Salah satu fungsi media sosial adalah menyuguhkan berbagai macam informasi yang dapat diakses oleh siapapun dan dimanapun tanpa batas dan sekat. Akhirnya, orang-orang yang mempunyai hunian di pelosokpun dengan mudah dapat mengetahui informasi yang sedang berkembang. Menarik sekaligus meresahkan jika kita menyimak hubungan corona dan orang-orang desa.
Pun yang terjadi akhir-akhir ini kabar mengerikan tentang virus corona nyaris tidak ada yang tidak tahu kabar ini. Apalagi selain melalui media sosial, media televisi juga abdet mengabarkan info terkini tentang virus ini setiap waktunya. Yang sudah dalam kategori lanjut usia juga tidak luput dari desas-desus informasi virus ini termasuk titah agar di rumah saja.
Corona dan Orang-orang Desa
Namanya juga orang desa, sebagian besar dari mereka sekedar mendengar dari telinga ke telinga seiring menyebarnya berita ini. Yang dia dengar dari si A lalu disampaikan kepada si B, lanjut si C dan terus begitu secara berantai. Juga mereka dalam meresponnya bermacam-macam mulai dari yang mengaitkannya sebagai virus yang sengaja dibuat untuk menghancurkan islam, cobaan tuhan dan banyak cerita lainnya.
Jadi virus ini salah kalau disebut muncul di Cina. Sebut saja Pak Leh (nama samaran) suatu malam memulai cerita. Tetapi, pertama kalinya ada di Amerika sana. Sejak dulu memang Amerika tidak suka terhadap Islam. Sudah bermacam siasat mereka lakukan untuk melawan dan mengalahkan Islam.
Dari dulu-dulu Mekkah itu tidak pernah sepi pengunjung. Tapi lihat yang terjadi sekarang, sepi sekali bahkan sampai dibuat semacam dinding pembatas agar siapun tidak bisa melakukan ritual di lingkungan itu. Belum lagi masjid-masjid besar yang ditutup agar tidak ada ritual keagamaan di sana. Yah meskipun katanya ini dilakukan sebagai langkah agar virus tersebut hilang. Kalau sudah kiblat orang Islam itu tidak ada orang maka Amerika dengan mudahnya akan memporak-porandakan tempat itu.
Ada lagi yang bayangannya menerawang ke depan seperti ada ketakutan di situ. Sekarang orang-orang semuanya di seruh tetap di rumah. Sebenarnya ini dilema antara mengikuti instruksi pemerintah atau tidak. Cerita Pak Lut kepada beberapa orang dalam sebuah kesempatan.
Dalam ruangan medis pun tidak boleh ada siapa-siapa di sana, bahkan kerabat pun dilarang masuk. Alasannya sebab virus ini cepat sekali menular. Kalau tidak ada orang yang bisa memantau atau paling tidak tahu situasi dalam ruangan khawatir para dokter akan melakukan yang tidak-tidak terhadap pasien di dalam. Di sisi lain ada perintah agar mengikuti segala apa yang menjadi instruksi pemerintah.
Istighasah dan Perkumpulan
Sedangkan Bu Tarmin yang usianya sudah 50-an sederhana sekali dalam menyikapi, corona itu kalau dulu di sebut ta’un jadi ya sama-sama penyakit. Ini bukti kalu dunia sudah tua. Makanya ayo jangan lupa beribadah.
Pemerintah itu seharusnya mengadakan istighasah dengan mengumpulkan semua orang di hamparan lapangan luas. Berdoa bersama-sama meminta kepada Tuhan. Bukan malah orang-orang disuruh berdiam diri di rumah. Ini salah. Sebab kalau sudah kompak berdoa bersama-sama tuhan pasti akan mengabulkan. Kata yang lain.
Banyak sekali komentar orang-orang desa akan wabah corona ini. Sekalipun mereka yang tidak mengikuti arus massif kabar berita tetap saja tahu. Melalui telinga, mulut ke mulut. Namanya juga orang desa. Berangkat dari bermacam-macam latar belakang mereka. Ada yang paling religius memasrahkan semuanya kepada Tuhan, ada yang nunut pemerintah dan bahkan tidak menghiraukan sama sekali.
Seperti dalam instruksi pemerintah sebagai alternatif pemutus rantai wabah agar meminimalisir perkumpulan. Akhirnya kegiatan yang menghadirkan banyak orang pun tidak luput dari pengawasan. Misal resepsi pernikahan.
Di kalangan masyarakat desa dirasa kurang kalau resepsi pernikahan tidak dilakukan dengan meriah. Ini dibuktikan dengan menyetel lagu dengan volume tinggi melalui speaker yang memang sengaja didatangkan, tarop yang pasang berjajar, menyembelih sapi hingga beberapa mobil sengaja didatangkan duyun-duyun untuk mengantarkan mempelai.
Semuanya itu berubah setelah adanya intruksi pemerintah yang disampaikan melalui pejabat desa. Maksud dan tujuan mereka saya kira baik dan demi kenyaman bersama. Tetapi, yang banyak terjadi masyarakat mencibir begitu saja bahkan ada yang ngotot untuk tetap melakukan agenda yang menghadirkan banyak orang itu seperti pada lumrah ketika tidak ada wabah ini.
Bagaimana Caranya Bertahan Hidup?
Alasan-alasan kultural seperti tidak bisa ada yang menggagalkan mungkin sebagai salah satu faktornya. Seperti tradisi bawa-membawa yang dianggap piutang (dalam sebuah kegiatan besar seseorang yang membawa barang entah sembako atau semacamnya akan dianggap hutang yang harus dibayar ketika yang membawa mengadakan acara di hari berikutnya). Atau sikap tenggang rasa yang begitu kuat, seperti tidak enak kalau tidak datang. Hal ini tetap mereka lakukan daripada dianggap tidak menghargai undangan.
Hal ini seperti simalakama antara pemerintah dan orang-orang desa. Melalui banyak media memang dikabarkan bahwa virus ini begitu cepatnya menular. Maka cara yang paling mudah adalah menghindari kerumunan dan menjaga jarak dengan siapapun. Sedang kultur masyarakat desa akan kesulitan dalam melakukan ini.
Atau anjuran untuk work from home bagaimana mungkin bisa dilakukan sedang masyarakat desa nyaris berpenghasilan dari cocok tanam di ladang yang selanjutnya hasil panen dijual di pasar? Lalu bagaimana mungkin mereka bisa bertahan hidup dengan hanya mengurung diri di rumah?
Editor: Nabhan