Feature

‘Masyarakat Hibernasi’ di Era Pandemi

4 Mins read

Diam di rumah! Kerja dari rumah! Jangan pergi keluar! Jaga jarak ketika berkomunikasi dengan tetangga, kolega di tempat kerja, teman, dan  bahkan anggota keluarga! Jangan percaya siapapun, kecuali prosedur! Ikuti protokol kesehatan dan jangan banyak komplain! Masyarakat pun menjadi masyarakat hibernasi

Kita saksikan berbagai pernyataan tersebut di mana-mana: televisi, media sosial, koran, dan bahkan banner yang terpampang di ruang publik. Kita merasakan, mobilitas sosial semakin terbatas.

Berbagai larangan telah diterapkan di berbagai negara untuk membatasi pergerakan manusia, terlepas apapun latar belakang  sosial, ekonomi, agama dan professi nya. Hantu yang ditakuti itu bernama Covid-19,  yang setiap saat bisa menyerang secara fatal manusia yang imunitasnya tidak begitu kuat karena berbagai penyakit bawaan.

Dua bulan lalu, kita tidak menyadari bahwa Covid-19 akan “melantai” di negeri ini, di kota kita dan bahkan di kampung kita. Semua di luar imaninasi. Perbincangan kita pada waktu itu masih berputar tentang bagaimana krisis kesehatan ini dapat berdampak besar pada stabilitas ekonomi negara Tiongkok dan bagaimana krisis tersebut boleh jadi mengakibatkan efek domino di berbagai negara lainnya.

Waktu itu, belum terlihat peringatan yang tegas, tidak  pula ada mitigasi  bencana yang jelas yang diumumkan sebagai bentuk deteksi dini kepada publik secara resmi. Masyarakat masih menikmati kehidupan dan mobilitas mereka dan menjalankan kehidupan seperti biasanya.

Kini, semua telah terjadi. Covid-19 telah hadir di ruang publik kita, di Kepulauan Nusantara. Kota yang pertama dan paling buruk terdampak adalah Jakarta, Ibu Kota Negara, dan merupakan kota paling sibuk di negeri ini.   Kemudian,  di akhir februari, masyarakat mulai sadar bahwa kita menghadapi masalah yang sangat serius, tetapi mereka belum nyata menghadapi situasi yang sepelik sekarang ini (April).

Baca Juga  Delusi Kolektif Pasca Pilpres

Di awal Maret, kantor layanan umum mulai membatasi kehadiran pegawainya. Kampus dan sekolah  menghentikan pembelajaran secara normal dan menggantinya dengan metode lama yang sangat jarang kita lakukan dan cenderung kita abaikan atau bahkan kerap dipandang sebelah mata, belajar “daring”.  Dosen, guru, dan pegawai telah dipaksa oleh sebuah bencana untuk memasuki dengan benar manfaat dan fasilitas dari peradaban revolusi Indistri 4.0.

Masyarakat Hibernasi

Apa yang terjadi kemudian?  Ketika semua pihak telah menurunkan tensinya untuk bergerak secara fisik, muncul kreativitas baru. Dulu, selalu saja muncul perdebatan atau tempatnya banyak komplain bahwa masyarakat Indonesia ‘belum siap’ memasuki revolusi industry 4.0. Kebijakan digitalisasi dan menggunakan pendekatan pembelajaran ‘daring’  di sekolah dan kampus dianggap terlalu elitis.

Kritik tersebut memang tidak salah. Bukan teknologinya yang salah, tetapi insfrastruktur dan budayanya yang masih lemah. Apapun perdebatan yang pernah muncul, nyatanya masyarakat cepat belajar. Ketika ritme hidupnya mengalami hibernasi, ada kreativitas dan proses pembelajaran yang dilakukan, termasuk mempelajari menggunakan teknologi digital untuk berkomunikasi serta berbagai macam etika yang ada di dalamnya.   

Jutaan masyarakat Indonesia kini mulai menggunakan layanan teknologi yang dibuatkan oleh orang-orang cerdas dari China dan Amerika. Masyarakat lintas generasi ‘millenial’ dan ‘kolonial’  menyadari bahwa telepon cerdas yang mereka genggam belasan jam perharinya bukan hanya untuk melihat Facebook, WhatsApp, Twitter, atau Instagram, tetapi juga untuk menggunakan layanan komunikasi seperti Skype, Meet, Classroom, Microsoft Teams, Zoom, etc.

Memang, platform digital di Indonesia juga sudah banyak, khususnya dalam bentuk ‘market place’, namun layanan  sebagai media komunikasi kolektif  belum banyak yang diunggulkan.   

Masyarakat kita saat ini memasuki tahapan hibernasi. Frekuensi masyarakat hibernasi mobilitasnya menurun. Tensinya mendingin. Konsumsi terhadap energi di ruang-ruang publik juga berkurang sangat besar. Alat dan mesin produksi juga istirahat beroperasi. Kendaraan yang berjalan semakin terbatas. Polusi berkurang. Sebagaimana hewan yang mengalami hibernasi di musim dingin, mereka tidak mati.

Baca Juga  Beda Lebaran, Cerita Aktivis Muhammadiyah Jadi Menantu Kiai NU

Mereka diam, tapi masih kreatif untuk menjaga ritme dan siklus biologisnya agar tetap bisa bertahan. Berat badan hewan-hewan itu berkurang karena tidak mengonsumsi banyak makanan. Ia ‘berpuasa’ mengandalkan energi dan nutrisi yang telah tertimbun dalam tubuhnya. Kreativitas yang dibuat hanya untuk dapat bertahan hidup di dalam tanah atau di tempat-tempat tersembunyi, yang lebih hangat. 

Dalam masa hibernasi ini, masyarakat secara kolektif tidak mati. Mereka hanya ‘hibernated’, visibilitasnya yang berkurang karena “menutup diri”, namun setiap saat akan langsung bisa dibuka dan memperlihatkan warnanya yang terang benderang, seperti komputer yang dihibernasi dan siap beroperasi ketika dibuka kembali.

Produktivitas masa Hibernasi

Kreativitas pada masa hibernasi berkelindan dengan produktivitas. Dalam banyak aspek, masyarakat mengurangi produktivitasnya di satu bidang, termasuk mobilitas fisik dan menyalurkannya untuk bidang yang lain. Seorang dosen atau guru yang biasanya sangat sibuk dengan masalah administrasi, kini punya waktu banyak untuk membaca dan menulis.

Seorang pegawai yang biasanya energinya habis untuk pulang pergi ke tempat kerja dalam waktu berjam-jam dan bahkan harus berjibaku dalam kemacetan dan waktu yang lama di perjalanan, sehingga tidak banyak waktu ‘berfikir mendalam’, kini dapat menyalurkan enerjinya untuk menerjemahkan imajinasi mereka di meja kerja.

Bagi bangsa Indonesia, menjadi manusia dan masyarakat yang mengalami hibernasi memang belum banyak pengalaman. Berbeda dengan masyarakat di belahan dunia lainnya, misalnya yang memiliki musim dingin. Mereka sudah terbiasa mengalaminya. Di musim panas, orang-orang berkeliaran  di luar rumah, berjemur dan menikmati hangatnya sinar mentari. Di musim dingin, selama beberapa bulan, mereka lebih banyak diam dan bekerja dalam ruangan, dan tidak jarang hanya di dalam rumah. Tapi, produktivitas masih tetap terjaga.

Baca Juga  Abbas As-Sisi: Berdakwah di Mesir dengan Menginjak Kaki Orang di Bis

Namun, hibernasi dalam situasi krisis karena pandemi seperti sekarang ini bukan tanpa tantangan. Ada banyak ruang yang juga sangat berisiko. Banyak orang tidak siap diam di rumah karena banyak faktor, seperti ekonomis, sosiologis, maupun psikologis.

Di negara bagian sana, konon ada banyak kekerasan rumah tangga ketika terlalu lama bertemu keluarga, di negara bagian lain ada keharmonisan baru yang dibangun  karena lebih banyak waktu yang diluangkan untuk bercengkrama dengan keluarga. Tak sedikit juga yang tidak tahan diam di rumah, karena kehidupan ekonomi mereka tidak bisa ditopang dengan hanya berdiam di dalam rumah.

Yang kita belum tahu adalah berapa lama hibernasi ini dialami. Karena itu, hibernasi yang kelamaan tanpa kepastian waktu juga berisiko tinggi. Apalagi tanpa dukungan enerji yang kuat dan konstan. Seperti halnya komputer  yang terlalu lama ‘hibernated’ dengan asupan listrik yang tidak stabil, bisa saja computer ‘hang’ dan ‘korslet’.

Itu yang tidak kita harapkan saat ini dalam masyarakat kita. Semoga krisis segera berakhir dan produktivitas masyarakat kita segera kelihatan wujudnya  dalam situasi kehidupan sehari-hari yang lebih normal paska hibernasi.

Editor: Azaki/Nabhan

Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds