Perspektif

Festival Takbir Keliling, Ibadah, atau Bid’ah?

4 Mins read

Takbir di malam idul fitri merupakan wujud rasa syukur seorang muslim karena itu pertanda bahwa telah masuk ke dalam malam 1 Syawwal. Yang berarti ramadhan berangsur angsur usai dan masuk ke dalam bulan penuh kemenangan, bulan yang fitri. 

Festival takbir keliling atau bahasa mudahnya takbiran. Sebagian besar dilakukan oleh masyarkat indonesia sebagai ungkapan rasa syukur dan berbagi kabar serta kebahagiaan bagi yang lain. Takbir adalah kalimat Allahu Akbar yang berarti Allah Maha Besar dan pengagungan atas keesaan dan asma Allah SWT.

Maka tidak heran, saat malam 1 syawal atau saat malam idul fitri. Masyarakat berbondong bondong untuk keluar dan bertakbir. Macam macam memang ekspresi orang besyukur, begitupun dengan tatapelaksanan takbiran. Ada yang di masjid, ada yang naik mobil pick up. Ada yang naik becak. Apa saja. Intinya semua bergembira dalam balutan kesyukuran yang sangat kental dan islami.  Hal itu senada dengan karakteristik masyarakat indonesia yang suka bergotong royong dan tolong menolong.

Lantas apakah festival takbir keliling itu bagian dari ibadah atau bid’ah?

Takbiran di Malam Idul Fitri 

Ada banyak pendapat para ulama yang sebenarnya dapat menguatkan kita bahwa bertakbir pada malam hari sebelum idul fitri adalah bagian dari amalan yang disyariatkan termasuk yang disunnahkan. Termasuk juga diantaranya untuk takbir di hari Idul Adha dan hari hari Tasyriq.

Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dalam kolom tanya jawab agama tertanggal 30 Juni 2016 (penanya bertanya tentang lomba takbiran apakah boleh menurut tarjih?) dan dimuat di suaramuhammadiyah.id dengan merujuk diantaranya firman Allah SWT yang berbunyi :

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Artinya: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” [QS al-Baqarah (2): 203]

Baca Juga  Konsep Khilafah HTI Vs Konsep Khilafah Ahmadiyah

Imam  Ibnu Katsir berkomentar: “Termasuk dalam cakupan ayat ini adalah berdzikir sebentar selepas shalat lima waktu, meski dzikir tidak dibatasi pada satu waktu tertentu (tapi bisa dilakukan kapanpun). Dalam masalah ini terdapat banyak pendapat para ulama, namun yang sering dilakukan adalah (takbir) seusai shalat subuh pada hari Arafah hingga usai shalat ashar pada hari tasyriq terakhir.” (Tafsir Ibnu Katsir, vol.I/651)

 حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ عَاصِمٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخرُجَ يَوْمَ اْلعِيْدِ، حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكَرَ مِنْ خِدْرِهَا، حَتَّى نُخْرِجَ الْحَيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيْرِهِمْ وَيَدْعُوْنَ بِدُعَائِهِمْ، يَرْجُوْنَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ.رواه البخاري

Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh, telah menceritakan pada kami ayahku dari Ashim dari Hafshah dari Ummu Athiyah, berkata: ‘Kami diperintahkan pergi shalat ’Idul (Fitri) bahkan anak-anak gadis pergi keluar dari pingitannya. Begitu juga wanita-wanita yang sedang haidh, tetapi mereka ini hanya berdiri di belakang orang banyak, turut takbir dan berdoa bersama-sama. Mereka mengharapkan memperoleh berkah dan kesucian pada hari itu’.” [HR. al-Bukhari: 971] 

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هٰرُونَ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الزُّهْرِي أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ اْلفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يُأْتَي اْلمُصَلَّى وَحَتَّى يُقْضَي الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةُ قُطِعَ التَّكْبِيرُ

Artinya: “Telah menceritakan pada kami Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’bu dari az-Zuhri bahwasannya Rasulullah Saw keluar pada hari fitri lalu ia bertakbir hingga sampai ke tempat shalat dan hingga shalat ditunaikan. Apabila shalat ditunaikan, takbirpun berhenti.” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 5611, dengan sanad shahih dan didukung oleh jalur lain dari Ibnu Umar]

Dari dalil-dalil di atas, para ulama mazhab fikih yang empat berkesimpulan dan bersepakat bahwa takbir, baik untuk hari raya Idul Fitri dan Idul Adha’ disunnahkan. Demikian menurut mazhab Syafi’i dan Maliki serta dipegangi oleh Jumhur ulama. Mazhab Hanbali menyimpulkannya wajib, sedang mazhab Hanafi tidak disunahkan bertakbir.

Baca Juga  Di Balik Pemutaran Film G30S/PKI, Ada Sejarah Kelam yang Dibungkam

Hal itu sebagaimana di kutip oleh Ibnu Qudamah; al-Mughni, vol 3/255, juga Asy-Sfai’i; al-Umm, vol. 4/286. Untuk waktu kapan dimulainya takbir, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa takbir dimulai setelah matahari tenggelam pada malam ’Id sampai dengan dimulainya shalat ’Id dan atau ketika Imam  selesai berkhutbah menurut Imam Ahmad. (Majmu’ al-Fatawa, vol. 24/221).

Dalam tafsir Al-Jami` Li Ahkamil Quran karya Al-Qurthubi jilid 2 hlm 302 juga disebutkan bahwa firman Allah dalam surat  Al Baqoroh ayat 185 yang berbunyi :

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Telah menjadi dasar masyru`iyah (legalitas) atas ibadah takbir di malam `Ied, terutama `Iedul Fithri. Prof Dr Wahbah Zuhayli dalam Fikhul Islam wa Adillatul juga mengatakan bahwa
Jumhur ulama berpendapat: disunnahkan bahkan bertakbir dengan nyaring di mana pun, di rumah, di pasar, di jalan-jalan, di masjid ketika menjelang dilaksanakannya salat id.

Festival Takbir Keliling itu Dakwah

Melanjutkan tentang permasalahan bahwa festival takbir keliling itu sunnah atau bid’ah. Maka saya akan menyamakan pertanyaan penanya yang tadi sudah saya kutip fatwa tarjihnya di bagian atas. Biar kita nyambung dulu dan menyamakan persepsi bahwa lomba takbiran akan sama halnya dengan festival takbir keliling. Agar nanti jawabannya bisa kita pahami bersama.

Oke baiklah. Ada pendapat ulama memang yang mengatakan bahwa acara semacam festival takbir keliling itu adalah bid’ah. Syeikh Abdul Aziz bin Abdul bin Abdullah bin Baaz misalnya. Dikutip dari almanhaj.or.id tentang Hukum Takbir Jama’i di masjid masjid sebelum sholad ied yang dikutip ulang dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VI/1423H/2003M menuliskan bahwa hukum asal takbir pada malam Ied, sebelum shalat Iedul Fithri, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan pada hari-hari tasyriq merupakan amalan yang di syariatkan pada waktu-waktu yang utama ini.

Baca Juga  Gerakan Filantropi di Tengah Resesi Ekonomi Covid-19

Sifat takbir yang masyru, ialah setiap muslim bertakbir dan mengeraskan suaranya sehingga orang-orang mendengarkan takbirnya, lalu merekapun mencontohnya dan ia mengingatkan mereka dengan takbir.

Adapun takbir jama’i yang mubtada’ (yang bid’ah), ialah adanya sekelompok jama’ah –dua orang atau lebih banyak- mengangkat suara semuanya. Mereka memulai bersama-sama dan berakhir bersama-sama dengan satu suara serta dengan cara khusus. Amalan ini tidak mempunyai dasar serta tidak ada dalilnya. Hal seperti itu merupakan bid’ah dalam cara bertakbir.

Majelis Tarjih PP Muhammadiyah punya pendapat tersendiri terkait hal ini. Sebagaimana penulis kutip dari fatwa tarjih diawal bahwa salah satu bagian penting dari bangunan ajaran Islam yang juga bisa diumpamakan menjadi pondasi tegaknya bangunan itu adalah dakwah, yang secara sederhana bermakna seruan/ajakan.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Artinya:“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” [QS. Ali ‘Imran (3): 110]

Salah satu metode untuk menuju ke arah pembuktian tersebut adalah dengan –dalam bahasa ilmu dakwah disebut dengan syiar dakwah. Syiar dakwah dapat dilakukan dengan bermacam metode dan bentuk asalkan tetap berjalan sesuai dengan koridor ajaran Islam.

Dan terkait lomba takbir keliling atau dalam penyamaan persepsi diatas sebagai festival takbir keliling yang bertepatan dengan momentum dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) dapat dimasukkan dalam kategori syiar dakwah.

Kegiatan ini lebih dikategorikan sebagai syiar agama Islam. Tentu saja pihak penyelenggara dan peserta tetap harus menjaga norma-norma ajaran Islam, di antaranya mengetahui dan melaksanakan adab berjalan dalam Islam. Tidak mengganggu hak pengguna jalan lain, tidak membuat gaduh, termasuk diperhatikan juga ketepatan pengucapan lafal takbir, hingga memakai kostum yang sopan sesuai dengan ajaran Islam. Dan utamakan diniatkan dengan ikhlas demi syiar agama Islam.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds