Tafsir

Syarat Mutlak Menjadi Pemimpin itu “Mumpuni”, Bukan Muslim

4 Mins read

Tidak Ada Anarkisme Dalam Islam

Banyak yang salah paham memaknai anarkisme, seolah anarkisme identik dengan paham melegalkan kekerasan. Padahal makna asli anarkisme adalah suatu paham politik di mana manusia bisa hidup dengan damai dan sejahtera tanpa adanya pemimpin. Sekelompok orang yang menganut ideologi ini seringkali disebut anarko. Belakangan ini, gerakan anarko cukup populer karena dituduh akan melakukan penjarahan di seluruh Indonesia.

Ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah melarang paham anarkisme. Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Daud, Rasulullah SAW bersabda: “Jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin rombongan.” Walaupun hadis ini berkenaan dengan safar, namun bisa diterapkan dalam banyak aspek kehidupan.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” Hadis ini lebih tegas menjelaskan bahwa menurut ajaran Islam, seluruh individu muslim adalah pemimpin, minimal bagi dirinya sendiri. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya baik di dunia maupun akhirat.

Saking pentingnya soal kepemimpinan dalam Islam, saat Rasulullah SAW wafat, para sahabat terlebih dahulu berkumpul untuk bermusyawarah siapa pengganti Rasulullah SAW. Jenazah Nabi Muhammad SAW baru dikebumikan pasca selesainya musyawarah tersebut. Abu Bakar terpilih menjadi pengganti Nabi Muhammad SAW pasca wafatnya.

Syarat-syarat Menjadi Pemimpin Menurut Islam

Seiring perjalanan waktu yang semakin jauh dari masa kenabian, semakin luas pula daerah kekuasaan umat Islam, berkembang pula cabang-cabang ilmu ke-Islaman. Di antaranya adalah fikih siyasah, yang merupakan salah satu bab dari ilmu fikih Islam. Beberapa ulama membuat satu kitab khusus terkait pembahasan fikih siyasah. Di antaranya Al Mawardi menulis kitab berjudul Al Ahkam As Sulthoniyah dan Ibnu Taimiyah menulis kitab As Siyasah Asy Syar’iyah.

Salah satu bagian dari fikih siyasah yang cukup banyak dibahas adalah terkait syarat-syarat menjadi pemimpin menurut Islam. Pembahasan ini mencuat berkaitan dengan peristiwa politik di Indonesia yang menghebohkan beberapa tahun yang lalu, yakni Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Di mana kebetulan kandidat yang bersaing terdiri dari muslim dan non-muslim. Peristiwa politik tersebut melahirkan polarisasi di kalangan umat Islam sendiri, terkait dengan penafsiran QS. Al Maidah: 51.

Baca Juga  Sosok Pemimpin Teladan itu Bernama Abu Bakar

Momentum Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 telah dilewati, situasi sosial politik kembali normal kembali. Polarisasi dan polemik antar sesama muslim perlahan mencair kembali. Topik apakah non-muslim boleh menjadi pemimpin atau tidak tenggelam oleh waktu.

Meskipun begitu, tak ada salahnya penulis kembali mengangkat seputar tema ini. Tentu bukan dalam rangka mengangkat kembali polemik yang telah tenggelam, namun menawarkan perspektif yang boleh disetujui atau tidak oleh pembaca.

Prof. Nadirsyah Hosen dosen Monash University Australia mencoba meringkas syarat-syarat menjadi pemimpin menurut tiga intelektual muslim: Al Mawardi, Al Ghazali, dan Ibnu Khaldun.

Menurut Al Mawardi (w.1058) syarat-syarat menjadi pemimpin sebagai berikut:

1. Rasa keadilan (‘adalah);
2. Pengetahuan (‘ilm);
3. Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan;
4. Sehat tubuh tidak cacat, yang dapat menghambat pelaksanaan tugas;
5. Berwawasan luas dalam hal administrasi negara
6. Punya keberanian untuk melindungi wilayah Islam dan melaksanakan jihad;
7. Punya garis keturunan dari Quraisy

Menurut Al Ghazali (w.1111) syarat menjadi pemimpin yakni:

1. Baligh
2. Berakal (tidak gila)
3. Merdeka (bukan budak)
4. Lelaki
5. Keturunan suku Quraisy
6. Sehat panca indera
7. Keberanian untuk perang
8. Punya kompetensi (kifayah)
9. Punya pengetahuan
10. Wara’

Menurut Ibnu Khaldun (w. 1406) syarat-syarat pemimpin adalah:

1. Berilmu
2. Adil
3. Kompetensi
4. Sehat panca indera
5. Memiliki sifat suku quraisy

Pemimpin Harus Muslim atau Mumpuni?

Prof. Nadirsyah Hosen menyebutkan bahwa para ulama di atas tidak secara tersurat menyebutkan beragama Islam sebagai syarat menjadi pemimpin. Yang terdapat dalam pendapat tiga ulama tersebut justru syarat keturunan Quraisy. Hal ini berdasarkan hadis populer bahwa pemimpin itu berasal dari kalangan Quraisy.

Baca Juga  Memilih Pemimpin yang Pro Rakyat: Belajar dari Sosok Abu Bakar

Hanya saja, Ibnu Khaldun memberikan makna baru bahwa yang dimaksud adalah memiliki karakter suku Quraisy, bukan harus benar-benar keturunan Quraisy. Hal ini karena pada masa Ibnu Khaldun sulit mencari khalifah yang benar-benar keturunan Quraisy.

Kembali ke pertanyaan utama dari tulisan ini. Memilih pemimpin apakah harus muslim atau mumpuni? Tentu saja yang paling ideal adalah muslim sekaligus mumpuni. Namun bagaimana jika kita dihadapkan dengan kasus terpaksa harus memilih salah satunya? Ada yang muslim namun tidak punya kompetensi. Ada yang kompeten namun bukan muslim. Mana yang harus kita pilih?

Guna menjawab pertanyaan ini, maka yang perlu dijawab terlebih dahulu adalah apakah kita dilarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin? Segera kita akan mengutip QS. Al Maidah: 51 yang berisi larangan menjadikan orang kafir sebagai auliya. Auliya bentuk plural dari wali diartikan sebagai pemimpin atau teman setia.

Menurut Prof. Quraish Shihab, QS. Al Maidah: 51 tidak boleh dilepaskan dari ayat-ayat yang mendahuluinya. Rangkaian ayat sebelum QS. Al Maidah: 51 berisi kritik terhadap kaum Yahudi dan Nasrani yang enggan mengikuti tuntunan Allah SWT dan lebih mengikuti tuntunan hukum jahiliyah. Padahal tuntunan Allah SWT sudah terdapat dalam kitab mereka sendiri yakni Taurat dan Injil. Maka jika kita menemukan Yahudi dan Nasrani dengan karakteristik tersebut, itulah yang dilarang untuk dijadikan Auliya.

Auliya sendiri menurut Prof. Quraish tidak hanya bermakna pemimpin, namun bisa bermakna persahabatan yang begitu kental. Dengan demikian makna QS. Al Maidah: 51 berarti larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani yang sifatnya disebutkan dalam ayat sebelumnya menjadi teman dekat kita, karena akan membocorkan rahasia kita.

***

Jika seorang non-muslim tidak mempunyai karakter di atas dan mau memberikan kemaslahatan untuk kita maka tidak mengapa. Pertanyaan menarik dilontarkan oleh Prof. Quraish, jika ada pilot muslim tapi minim pengalaman dan ada pilot non muslim namun sudah berpengalaman mana yang dipilih? Dalam konteks ini diperbolehkan mengutamakan kompetensinya. Menurut penulis analogi ini bisa diterapkan pula dalam konteks memilih pemimpin.

Baca Juga  Gus Dur: Bukan Pemimpin yang Mendorong Pengikutnya Meregang Nyawa

Jika dihadapkan pada dilema antara pemimpin muslim namun minim kompetensi dengan pemimpin non muslim namun kaya kompetensi maka diperbolehkan memilih non muslim yang kaya dengan kompetensi. Tentu saja menurut Prof. Quraish tetap ada batasan dimana kedekatan dan loyalitas kita kepada pimpinan tidak sampai melampaui batas-batas akidah. Misalnya tidak mencampuradukkan ibadah ritual kita dengan mereka.

Mengapa lebih memilih berdasarkan kompetensi dibanding agama atau spiritualitas? Alkisah Rasulullah SAW tidak pernah mengangkat Abu Dzar Al Ghifari sebagai pemimpin. Padahal Abu Dzar adalah seorang yang sangat saleh dibanding sahabat-sahabat yang lain.

Hal ini karena Abu Dzar dinilai oleh Rasulullah SAW sebagai seorang yang lemah, karena itu tidak punya kompetensi memimpin. Sebaliknya Khalid bin Walid dan Amr bin Ash walaupun tidak sesaleh Abu Dzar, namun mereka berdua dinilai sebagai orang yang kuat, sehingga cocok memimpin.

Tentu saja baik Abu Dzar, Khalid bin Walid dan Amr bin Ash, semuanya muslim. Sehingga mungkin tidak cocok dengan topik pembahasan kita. Namun kisah mereka menjadi isyarat bahwa Rasulullah SAW dalam soal kepemimpinan lebih mengutamakan kekuatan, ketegasan dan kemampuan leadership dibanding dengan kesalehan spiritual semata.

Sayrat mutlak menjadi pemimpin itu mumpuni, bukan muslim
Editor: Yahya FR
Desainer: Galih QM
Related posts
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…
Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read
Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds