Perspektif

Lebaran Itu (Bukan) Surplus Enjoyment

3 Mins read

Ramadhan telah berakhir. Lebaran bak janur ketupat yang  melambai-lambai di balik tudung saji. Kue telah diadon. Gula dan sirup siap dituang. Daging dan lemak dimasak dengan porsi yang banyak. Semua demi menyambut Hari Raya Idul Fitri.

Idul Fitri memang merupakan hari raya makan; perayaan untuk kembali makan dan minum usai sebulan penuh menahan lapar dan dahaga. Dalam bahasa Arab, ‘Id artinya perayaan, sementara fithr berarti makan pertama atau berbuka. Karena itu, dalam hukum fikih, tanggal satu Syawal adalah salah satu dari hari-hari yang diharamkan berpuasa.

Tapi Idul Fitri juga bisa memiliki tafsir lain, ia dapat bermakna kembali ke fitrah asali manusia. Secara semantik, kata ‘Id memiliki akar kata yang sama dengan kata ‘ada-ya’udu yang berarti kembali, sedangkan kata fithr, sebagai ekuivok, bisa juga bermakna kejadian awal atau penciptaan mula-mula.

Makna Idul Fitri

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, fitrah manusia adalah keadaan suci (hanif) yang cenderung kepada keislaman, sedangkan penyelewengan terhadap fitrah merupakan akibat dari faktor eksternal yaitu pengaruh setan. Pendapat senada dinyatakan oleh Muhammad al-Ghazali, dalam bukunya Khuluq al-Muslim, bahwa fitrah manusia adalah kebaikan. Ini bukan berarti manusia tidak dapat melakukan keburukan, tetapi bahwa kebaikan selaras dengan tabiat alami manusia. Berdasarkan dua pendapat tersebut, maka kembali ke fitrah adalah kembali kepada kesucian diri yang cenderung mencintai perbuatan baik.

Masih menurut Muhammad al-Ghazali, Dalam rangka kembali kepada fitrahnya, manusia perlu melepaskan diri dari belenggu dosa. Agaknya, itupula alasan mengapa di Nusantara ada tradisi saling bermaafan ketika Hari Idul Fitri. Pasalnya, puasa sebulan penuh yang berhasil akan menghapus dosa-dosa manusia yang berhubungan dengan hak Tuhan. Di antara dalilnya adalah hadis riwayat Bukhari yang maknanya kurang lebih, “barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan harapan, akan diampuni dosa-dosanya yang lampau.” Akan tetapi, ada dosa yang tidak terampuni begitu saja dengan puasa, yaitu dosa yang berhubungan dengan pelanggaran hak manusia. Dosa jenis ini membutuhkan kerelaan hati korban untuk memaafkan. Karena itu, saling memaafkan adalah sarana yang tepat untuk bersama meraih kesucian jiwa.

Baca Juga  Resmi! Pemerintah Tetapkan 1 Syawal 1444 H Jatuh pada 22 April 2023

Sampai di sini, doa “minal aidin wal faizin” menjadi relevan. Semoga kita termasuk orang kembali suci dan golongan yang menang. Menang dalam hal apa? Tentu saja memenangi hadiah utama Ramadhan tadi, pengampunan besar dosa-dosa.

Surplus Enjoyment

Bila ada golongan orang yang menang, tentu ada kalangan pecundang. Siapakah kalangan ini? “Mereka yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga,” begitu kurang lebih makna hadis dari Abu Hurairah.

Apakah ciri-ciri yang membedakan antara pemenang dan yang kalah? Para ulama’ banyak menyebut keistiqamahan untuk terus berbuat kebaikan sebagai tanda diterimanya amalan baik seseorang. Dalam konteks puasa Ramadhan, maka itu berarti mampu meneruskan sikap-sikap orang yang berpuasa dalam hari-hari ketika tidak berpuasa, terutama kemampuan mengontrol hasrat. Sedangkan golongan yang kalah adalah yang menganggap perayaan Idul Fitri sebagai momentum terbukanya kekangan terhadap hawa nafsu. Dalam hal makanan, karena puasa telah usai, mereka merasa inilah kesempatan untuk makan tanpa batas; yang manis-manis, yang serba lezat dan berlemak.

Semoga fakta menarik berikut ini cukup jadi peringatan kita: yaitu banyaknya orang yang sakit karena tidak bisa mengontrol pola makan pasca Lebaran. Dalam pemikiran Lacan, pakar psikoanalisa Prancis, fenomena ini disebut sebagai surplus-enjoyment yaitu hasrat untuk melampaui prinsip-prinsip kenikmatan. Manusia, dalam teori psikologi Sigmund Freud, memiliki insting untuk mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Akan tetapi, menurut Lacan, manusia hanya dapat menikmati kenikmatan dalam kuota yang terbatas. Maka, apabila batasan ini dilewati, yang dialami manusia bukanlah kenikmatan, tetapi sebaliknya, rasa sakit.

Mereka yang terjebak hasrat-berlebihan (surplus-enjoyment) sebenarnya mencari sesuatu yang tak pernah ketemu. Lacan menyebutnya objet petit a. Orang yang terjebak hasrat makan enak tak akan puas meski sudah mencicipi opor ayam, soto daging, rendang, es buah, dan seterusnya. Demikian pula orang yang telah berhasrat kepada baju bagus, akan selalu menemukan bajunya yang sudah dibeli dengan harga mahal, tak sebagus baju yang diharapkan.

Baca Juga  Keluarkan Surat Edaran, PP Muhammadiyah Sarankan Takbiran di Rumah

Dilarang Israf

Dalam Islam, hasrat yang berlebihan ini disebut israf. Sikap israf ini telah dilarang dengan tegas dalam ayat-ayat al-Qur’an. Di antaranya, dalam Surat al-A’raf ayat 31, Allah Swt berfirman, “dan makanlah dan minumlah kalian serta jangan berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.”

Demikianlah, Ramadhan telah usai tetapi belum tentu kita menjadi pemenang. Lebaran merupakan momen ujian lainnya, apakah kita termasuk orang-orang yang berhasil membumikan sikap-sikap yang digembleng selama Ramadhan, atau termasuk orang yang masih terbelenggu hasrat.

Hal ini pula yang membuat makna Idul Fitri sebagai hari kembali ke fitrah menjadi relevan. Karena sekadar “perayaan makan” dapat mengurangi makna spiritual hari raya tersebut ketika ditafsirkan sebagai momentum makan-makan. Itu pula barangkali hikmah disyariatkannya puasa enam hari di bulan Syawal yang utamanya dilakukan tepat setelah Idul Fitri, supaya tidak ada hasrat yang berlebihan.

Editor: Arif

Avatar
2 posts

About author
Penulis dan dosen paruh waktu, pembelajar purna waktu
Articles
Related posts
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…
Perspektif

Begini Kira-Kira Jika Buya Hamka Berbicara tentang Bola

3 Mins read
Kita harus menang! Tetapi di manakah letak kemenangan itu? Yaitu di balik perjuangan dan kepayahan. Di balik keringat, darah, dan air mata….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *