Tafsir

Mencumbui Al-Qur’an Tak Cukup Hanya Dibaca

4 Mins read

Bulan Ramadan adalah bulan Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an jarang dibaca di bulan-bulan lain, maka cara mengistimewakannya di bulan ini dengan dibaca se-intens mungkin. Lahirlah tradisi tadarus di masjid-masjid. Di masa Covid-19, semangat itu tak berkurang. Tadarus ditingkatkan menjadi tahsin (bina-pelafalan) via grup WA atau Zoom.

Ada cara lain untuk mengistimewakan Al-Qur’an, yakni dengan merefleksikannya. Di Bulan Ramadan, seyogianya umat Islam mendekati Al-Qur’an bukan untuk melafalkan bunyinya saja, tapi untuk membaca nilai di dalamnya, menarik komitmen etisnya, atau sekadar menggali hikmah dari kisah-kisah dan hukum-hukumnya. Itulah yang disebut refleksi.

Refleksi, saya kira, berbeda dari tafsir. Refleksi adalah hasil percumbuan pribadi antara kita (pengalaman, pengetahuan, keyakinan, harapan) dengan Al-Qur’an (sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa). Atas dasar ketakwaan (baca: itikad baik untuk umat manusia), seorang muslim sah berinteraksi langsung dengan Al-Qur’an.

Tapi refleksi semacam itu terhalang oleh dua hal. Pertama, refleksi berkaitan dengan penggunaan akal dan akal pada umumnya telah terlanjur terkesan buruk untuk memahami Al-Qur’an. Kedua, adanya suatu anggapan umum (yang menakutkan) bahwa Al-Qur’an terlalu sakral untuk dipahami, kecuali oleh mereka yang memiliki otoritas ilmu tafsir.

Mari membedahnya lebih jauh.

Mengenai Larangan Menggunakan Akal

Benarkah akal tidak bisa digunakan untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an? Penggunaan akal ditolak karena beredarnya sejumlah hadis tentang bahayanya memahami agama dengan akal. Hadis riwayat Imam Tarmidzi dan Ibnu Abbas sering dirujuk: “Siapa yang mengatakan sesuatu dalam Al-Qur’an dengan ra’y-nya, maka tempat tinggalnya di neraka!”

Padahal kamus al-Maurid menegaskan ra’y tidak sama dengan ‘aql. Ra’y adalah opini subjektif, yang mengada-ada, bi ghairi ‘ilm (tanpa pengetahuan). Jatuhnya adalah takalluf (pemaksaan makna). Pendek kata, ra’y adalah mengarang indah. Tapi bila ada dasar pengetahuan (sekalipun bukan pengetahuan tekstual), refleksi menjadi sah.

Baca Juga  Delapan Karakter Ummah Wasath

Dari jalur Ibnu Abbas, ada redaksi hadis berbunyi: “Siapa yang mengatakan sesuatu dalam Al-Qur’an dengan akalnya, meski ia benar, ia tetap salah.” Namun Imam Tarmidzi menganggap aneh hadis ini (gharib). Sebab para sahabat dan ahli ilmu menafsirkan Al-Qur’an dengan ilmu, dan tidak masalah. Bagaimana mungkin kebenaran dikatakan tetap keliru?

Hadis-hadis mengenai larangan penggunaan ra’y dinilai oleh sebagian ahli hadis sebagai daif. Menurut tahqîq Ahmad Muhammad Syâkir (Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, h. 78), seluruh hadis larangan ra’y menyertakan Abdul A’la ibn Amir al-Tsa’labi yang riwayat tertolak. Meski ada juga ahli hadis yang mensahihkan hadis itu, setidaknya kita melihat perdebatan.

Pada pokoknya, ra’y berbeda dengan ‘aql. Dibandingkan dengan yang pertama, ‘aql adalah akumulasi pengetahuan, pengalaman, dan sense terhadap nilai untuk membaca maksud-maksud Al-Qur’an secara objektif. Tidak ada yang benar-benar tekstual dalam memahami Al-Qur’an. Kognisi (idrak) pasti terlibat dalam wujud penalaran, setidaknya di level metodologi.

Dapat dikatakan, merefleksikan Al-Qur’an secara mandiri bukanlah problem. Pun bila kita yakin larangan ra’y itu benar, redaksi-redaksinya tidak menggunakan kata fassara. Larangan ra’y bertujuan untuk melindunginya dari rekayasa. Kita maklum, 300 tahun pertama sejarah Islam pekat pertikaian politik dan ideologi. Agama dijadikan justifikasi.

Lagipula, larangan menggunakan akal (nalar reflektif) bersifat kontradiktif, karena Al-Qur’an sendiri mendorong manusia memaksimalkan peran akal dalam kehidupan, termasuk dalam memahami ayat-ayat Allah. Tak kurang 59 kali Al-Qur’an menyeru demikian. Seruan itu ditujukan bukan untuk para mufassir, melainkan untuk segenap manusia.

Mengenai Otoritas Tekstual

Di dunia Islam, otoritas punya wacana yang cukup seksi. Sebab sepeninggal Nabi Saw., pada hakikatnya tidak ada lagi otoritas tunggal. Sejumlah Sahabat yang menjadi guru bagi para Tabi’in. Kadang, pendapat-pendapat mereka mengenai suatu hal saling berbeda. Hasil ijtihad ‘Umar, misalnya, kerap mengejutkan kebanyakan sahabat karena keberbedaannya.

Baca Juga  Kisah Nabi Musa Bertemu dan Berguru dengan Nabi Khidir

Siapakah yang otoritatif dalam Islam? Para ahli yang mendapatkan training. Para sahabat di-training langsung oleh Nabi. Para Tabi’in di-training oleh sejumlah sahabat. Begitu seterusnya. Mereka yang memiliki ilmu + training adalah pemegang otoritas. Artinya, otoritas itu banyak. Dua otoritas bisa mengeluarkan pendapat yang bertolak belakang.

Saat terdapat dua otoritas berkonflik, dialektika terjadi. Inilah keunggulan Islam: dialektika. Ada perdebatan, saling koreksi. Dialektika adalah kesempatan otoritas untuk merawat ‘Islam otentik’ di hadapan perkembangan zaman. Artinya, dialektika juga menjamin bolehnya refleksi mandiri atas Al-Qur’an. Sebab bila refleksi itu keliru, dialektika akan menjaganya.

Menurut hemat saya, otoritas bukanlah penguasa. Otoritas tidak berhak menghukum perbedaan. Otoritas hanya berhak berdialektika. Otoritas bertugas menjaga keotentikan dan standar tinggi ilmu-ilmu Islam (misalnya, untuk menulis kitab tafsir, seseorang harus punya paham khazanah ilmu tafsir). Tapi otoritas bukanlah polisi yang bisa sewenang-wenang.

Refleksi adalah ruang pribadi seorang penganut agama yang tidak bisa diganggu otoritas. Refleksi tidak bisa dikekang. Sebab, Al-Qur’an tidak turun untuk mufassir saja. Al-Qur’an turun untuk siapa saja yang mau memahami kebenaran, lepas dari tinggi rendahnya keilmuan seseorang. Tak perlu otoritas, sebab otoritas bergunanya di ruang formal.

Kalau refleksi mandiri adalah terlarang, dan hanya otoritas yang berhak melakukan itu, maka penerjemahan Al-Qur’an pun semestinya tidak boleh. Sebab, terjemahannya berpotensi membuat orang membaca tanpa metodologi. Tapi lihat: betapa banyak orang yang memutuskan masuk Islam karena membaca terjemahan. Mereka berefleksi!

Konteks

Otoritas hanya akan menjadi sesuatu yang dipatuhi lebih karena takut, bagi masyarakat yang tidak memiliki budaya mandiri dalam belajar. Agama lebih banyak dikendalikan oleh ketakutan: takut salah, takut dosa, takut kualat, dan sederet ketakutan lainnya yang membekukan nalar kreatif-dinamis-etis, yang dibutuhkan untuk menghadapi zaman.

Baca Juga  Keistimewaan Al-Qur'an: Pesona Bahasanya yang Tak Tertandingi

Lain halnya bagi masyarakat yang punya budaya mandiri dalam belajar. Otoritas lebih berfungsi sebagai rekan dialektika. Adalah keberanian dalam berpikir, yang dibalut oleh harapan dan itikad baik, yang mengendalikan umat. Refleksi personal atas Al-Qur’an pada akhirnya menjadi sah karena hasil refleksi itu bukanlah sebagai rujukan umat.

Kita menginginkan masyarakat muslim yang intens berdialog dengan kitab sucinya sendiri, agar semangat, nilai, dan cita-cita Islam bisa dihayati. Dan sifat universal Al-Qur’an memungkinkannya disentuh oleh berbagai lapis pemahaman. Bulan Ramadan adalah bulan ideal untuk menyerukan dialog intens itu. Caranya: membaca Al-Qur’an dengan refleksi. Umat Islam harus berani membiasakan refleksi. Berani ‘bercumbu’ dengan Al-Qur’an.

Editor: Yahya FR
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *