Perspektif

Iman dan Ilmu (2): Penerapan Benang Ariadne dalam Kehidupan

4 Mins read

Tulisan bagian pertama telah menjelaskan lapisan–lapisan peradaban sebagaimana teori radiasi budaya. Juga menjelaskan iman dan ilmu sebagai “benang Ariadne” dalam kehidupan. Berikutnya, Toynbee berdasarkan hasil risetnya menjelaskan bahwa meskipun sains-teknologi, estetika dan etika suatu peradaban atau negara telah hancur, selama peradaban tersebut masih menyimpan visi spiritualitas di jantung peradabannya, maka  peradaban itu tetap akan bertahan.

Iman dan Ilmu sebagai Benang Ariadne

Sebaliknya meskipun sains teknologi, estetika dan etika kuat, tetapi visi spiritualitas tidak ada sebagai jantung peradabannya maka tunggu saja, peradaban itu akan hancur. Namun peradaban (agama atau negara) yang bisa berpengaruh/mempengaruhi peradaban lain adalah peradaban yang menguasai atau unggul di lapisan terluarnya, yaitu sains-teknologi.

Radiasi budaya yang dirumuskan oleh Arnold Toynbee bagi Yudi Latif, merupakan cara muda memahami QS. Mujadalah/58 ayat 11. Sudah cukup jelas bahwa modal untuk mencapai keunggulan dalam kehidupan adalah iman dan ilmu.

Pada tulisan bagian pertama, dijelaskan bahwa iman dan ilmu sesungguhnya sudah built-in dalam diri. Lalu mengapa manusia masih terjebak dalam labirin kehidupan? Karena sesungguhnya manusia, selain diberikan bekal berupa iman, akal, ilmu termasuk modalitas psikologis, manusia juga diberikan kehendak bebas oleh Allah.

Sebelum menjelaskan lebih jauh, saya menekankan terlebih dahulu bahwa ilmu yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah ilmu pengetahuan (meskipun tentunya ada perbedaan antara ilmu dan pengetahuan). Ini untuk menghindari kesalahpahaman dari pembaca karena saya menyebutnya telah built-in dalam diri. Padahal tentunya pengetahuan menjadi ilmu dan semakin matang seiring proses belajar yang dilakukan oleh manusia.

The power of choice, kekuatan memilih, termasuk menjadi hal urgen dalam kehidupan manusia. Apakah ingin, menggunakan iman dan ilmu sebagai “benang Ariadne” dalam mengarungi labirin kehidupannya atau tidak. Dan kebebesan berkehendaknya, bisa juga memilih salah satunya atau tidak memilih kedua-duanya.

Baca Juga  Pandemi saat Ramadhan: Sindiran Allah Kepada Hambanya

Tujuh Belenggu Hati

Berdasarkan hasil pemahaman saya dari buku ESQ, Emotional Spiritual Quotient Ary Ginanjar Agustian (2005) bisa ditemukan benang merahnya dan memiliki relevansi bahwa iman dan ilmu adalah modal mencapai keunggulan dalam kehidupan.

Pada bagian 1 (satu) buku ESQ tersebut yang pada substansinya memberikan pemahaman bagaimana melakukan zero mind process (penjernihan emosi) bisa dipahami bagaimana urgensi ilmu di dalamnya. Zero mind process untuk membersihkan hati yang dikenal God Spot (suara ilahiah) dari belenggu hati yang terdiri dari 7 hal, dibutuhkan ilmu.

Bagaimana menghilangkan belenggu hati: mulai dari 1) prasangka negatif, 2) prinsip hidup yang salah, 3) pengalaman negatif, 4) kepentingan yang berorientasi pribadi, 5) sudut pandang yang tidak jernih, 6) pembanding yang kurang tepat, dan 7) literatus yang dangkal, saya memahami kuncinya adalah ilmu. Tujuh hal ini yang disebut dengan belenggu hati.

Hanya dengan memiliki ilmu yang matang kita bisa memahami dan merasakan dampak negatif dari tujuh belenggu hati tersebut. Dan tentunya hanya dengan ilmu pula kita bisa merubah ke tujuh hal tersebut agar tidak lagi menjadi bagian dari belenggu hati. (Ary Ginanjar, 2005: 63-116).

Hati yang sudah bersih dari tujuh belenggu hati agar tetap terjaga maka dibutuhkan iman sebagai lapisan baja agar tidak mudah digerogoti lagi. Jadi iman merupakan lapisan baja yang melindungi hati kita. Hati yang terjaga dengan iman, keimanan maka akan mampu menggunakan ilmu yang dimilikinya sesuai dengan asas manfaat untuk kepentingan bersama.

Internalisasai Iman dan Ilmu

Membaca buku ESQ bagian 2 (Ary Ginanjar, 2005: 117-248), saya memahami atau kita bisa memahami bahwa sesungguhnya iman atau keimanan itu adalah merupakan bangunan mental bagi diri kita. Sekaligus iman, mulai dari iman kepada Allah, sampai iman kepada hari akhir bisa menjadi prinsip sebagai modal untuk membangun mental yang tangguh.

Baca Juga  Islam itu Rasional (3): Akal Punya Porsi Besar dalam Agama!

Selain ilmu, ketangguhan mental merupakan modal utama dan terbaik dalam mengarungi kehidupan terutama yang bagi sebagian orang menilainya sebuah labirin. Bijaksana, integritas, rasa aman, kemampuan bertahan dalam situasi yang terus berubah, kepercayaan diri, motivasi, loyalitas, empati, komitmen yang tinggi, saling percaya, menjadi teladan. Semua ini adalah percikan dari iman.

Bahkan spirit literasi, spirit mencari kebenaran, kemampuan berpikir kritis, berpikir maju, saya memahaminya dari teori ESQ Ary Ginanjar sebagai percikan, manifestasi dari keimana itu sendiri. Maka teranglah, ketika Yudi Latif dalam memahami teori radiasi budaya Arnold Toynbee menyebut bahwa visi spiritualitas (iman) adalah jantung dari peradaban.

Iman dan ilmu dan relasi keduanya penting untuk diinternalisasi dalam diri untuk kemudian dieksternalisasikan dalam praksis sosial. Kunci untuk memperkokoh keimanan dan keilmuan dalam diri adalah dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan semangat belajar.

Saya termasuk orang yang berprinsip dan memahami bahwa Allah menjanjikan keunggulan kepada hambaNya kepada yang beriman dan berilmu. Bukan karena status sosial yang lainnya. Meskipun saya gagal menjadi sarjana, tetapi saya memahami bangku kuliah dengan jenjang pendidikan sampai paling tertinggi adalah episesntrum (pusat) mengokoh iman dan ilmu.

Psiko-Material-Pragmatis

Tentunya ada syarat, bukan orang yang hanya menjadikan bangku kuliah sekadar mencapai ijazah dan wisuda semata. Dan bagi yang tidak mampu kuliah, kata kuncinya jangan berhenti berdoa dan belajar agar iman dan ilmu sebagai modal mencapai keunggulan tetap bisa diraih.

Iman dan ilmu dan relasi keduanya yang tak terpisahkan bisa membangun benteng pertahanan bagi diri. Bagi saya ada dua benteng pertahanan yang bisa terbangun untuk diri yaitu benteng psiko-material-pragmatis dan benteng psiko-religius-spritualistik.

Kedua benteng ini, dibutuhkan dalam kehidupan untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan. Meskipun seringkali benteng pertama, psiko-material-pragmatis mudah jebol oleh hal sepele sekalipun. Kedua benteng ini dan penamaannya adalah istilah yang saya rumuskan sendiri dalam kehidupan ini.

Baca Juga  COVID-19 Edisi Kedua: Ujian Cinta di Bulan Istimewa

Benteng psiko-material-pragmatis adalah mekanisme pertahanan diri dimana aspek psikologis, kejiwaan, mental di landaskan pada kalkulasi, pertimbangan dan orientasi yang bersifat material dan pragmatis (bermanfaat secara praktis). Ini tetap dibutuhkan dalam mencapai kesuksesan, apalagi jika memperhatikan mekanisme visualisasi dalam teori psikologi.

Visualisasi dalam mencapai kesuksesan semakin kuat frekuensi jangkauannya jika dibarengi muatan emosional (dalam pemahaman saya sesuatu yang bersifat material dan pragmatis). Namun benteng yang pertama ini tetap membutuhkan benteng kedua agar ketika benteng ini jebol ketika orang lain melihat kelemahan kita masih ada benteng yang lebih kokoh di dalamnya.

Psiko-Religius-Spiritualistik

Benteng psiko-religius-spiritualistik adalah mekanisme pertahanan diri, dengan menyandarkan aspek psikologi, mental, karakter pada pertimbangan, kesadaran dan orientasi nilai –nilai religiusitas dan sprititualistik. Bagi saya dan ini telah terbukti mampu membentengi dalam perjalan labirin kehidupan ini.

Badai sekalipun, kita masih mampu berselancar di atas ombak, masih bersikap tenang, percaya diri, berkomitmen, konsisten pada rel perjuangan, keteguhan sikap, penuh motivasi dan menjadi inspirasi bagi kehidupan. Ini semua adalah manifestasi, pemaknaan dan pemahaman progresif dari keimanan.

Iman kepada Allah, akan memberikan ketenangan dan rasa percaya diri yang maksimal karena sesungguhnya kita sadar inna lillahi wa inna ilahi ra’jiun (segala sesuatunya berasal dari Allah dan kembali kepada Allah). Dan manifestasi, wujud nyata dari Iman kepada qadha dan qadar.

Jadi marilah kita terus menjaga “benang Ariadne” dengan mengokohkan keimanan dan memperdalam ilmu pengetahuan dalam rangka mencapai keunggulan hidup. Dengan terus mendekat diri kepada Allah dan meningkat semangat belajar.

Editor: Nabhan

17 posts

About author
Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng, Sulawesi Selatan Komisioner KPU Kab. Bantaeng Periode 2018-2023
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds