Inspiring

Ibrahim M. Abu Rabi’, Penggagas Kajian Islam Historis

3 Mins read

Julukan sebagai intelektual putra dua benua layak disematkan pada Ibrahim Abu Rabi’. Meski secara biologis terlahir di Nazaret, Galilea, Palestina pada tahun 1956, Abu Rabi’ ternyata memegang kewarganegaraan ganda: Israel dan Amerika Serikat.

Abu Rabi’ terkemuka sebagai spesialis sejarah pemikiran Islam. Hal  ini tak lepas dari konsentrasi akademiknya di bidang studi Islam, agama-agama dunia, mistisisme, agama dan sosiologi, agama dan filsafat politik, ilmu politik, dan sejarah Timur tengah. Selain Bahasa Arab, Abu Rabi’ mahir dan menguasai Bahasa Inggris, Perancis, Persia, bahkan Ibrani.

Tidak mengherankan jika kompetensi yang dimilikinya kemudian melahirkan berbagai karya terkait problematika pemikiran Islam kontemporer, studi agama-agama dan studi Islam.

Karir Kesarjanaan

Kesarjanaannya dimulai dari Universitas Bir Zit di Tepi Barat. Gelar masternya ia dapatkan di Universitas Chincinati dan Temple University. Gelar doktor (Ph.D) ia dapatkan di Temple University Departement of Religion pada 1987. Berhasil menjadi guru besar studi Islam dan pernah menjabat co-Direktur Pusat MacDonald untuk Studi Islam dan Hubungan Muslim-Kristen.

Abu-Rabi’ pernah menjabat sebagai Dewan Redaksi jurnal Muslim World. Selain disertasinya yang berjudul “Islam and Search for Social Order in Modern Egypt: An Intellectual Biography of Shaykh al-Azhar ‘Abd Halim Mahmud”, Abu Rabi’ terhitung sebagai penulis prolifik dengan karya-karya yang begitu kontributif. Di antara karya-karya yang pernah ditulisnya adalah:

Pertama, Buku:

  1. Work in Progress Neolibralism and Its Discontent: Studies in Post-1967 Arab Thought;
  2. Intellectual Origins of Islamic Resurgrnce in The Modern Arab World (New York: State University Of New York Press, 1996);
  3. Islamic Resurgence and The Challenge of The Contemporary World: A Round-Table Discussion with Professor Khurshid Ahmad (Tampa: The World and Islam Institute, 1995);
  4. The Pearls of Wisdom by the North African Mystic Ibn al-Sabbagh (Albany: State University of New York Press);
  5. The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought (Oxford: Blackwell Publishing, 2006);
  6. Contemporary Arab Thought: Studies In Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004) .
  7. The Contemporary Arab Reader on Political Islam (2010)

Kedua, Artikel:

  1. A Post September 11 Critical Assesment of Modern Islamic History (2002);
  2. Between Sacred Text and Cultural Constructions: Modern Islam as Intellectual History (2000);
  3. Arabism, Islamism, and The Future of The Arab World: A Review Essay (2000);
  4. Globalization: A Contemporary Islamic Response? (1998);
  5. An Islamic Response to Modernity (1998)
Baca Juga  Ziauddin Sardar dan Penafsiran Ulang Terhadap Wahyu

Jika dilihat dari karya-karyanya, jelas terkesan Abu Rabi’ lebih tertarik mengkaji Islam dari perspektif historis-empirik. Abu Rabi’ tidak lagi tertarik untuk melalukan ide-ide pembaharuan yang bersifat normatif-dogmatis yang berlandaskan pada teks keagamaan.

Empat Perspektif Studi Islam

Abu Rabi’ menilai bahwa pendidikan Islam umumnya masih konservatif. Tegasnya, masih miskin metode dan tidak kaya perspektif. Bahkan masih ada beberapa negara berpenduduk Muslim yang  menganggap tidak penting ilmu sosial, lebih-lebih filsafat kritis.

Sosiologi  agama masih tidak dianggap penting  bagi Ulum al-Din dan  studi Islam. Tidak memerlukan bantuan dan masukan  analisis dan pandangan  dari disiplin keilmuan lain, baik dari sains, keilmuan sosial maupun humaniora.

Bagi Ibrahim M. Abu Rabi’, studi Islam kontemporer  perlu diperkaya dengan berbagai perspektif. Setidaknya, ada  empat  perspektif, yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan lainnya.

Pertama, ideologis. Di berbagai negara Arab modern dikenal istilah  Islam resmi (official  Islam), sedang yang lain Islam oposisi (oppositional  Islam). Islam dapat menjadi kekuatan pasif tetapi juga bisa merupakan kekuatan yang revolusioner. Islam dapat “digunakan” sebagai gerakan ke arah kemajuan tetapi juga dapat menjadi alat melegitimasi kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat.

Kedua, teologis. Islam dapat dipandang sebagai sistem kepercayaan yang terbuka. Dengan lain kata, seseorang dapat memahami watak teologis  Islam sejak dari perspektif sejarah agama-agama, khususnya Yahudi dan Kristen, sampai  melihat Islam dari pandangan teologis yang inklusif, yaitu keesaan Tuhan.

Ketiga, nash. Al-Qur’an maupun hadis membentuk landasan utama tekstual Islam, fundasi utama teologi Islam. Oleh karenanya, sejak awal mula munculnya Islam, hubungan dialektis antara teks dan sejarah manusia, antara teks  dan pemikiran manusia telah ada.

Baca Juga  Kontribusi Al-Idrisi dalam Bidang Geografi Modern

Keempat, antropologis. Islam adalah fakta antropologis yang sangat luas. Benar memang bahwa Islam mempunyai pokok ajaran yang bercorak normatif. Namun, dalam evolusi perjalanan sejarahnya yang panjang, Islam telah mendorong lahirnya tradisi politik, filosofis, literer, sosial dan kultural yang sangat kompleks, yang sampai sekarang masih menjelaskan pandangan manusia Muslim.

Adalah kenyataan yang tidak dapat ditolak bahwa Islam dapat dilihat dari berbagai perspektif. Perspektif Ideologis, teologis, nash maupun antropologis. Tidak mono perspektif. Jadi dalam melihat persoalan sosial-keagamaan, setidaknya ada  empat  perspektif. Bisa lebih, bisa kurang.

Kajian Islam Multiperspektif

Ketika hendak menjelaskan makna persoalan agama  seorang pemimpin agama, ulama, dosen, guru, da’i/yah, ustadz/ah, khatib, tokoh atau pemimpin organisasi keagamaan, pejabat pemerintah era sekarang seyogyanya selalu mempertimbangkan  dan mendialogkan  ke empat perspektif tersebut sebelum mengeluarkan pendapat atau sikap.

Dengan kata lain, metode dan pendekatan studi Islam memerlukan cara berpikir yang bersifat multidisiplin, transdisiplin dan interdisiplin.  Uraian ini bukan dimaksudkan untuk menggiring ke arah relativisme, apalagi nihilism, tetapi kata kunci “perspektif” di sini  adalah untuk melihat persoalan agama secara menyeluruh dari berbagai aspek keilmuan.

Dengan begitu, sebagaimana Abu Rabi’ menginginkan lahirnya sarjana  studi Islam yang mampu mengatasi problem umat Islam kontemporer. Sarjana-ilmuan yang tidak terkait dengan kepentingan penguasa, malainkan intelektual dengan semangat kritis-obyektif keilmuan untuk menjadi problem solving kehidupan umat Islam saat ini.

Editor: Yahya FR
Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *