Perspektif

Pemimpin Muslim atau “Mumpuni”, Perbandingan yang Tidak Pas!

3 Mins read

Tulisan kanda Robby Karman yang berjudul Syarat Mutlak Menjadi Pemimpin itu “Mumpuni”, Bukan Muslim menjadi perbincangan banyak orang, baik di media sosial Facebook, dan juga berbagai WhatsApp Group. Pastinya setiap pendapat ada yang pro dan kontra, namun kali ini saya hanya bermaksud melengkapi dan mungkin juga masih banyak kekurangan.

Muslim atau Mumpuni, Perbandingan yang Tak Pas!

Robby Karman juga sudah memaparkan kriteria pemimpin dari berbagai pendapat, yang kesemuanya adalah baik. Namun, sebagai kriteria mutlak seorang pemimpin, memang yang disampaikan oleh Robby benar jika secara umum. Apalagi dalam kehidupan bernegara, siapapun berhak memilih dan dipilih sebagai pemimpin. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, dinyatakan bahwa :

Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Maka dalam konteks bernegara, tulisan kanda benar adanya terkait syarat. Karena menjadi pemimpin merupakan hak setiap warga negara dan sesuai konstitusi kita. Bahwa siapapun dia, berhak menjadi pemimpin, asalkan ia mumpuni, serta dipilih oleh rakyat dengan memperoleh suara terbanyak dalam Pemilihan Umum (Pemilu).

Namun menurut saya, rasanya tidak tepat jika menyandingkan dan membandingkan antara mumpuni dan muslim pada dalam soal kepemimpinan, meski benar secara syarat.

Jangan Bandingkan Keyakinan dengan Jabatan

Muslim, sudah menjadi syarat mutlak ketika menjadi pemimpin suatu organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, tapi tidak pada konteks bernegara sesuai undang-undang. Namun, bagi umat Islam ketika melihat perbandingan tersebut, pastinya bisa melukai perasaan. Karena bagi umat Islam, pastinya mereka lebih memilih pemimpin yang muslim. Sebagaimana dalam surat Al Maidah ayat 51, dan kanda Robby pun sudah menyampaikan beserta pengertian awliya’ atau wali.

Baca Juga  Gus Dur: Bukan Pemimpin yang Mendorong Pengikutnya Meregang Nyawa

Namun, kembali, menyandingkan antara muslim dan mumpuni sebagai syarat mutlak dalam hal sebagai pemimpin, merupakan sesuatu yang sensitif. Kenapa Robby tidak membandingkan mumpuni dengan integritas? Mumpuni menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti mampu melaksanakan tugas dengan baik (tanpa bantuan orang lain); menguasai keahlian (kecakapan, keterampilan) tinggi. Jadi secara teknis, keterampilan, dan pengetahuan mampu.

Sedangkan integritas menurut KBBI berarti mutu, sifat, dan keadaan yang menggambarkan kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potensi dan kemampuan memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Jadi mengenai pribadi seseorang, apakah dia amanah dan jujur dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Karena bisa jadi, pemimpin mumpuni tapi belum tentu mempunyai integritas.

Masih Banyak Muslim yang Mumpuni jadi Pemimpin

Maka, menyandingkan mumpuni dengan integritas mungkin lebih tepat, daripada dengan keyakinan (agama). Oleh karena itu, baiknya hal itu tidak dilakukan, karena pastinya akan menyinggung perasaan sebagian kaum muslimin. Karena pada nyatanya, banyak muslim yang mumpuni ketika menjadi pemimpin.

Di Inggris dan Amerika, yang notabenya populasi umat Islamnya sedikit, tapi di kota kedua negara tersebut ada walikota yang merupakan seorang muslim. Ini merupakan bukti bahwa seorang muslim mumpuni, dan memenuhi syarat sebagai pemimpin.

Membandingkan muslim dengan mumpuni malah akan membuat persepsi yang kurang baik. Jika pun ada muslim yang kurang mumpuni sebagai pemimpin, masih banyak muslim lainnya yang punya kapasitas yang mumpuni.

Sebagai umat Islam, memilih pemimpin dari yang muslim adalah anjuran dari Al-Qur’an dan juga dijamin oleh undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Memang ada kalimat “Jangan bawa-bawa agama dalam ranah politik,” namun bagi umat Islam, apapun yang dilakukannya adalah dalam rangka beribadah kepada Allah dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan hadis, dan itu merupakan keyakinan.

Baca Juga  Kondisi Muslim Eropa Timur Pasca Perang Dunia II

Meski dalam tulisannya, Robby Karman sudah menyampaikan bahwa mengangkat tema tersebut bukan bermaksud mengangkat kembali polemik, namun menawarkan perspektif. Hal ini bagus, namun saya rasa kurang pas, karena agama, keyakinan merupakan salah satu hal yang menjadi pertimbangan seorang muslim dalam mencari dan memilih pemimpin.

Dan umat Islam pun pastinya memilih pemimpin yang mumpuni, memiliki kapabilitas dan kapasitas, amanah, memahami, dan membela aspirasi umat. Serta memiliki rasa toleransi yang tinggi dan juga adil pada seluruh warganya, termasuk yang bukan muslim.

Maka, saya berharap hal ini tidak lagi terjadi, membandingkan agama dan mumpuni dalam syarat memilih pemimpin. Karena pastinya akan membawa pada polemik, meski hal itu benar secara konstitusional.

***

Baiknya, membandingkan mumpuni dengan hal lain seperti integritas, karena masih banyak muslim yang mumpuni, masih banyak pula muslim yang berintegritas. Dan pasti ada muslim yang mumpuni dan juga berintegritas (amanah).

Oleh karena itu, tulisan ini mungkin bisa menjadi tambahan atau pelengkap dari tulisan kanda Robby Karman, dan mungkin juga bisa sebagai pengingat, bahwa meski benar dalam konteks bernegara, namun membandingkan antara agama dan mumpuni merupakan hal yang sangat sensitif.

Semoga tulisan mas Robby menjadi tambahan wawasan bagi kita semua, dan tidak menimbulkan hal-hal yang kurang bermanfaat, meski sudah menuai banyak reaksi. Apalagi ini bulan Ramadan, mari kita lebih meningkatkan amal ibadah kita walaupun hanya di rumah saja. Dan tulisan ini, tidak mengurangi rasa hormat saya kepada mas Robby Karman, baik secara pribadi ataupun lainnya.

Hanya saja, saya agak kurang sependapat jika muslim dan mumpuni yang seakan dijadikan perbandingan dalam memilih pemimpin. Meski secara aturan benar, namun menjadi muslim bukan untuk mendapatkan jabatan. Menjadi muslim merupakan pilihan berdasarkan aqidah (keyakinan), dan masih banyak muslim yang mumpuni menjadi seorang pemimpin.

Baca Juga  Tiga Hal yang Salah Kaprah Terkait Vaksinasi Berbayar
Editor: Yahya FR
Hendra Hari Wahyudi
97 posts

About author
Anggota Majelis Pustaka, Informasi dan Digitalisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur periode 2022-2027
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds