Fikih

Bagaimana Islam Memandang Waria?

3 Mins read

Ada yang berbeda di Ramadan kali ini, karena diwarnai Pandemi Covid–19 dan kondisi sosial-ekonomi sebagian masyarakat dalam kondisi yang tidak baik. Hal ini juga berimbas pada para waria atau kita menyebutnya transpuan, buah dari bingungnya Islam memandang waria.

Saya merasa geram dengan video Ferdian Paleka. Prank yang dilakukannya terhadap waria dengan membagikan sembako namun isinya sampah memicu kecaman masyarakat luas, hingga membuat dirinya ditahan kepolisian. Kalau dirunut dari sebab musababnya, memang perbuatan para waria yang menyerupai perempuan tidak dibenarkan dalam syariat dan fikih.

Bingungnya Islam Memandang Waria

Konsepsi tentang waria dalam Islam bermula dan mengacu pada pandangan hukum Islam (fikih) atas persoalan “identitas waria”, apakah sebagai laki-laki ataukah perempuan. Perdebatan agama tentang waria juga kerapkali menggunakan argumen-argumen “berfikih” yang sarat dengan keragaman metodologi, tingkatan wawasan, konteks, dan latar belakang sosio-politik.

Pada satu kesempatan, fikih mengidentifikasi waria atas dasar fisik-anatomisnya. Namun, pada kesempatan yang lain terkadang berdasarkan pada pertimbangan peran sosialnya. Sebagai akibatnya, terkadang waria diidentifikasi sebagai laki-laki, terkadang sebagai perempuan, dan terkadang juga sebagai setengah laki-laki dan setengah perempuan. Hal ini menimbulkan persepsi bingungnya Islam memandang waria, baik fikih maupun masyarakatnya.

Padahal, kondisi riil waria menegaskannya sebagai sosok yang berkecenderungan menjalani hidup secara total sebagai lawan jenisnya karena ketidakpuasan psikologis terhadap anatomi biologisnya.

Sikap fikih semacam ini terlihat dari diidentifikasinya waria sebagai fenomena tasyabbuh (penyerupaan yang dilarang). Baik sebagai mukhannats (laki-laki yang menyerupai perempuan) atau pun sebagai mutarajjilat (perempuan yang menyerupai laki-laki).

Konsekuensi teologisnya, rata-rata pandangan fiqh melaknat kelompok manusia seperti ini atas dasar pemahaman sebuah hadis “pelaknatan waria”ataupun “pengusiran waria”. Padahal, sejatinya, seorang waria tidak dilaknat jika memang sama sekali tidak berhasrat pada perempuan dan menjadi waria karena semata-mata takdir yang di luar kemampuannya untuk menghindar.

Baca Juga  Konsep As-Syura sebagai Demokrasi Islam

Fitrah Manusia

Pemahaman mengenai fitrah manusia sungguh banyak dipahami para waria bahwa konsekuensi mereka hidup adalah sebagai makhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada Tuhan, meski dengan penghayatan seunik apapun. Praktik keagamaan para waria dinyatakan sebagai gambaran menyatunya kompleksitas keagamaan dan kesadaran yang dialami, dihayati, dimaknai, dan dipraktikkan waria dalam ruang spiritualitasnya yang khas.

Pemikiran keagamaan para waria kebanyakan juga menegaskan bahwa menjadi waria merupakan takdir Allah yang harus dijalani, bukan didustai. Itu sebabnya, banyak dari mereka menolak keras-keras pandangan keagamaan yang melaknat seseorang karena kewariaannya.

Karena menurut analogi mereka, selagi manusia berada pada keimanan yang benar, menjalankan ibadah, dan tidak merugikan orang lain, maka menurut mereka itulah kebenaran Islam yang harus dihargai.

Keyakinan mereka juga mengatakan bahwa keberuntungan seseorang itu tidak ditentukan oleh karena dirinya waria atau bukan waria, tetapi oleh perbuatan yang dilakukannya. Jika yang dilakukan baik, mereka meyakini Allah akan memberinya kemudahan dan pertolongan. Jika sebaliknya, semua itu akan kembali pada keadilan Tuhan. Amal perbuatan itu juga diyakini waria sebagai bekal untuk hidup setelah mati.

Kebenaran agama sesungguhnya tidak hanya bisa ditemukan dalam teks (bayani). Melainkan dapat ditemukan juga dalam keyakinan atas pengalaman keagamaan (irfani) yang antara satu orang dengan lainnya berbeda. Lebih dari itu, kebenaran juga terkadang mengharuskan upaya verifikasi melalui penalaran-filosofis dan atas dukungan sains yang empiris (burhani). Semuanya juga berjalan menurut standar dan tabiat kemanusiaan.

Perlunya Fikih Waria

Maka praktek humanisme didorong untuk merujuk pada tabiat-kodrati (human nature), perasaan (feeling), dan kebaikan hati (kindness) manusia (Reese, 1980: 235), serta berdiri di atas bangunan “filsafat manusia” yang ekstensif, intensif, dan kritis dalam memahami seluruh aspek manusia (Abidin, 2011: 7).

Baca Juga  Calon Mertua Menuntut Mahar Tinggi

Kompleksitas dari permasalahan waria inilah yang mendorong bukan hanya untuk dijawab dengan fiqh darurat. Melainkan perlu dibuatkan fiqh khusus yang mampu mengakomodasi persoalan hidup waria. “Illat al-hukm” perlunya fikih waria adalah minimnya keterserapan fenomena waria di mata hukum Islam.

Dengan demikian, fikih waria tidak cukup hanya disusun atas dasar paradigma konvensional yang serba “hitam-putih” saja. Tetapi juga melibatkan pertimbangan aspek sosial, medis, budaya, teknologi, ekonomi, dan bahkan politik. Fakta religiusitas waria yang terselinap dalam tumpukan wacana keagamaan dominan, hanya bisa dijangkau jika pemikiran agama mampu menelusup dan menangkap bagaimana rasanya hidup sebagai waria.

Upaya ini menjadi penting mengingat fenomena waria tidak cukup jika hanya disikapi dengan pendekatan konvensional sebagai laki-laki ataukah perempuan. Diagnosa fikih terhadap waria sebagai khuntsa, mutasyabbih, atau luthiyyun ternyata semakin membuktikan kegamangan fikih klasik dalam menjawab fenomena waria.

Kegamangan ini tampak jelas dari ambiguitas pandangan fikih klasik mengenai identitas waria. Memaksakan agar waria “kembali” seperti alat kelamin fisiknya juga hanya akan menjadi upaya yang sia-sia. Di samping juga tidak sesuai dengan keadaan empirisnya (ghair muqtadl al-hal).

Tugas Kita Bukan Mendiskriminasi

Sekali lagi bahwa eksklusifitas sekaligus kompleksitas permasalahan hidup sebagai waria adalah alasan utama dibutuhkannya fikih waria. Minimnya keterserapan fenomena hidup waria di mata hukum Islam semakin menguatkan perlunya fikih waria.

Karena jika tidak, dengan memaksakan bertahan pada konsepsi fikih klasik, hanya akan sama artinya dengan menutup kesempatan waria dalam beragama. Dan itu sama artinya membiarkan waria berada di luar rahmat agama yang dijanjikan bagi seluruh ciptaan Tuhan.

Maka, tulisan ini bukan mendukung perbuatan waria tapi mendasari timbulnya sebuah konsepsi hukum Islam yang adil dan menjangkau bagi konsep beragama mereka. Agar tidak melulu timbul sebuah diskriminasi apalagi dengan aksi-aksi prank dan menjatuhkan harga diri mereka sebagai seorang manusia. Karena Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, hadir sebagai rahmat bagi siapapun.

Baca Juga  Islam Enteng-entengan (8): Menghadap Kiai Mohon Agar Hajat Terkabul, Apakah Dibenarkan dalam Islam?

Maka memanusiakan manusia hukumnya wajib. Juga hidayah datangnya dari Allah. Karenanya, tugas kita adalah menyeru bukan mendiskriminasi.

Editor: Nabhan

Related posts
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…
Fikih

Apa Hukumnya Membaca Basmalah Saat Melakukan Maksiat?

2 Mins read
Bagi umat muslim membaca basmalah merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan segala aktivitas. Mulai dari hal kecil hingga hal besar sangat…
Fikih

Bagaimana Hukum Mengqadha' Salat Wajib?

4 Mins read
Dalam menjalani hidup tak lepas dari lika liku kehidupan. Ekonomi surut, lapangan pekerjaan yang sulit, dan beberapa hal lainnya yang menyebabkan seseorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *