Salah satu persoalan seirius, saat pandemi Corona mewabah, lalu disertai kebijakan protektif negara-negara, adalah persoalan ketahanan pangan. Untuk kelas menengah ke atas (walaupun sebagian analis kiri mempersoalkan kategorisasi ini) bisa saja hal tersebut bukanlah sesuatu yang sangat genting, tapi bagi kaum miskin kota yang telah kehilangan kerja ini bisa menjadi hal yang mematikan.
Maka berjejerlah solusi yang ditawarkan oleh para perancang kota, selain tawaran tentang perlunya kebijakan jejaring pengaman sosial yang mantap bagi kelompok-kelompok rentan, ada juga tawaran-tawaran yang kedengaran sederhana tapi menurut saya, solusi-solusi sederhana jika dilakukan secara massif dan sistematis maka dampaknya pun bisa besar. Yang saya maksud dengan solusi sederhana di sini semisal urbanfarming. Ide ini berangkat dari kegelisahan akan kelangkaan kembar yang menghantui kota-kota, yakni kelangkaan lahan sekaligus kelangkaan bahan pangan.
Saya tidak mau membahas banyak soal detail teknis dari urbanfarming serta solusi-solusi semacamnya, dan sejauh mana prospeknya, tapi saya mencoba menghubungkannya dengan perkataan Epikuros (342-270 SM), “jika menyingkirkan semua daya rasa-merasa, engkau bahkan tidak punya apa pun tersisa yang dapat kau acu, atau dengan apa engkau mungkin sanggup menilai kesalahan perasaan yang engkau cela”. Yup, Epikuros mencoba mengangkat kembali tema-tema refleksi filosofis yang sempat dipinggirkan oleh tradisi platonik, seperti “kenikmatan”, “rasa”, “kebertubuhan” dan tentunya “tanggungjawab-diri” (self-responbility).
Yang menarik adalah cara Epikuros memahamkan tema-tema tersebut kepada para muridnya, dengan cara mengajak mereka hidup dalam sebuah komunitas persahabatan yang bersahaja. Dan secara fisik-geografis, hidup dalam sebuah lahan yang terdiri dari dua unsur penting, pemukiman dan taman yang didalamnya terdapat dapur yang dikelola bersama. Epikuros tek begitu muluk-muluk dalam berfilsafat, tak begitu buru-buru dan ketat secara logis dalam menggapai “kebenaran” serta “kebijaksanaan”.
***
B. Herry Priyono dalam buku “Filsafat Untuk Para Profesional” (2016), menuliskan bahwa Epikuros serta semua muridnya makan buah-buahan dan sayur-mayur yang ditanam dan dihasilkan dari kebun itu. Namun, perlu ditegaskan bahwa semua itu dilakukan bukan demi urusan diet atau sekedar hobi bercocok tanam. Ada semacam upaya Epikuros agar dirinya dan muridnya, bisa intim dan meresapi pelajaran penting dari siklus alam yang niscaya; siklus lahir, tumbuh dan membusuk. Dan sebagaimana tetumbuhan, manusia bahkan peradaban pun mengalami hal serupa, maka tak heran Epikuros juga terkenal akan pandangannya akan kematian, tak ada alasan untuk menakuti kematian, karena kematian merupakan hal alami sealami apa yang dilihat di taman.
Agar bisa intim dengan segala siklus alam, maka kebertubuhan adalah hal yang niscaya, dan perihal yang merupakan konsekuensi dari kebertubuhan yakni “daya rasa merasa”, dan hal ini sederhanya terdiri dari “rasa nikmat” dan “rasa sakit” alias “penderitaan”. Tapi Epikuros memilih untuk merefleksikan sekaligus mensyukuri “rasa nikmat”, “Kenikmatan adalah awal dan akhir hidup yang penuh berkah” ungkapnya. Diogenes Luertius (3 M) dalam The End of Life menyitir perkataan Epikuros “Aku tidak tahu bagaimana caranya mengonsepsikan kebaikan, jika aku menghindari kenikmatan lidah, menghindari kenikmatan cinta, serta kenikmatan-kenikmatan pendengaran dan penglihatan”.
Apa yang diungkapkan oleh Epikuros tentang kenikmatan tubuh, saya rasa penting untuk direnungkan. Sejak wabah Corona, ada semacam peningkatan kesadaran kita akan tubuh. Sebelum pandemi, tubuh kita beri asesoris tetapi kita acuhkan hak-haknya. Kita buat tubuh kerja rodi agar bisa menyelesaikan tugsa-tugas kuliah hingga subuh, kita paksa tubuh tuk merasakan lelah agar bisa lembur sehingga bisa mendapatkan upah tambahan. Tapi saat wabah corona menghampiri, kita sudah mulai memperhatikan alias agak memanjakan kondisi tubuh, menjaga kebersihannya, menjemurnya di bawah terik matahari, meminum vitamin dan suplemen, memilah-milah makanan dan minuman.
***
Begitu pula dengan soal pangan, ada beberapa di antara kita tidak begitu percaya dengan higienitas makanan yang beredar di perkotaan, belum lagi harganya yang lumayan mahal. Maka tak heran jika sebagian kawan yang telah dirumahkan, agar bisa menghemat pengeluaran, mengakses hasil perkebunan, pertanian dan peternakan di kampung halaman, untuk dikonsumsi atau dijual kembali. Tak sedikit kawan yang temui sering mengatakan “inilah keuntungan kalau tinggal di kampung, ada lahan, ada kebun, ada empang yang bisa diolah sambil menghabiskan waktu di masa lockdown, soal beras dan sayur-mayur tak usah lagi dicemaskan, ”.
Walaupun hal-hal di atas bisa diusahakan oleh orang per orang, tapi tidak semua warga miskin kota yang bisa mengakses hasil bumi dari pedesaan, sehingga mereka masih tetapi berjibaku dengan harga bahan pokok yang senantiasa naik. Pemerintah perlu serius menangani ini, jangan sampai wabah corona hanya melahirkan kelaparan dan kemiskinan yang lebih akut. Jikapun wabah Corona bisa kita antisipasi bersama, kita perlu memikirkan ulang kota-kota kita agar bisa survive dalam situasi darurat (dengan cara menginventarisir dan merealisasikana ide-ide inovatif tentang kota berkelanjutan), wabah-musibah-perang-konflik sosial bukanlah hal yang kita harapkan tapi tetap saja terbuka kemungkinan bisa terjadi. Soal perut kedengaran sederhana, tapi pengabaian akannya bisa menimbulkan malapetaka, “permulaan dan akar bersama kebaikan adalah kenikmatan perut; bahkan kebijaksanaan dan kebudayaan pun harus dikembalikan pada hal ini”, ucap Epikuros melalui mulut Diogenes.
***
Tapi kita jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa sentralitas tema “kenikmatan” dalam refleksi-refleksi Epikuros, menandakan Epikuros merupakan seorang “pengumbar nafsu”. Berkata Epikuros, “Ketika meyatakan kenikmatan adalah kebaikan tertinggi, kami tidak memaksudkan itu kenikmatan-kenikmatan orang bejat atau dari mengumbar nafsu”, lalu dia lanjut berkata “karena begitu sering kebaikan terjadi pada apa yang terasa menyakitkan, dan juga sebaliknya begitu sering malapetaka terjadi pada apa yang sepintas kita rasakan nikmat”.
Dan sebagai penutup esai ini, ada nasihat dari Epikuros yang penting tuk kita simak, “membiasakan diri dalam kebutuhan dan kebiasaan sederhana serta tidak berlebihan merupakan cara terpenting menyempurnakan kesehatan dan kewarasan”. Tapi dari pengalaman saya, dan mungkin juga para pembaca, “hidup sederhana” juga butuh tekad karena tak sesederhana pengucapannya.