terjadi pada kelurga yang kurang mampu, sehingga orang tua terpaksa menikahkan anaknya pada usia dini untuk mengurangi beban ekonominya. Sedangkan dari faktor pendidikan rendah, mencerminkan bahwa orang tua belum paham betul mengenai dampak dari pernikahan  muda ini.

Dari faktor adat juga sangat berpengaruh karena masih ada beberapa adat mengenai pernikahan muda seperti yang dapat kita temui pada Pulau Kodingareng yang letaknya tidak jauh dari Makassar. Yang mana memberlakukan aturan yang agak esktrem mengenai perkawinan; jika anak perempuan mereka sudah menstruasi, orang tua akan buru-buru mencarikan pasangan dan segera menikahkan mereka.   

Padahal tujaan utama perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal seperti yang dijelaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1. Dari sini saja, dapat kita petik bahwa mayoritas  pernikahan muda tidak mencerminkan tujuan tersebut.

Jika tetap ingin melaksanan pernikahan, tetapi belum mencapai batas umur perkawinan yaitu 19 tahun untuk wanita dan pria, maka orang tua dari salah satu atau kedua belah pihak harus mengajukan dispensai perkawinan.

Bagi pasangan yang beragama Islam, dapat mengajukan dispensasi perkawinan ke Pengadilan Agama. Sedangkan bagi pemeluk agama lain, dapat mengajukan ke Pengadilan Umum. Hanya saja pengajuan dispensasi perkawinan hanya dapat diberikan atas alasan yang mendesak sesuai dengan pasal 7 ayat (2) UU perkawinan.

Baca Juga  Sistem Online dan Hidup Minim Kertas
***

Alasan mendesak di sini diartikan dengan keadaan yang sangat terpaksa dan tidak ada pilihan selain melaksanakan perkawinan pada saat itu. Alasan ini juga harus dilengkapi dengan bukti-bukti yang cukup. Dalam UU perkawinan yang baru, disebutkan bahwa bukti-bukti pendukung yang cukup adalah surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang. Surat keterangan tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan dan juga keterangan saksi lain.

Dewasa ini, ternyata masih sangat banyak kita temui pasangan yang melaksanakan perkawinan pada umur di bawah batas yang ditentukan UU. Seperti dapat kita lihat pada perkara dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Malang pada bulan Januari hingga Maret  2020 yang berjumlah 83 perkara. Ini membuktikan bahwa pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia khususnya Indonesia pun tidak dapat menekan jumlah dispensasi perkawinan.

Karena mayoritas yang ingin melaksanakan pernikahan  muda kebanyakan adalah orang yang awam akan hukum, maka hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan sosialisasi dan pembinaan dalam rangka mencegah perkawinan dini .

Kita pun sebagai masyarakat yang paham mengenai dampak pernikahan dini ini, juga bisa mulai memberikan pengertian mengenai bahaya dari perkawinan muda pada keluarga kita maupun tetangga kita yang dirasa belum memahami betul mengenai dampak perkawinan muda.

Hal ini dilakukan agar tujuan utama perkawinan yaitu mendajdikan keluarga yang Sakinah mawaddah warrahmah dapat terbentuk.

Editor: Yahya FR
Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *