Perspektif

IM Adalah Contoh, Jangan Asal Memberi Gelar Ustaz!

3 Mins read

Tahun ini, pada awal bulan Mei, Komnas Perempuan mengeluarkan rilis Catatan Tahunan (CATAHU) yang berisikan data kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlahnya menyentuh angka 431.471 kasus yang terjadi sepanjang 2019. Padahal lima tahun sebelumnya, catatan yang sama juga dikeluarkan oleh lembaga independen negara itu, tetapi berkisar pada angka 4.475 kasus.

Dengan jelas kita bisa menyimpulkan, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan mengalami tren kenaikan signifikan. Bukan sekadar signifikan, bertolak dari data tersebut,  kasus kekerasan terhadap perempuan melonjak secara gila-gilaan.

Perlu dipahami, angka di atas bukanlah jumlah yang sebenarnya, tetapi itu hanyalah yang tercatat. Artinya, data yang masuk adalah riwayat mereka yang pernah melapor, kita bisa memahami kondisi ini dengan istilah fenomena gunung es; seolah terlihat besar di permukaan, padahal di bawah atau di dasar laut jauh lebih besar lagi.

Kasus-kasus tersebut terjadi pada lintas ruang, umur, dan tipologi sosial masyarakat. Tetapi untuk kasus yang satu ini, akan menambah persepektif dan memberi kita sesuatu yang lebih “hot” dari kasus-kasus yang sebelumnya.

Bila Anda mengikuti perkembangannya, kasus ini sementara waktu jadi yang terhangat; adalah orang yang berinisial IM.

Dugaan pelaku kekerasan seksual yang dialamatkan pada IM adalah satu potret kecil atas realitas yang semenjak lama rapi tersimpan di balik nama baik kampus. Atau lebih jauh dalam konteks ini, adalah claim atau pemberian gelar agamawan terhadap seseorang.

Sebelum ke pokok persoalan, bagi Anda yang baru tau nama di atas dan kasus yang menimpanya, sekilas saja mari lebih dulu saya kenalkan dengan “aktor” kita yang satu ini.

Seputar Kasus IM

IM merupakan alumni perguruan tinggi swasta Islam di Yogyakarta tepatnya Universitas Islam Indonesia (UII). Ia adalah mahasiswa jurusan Arsitektur angkatan 2012 yang lulus pada tahun 2016. Berdasarkan rilis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogya, sebanyak 30 perempuan mengadukan laporan terkait dengan perlakuan senonoh yang mereka terima. Persis seperti di awal tulisan ini, logika yang bisa kita pakai, angka 30 hanyalah jumlah yang melapor, lalu bagaimana dengan yang tidak punya cukup keberanian?

Baca Juga  Robert of Ketton, Penerjemah Pertama Al-Qur'an yang Kontroversial

Para penyintas mengungkapkan pelbagai jenis ketidaksopanan IM, mulai dari pelecehan berupa percakapan teks, gambar, dan video lewat kiriman pesan di sosial media pribadi. Sampai kekerasan seksual di ruang publik atau di kosan-kosan dengan modus yang beragam.

Kini IM tengah menempuh studi lanjutan dengan predikat sebagai penerima beasiswa magister di University of Melbourne Australia. Di negeri kangguru itu, IM juga diduga telah melakukan hal serupa, pelecehan seksual terhadap dua perempuan.

Lebih lanjut, laporan panjang dari Tirto.id cukup jelas menggambarkan “kenakalan” IM.  Selepas membaca ini, sila berkunjung ke Tirto.id atau ketuk di mesin pencari dengan keyword Kekerasan Seksual UII“.

Saya tak punya cukup energi untuk menuliskannya di sini, selain karena dibuat geram dan jijik tentu saja. Balik lagi, masih seputar IM.

Kala itu IM adalah idola mahasiswa, bahkan ia seperti diperlakukan sebagai “aset kampus”, karena dianggap cerdas. Ia dikenal karena punya reputasi akademik yang cemerlang, riwayat organisasi yang baik, sering ikut perlombaan tingkat nasional dan internasional dan jadi juara, mengisi ceramah, kelas seminar dan inspirasi. Panggung demi panggung telah menjadikan IM matang, bahkan ia pernah menyandang gelar Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) UII pada tahun 2015.

Dan di atas itu semua, Ibrahim oleh lingkungan sosialnya diberi gelar “ustaz”. Tapi siapa sangka, di balik citra diri sebagai anak baik-baik, ia justru lemah dan kehilangan cara berpikir yang sehat ketika berhadapan dengan perempuan. Meski status hukum Ibrahim masih sebagai terduga, tetapi dari banyaknya testimoni penyintas, kita bisa dengan mudah mengambil kesimpulan sementara.

Glorifikasi Terhadap IM

Kita tahu, sebutan ustaz dalam tradisi Indonesia adalah barang mewah. Hampir di semua daerah yang dominan terdapat komunitas muslim, pemahaman kita terkait kata itu pasti akan mengarah pada profil diri yang terpercaya, punya kedalaman ilmu agama, dan sebagainya.

Baca Juga  Jangan Tergesa-gesa dalam Belajar Agama

Meski saya termasuk yang meyakini bahwa perbuatan buruk itu sifatnya “bebas nilai” dalam artian, ia tak memandang kelas, gelar, agama, atau perangkat lain seputar status sosial manusia.

Tapi bukankah harusnya agama berfungsi sebagai tapal batas, atau semacam rambu-rambu, dan itu semua lebih dari cukup untuk menjelaskan mana yang buruk dan yang baik. Terlebih bagi mereka yang punya atau diberi gelar keagamaan oleh lingkungan sosialnya, mestinya jauh lebih paham akan hal itu.

Menariknya dalam kasus IM, siapa sangka sesuatu yang tidak publik harapkan atau mungkin bayangkan, justru terjadi.

Tinjauan Teori Atas Kasus IM

Pertanyaan paling dasar yang perlu kita refleksikan, setan jenis apa yang berhasil menggoda seorang “ustaz” sekaliber juga penghafal Qur’an, bagaimana dengan kita yang biasa-biasa saja?

Pertanyaan lain yang perlu kita lempar, mengapa kasus kekerasan seksual kerap kali merundung orang-orang yang dianggap shalih secara zahir? Sekali lagi, bukankah seharusnya otoritas atau sebutan ustaz itu menuntun mereka ke arah yang lebih baik?

Seorang profesor filsafat Amerika, Eric Schwitzgebel dan pakar psikologi Zeelenberg punya penjelasan menarik. Mereka menyebut fenomena sejenis yang di atas dengan istilah “moral licensing”.

Teori itu menerangkan bagaimana orang-orang yang menggeluti kajian seputar etika, justru melakukan perbuatan sebaliknya, yakni perbuatan tidak etis. Orang-orang yang merasa dirinya telah berbuat baik, punya kecenderungan untuk melakukan tindakan immoral. Sekalipun tak bisa dibenarkan, tetapi dalam batas takaran tertentu, moral licensing adalah sesuatu yang manusiawi.

Prinsip moral licensing di atas terjadi pada dugaan kasus IM yang dianggap ustaz. Jika terbukti benar adanya, maka sungguh ironi dan paradoks. Berceramah tentang kebaikan, tapi justru ia berbuat sebaliknya.

Baca Juga  Perlukah Muhammadiyah Memiliki ‘Dana Abadi’? (Bagian 1 dari 5)

Dugaan kasus yang menimpa IM harusnya dapat kita jadikan pembelajaran, agar tak sembarangan memberi gelar “ustaz” kepada seseorang. Dan untuk mereka yang sudah disebut ustaz, hendaknya mawas diri. Sebab bila perilaku tak sejalan dengan perkataan, ada sanksi sosial yang harus ditanggung. Kita menanti babak baru kasus IM, kira-kira sanksi apa yang bakal ia terima?

Editor: Yahya FR

Avatar
4 posts

About author
Pegiat Komunitas New Native. | Kader Muhammadiyah Kultural. | Tertarik pada kajian keislaman, isu-isu gender, sejarah, politik, filsafat, dan sastra.| Mujahid kontemporer, menulis sambil rebahan.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds