Di tengah keadaan negara yang genting akibat pandemi, pemerintah melakukan beberapa blunder, beberapa kebijakan dinilai tidak konsisten seperti halnya permasalahan pemilihan kata mudik dan pulang kampung, berdamai dengan pandemic, hingga -baru-baru ini- pemerintah lebih memilih meninjau beberapa mall sebagai persiapan New Normal ketimbang memberdayakan masyarakat lewat pemaksimalan UMKM yang mengalami koleps selama adanya pandemi.
Tentunya hal ini memunculkan tanda tanya, oleh karena itu penting kiranya untuk memahami lebih dalam beberapa pertimbangan pemerintah dalam memproduksi kebijakan. Sehingga, diskursus serta kritikan yang lahir dapat tersilang dengan baik, tanpa adanya unsur sentimental yang tidak perlu terjadi.
Maka ada beberapa dasar filosofis yang memperkuat konstruksi perspektif kita sebagai masyarakat dalam membaca kekuasaan. Seperti halnya memahami hubungan antara kekuasaan dan Ilmu pengetahuan, sehingga respon yang kita bangun terhadap kebijakan tidak timpang sebelah, yang berakibat terjebak dalam circle permasalahan yang tidak substansial, dan cenderung memecah belah.
Pemerintah dan Ilmu Pengetahuan
Sejarah mencatat kekuasaan dan ilmu pengetahuan adalah dua hal yang selalu berkelindan dalam menyemai populasi kesejahteraan di masyarakat, meminjam istilah Foucault, kekuasaan selalu diartikulasikan melalui pengetahuan dan mempunyai efek kuasa.
Kekuasaan memproduksi pengetahuan, bukan saja karena berguna bagi langgengnya kekuasaan, tetapi tidak adanya pengetahuan berkibat pada tidak adanya kekuasaan sebab asas dasar kekuasaan adalah pengetahuan serta sebaliknya.
Dengan pemahaman seperti itu, membangun kekuasaan berlandaskan ilmu pengetahuan merupakan kemutlakan Tetapi dengan sistem demokrasi yang mengalami perubahan tampuk kekuasaan setiap lima tahun, landasan keilmuan yang bekelanjutan dalam jangka panjang menjadi tidak efektif. Ini di karenakan setiap periode kekuasaan membawa visi berbeda, hal ini tentunya di luar kontrol kita sebagai masyarakat.
Maka jika tidak bisa melandaskan kekuasaan dengan ilmu pengetahuan yang terstruktur dalam jangka panjang, opsi terbaiknya adalah menyiapkan pengikat berupa ilmu pengetahuan di badan kekuasaan –ikatan yang menyumpal kebodohan– sumber utama yang menyekat suatu negara untuk mencapai kebahagiaan.
***
Meminjam teori ibn Al-Arabi dalam mewujudkan negara yang bahagia —Ma’mur al-Fadhil— dibutuhkan tiga pondasi dasar dalam bernegara, yaitu adanya para ulama’, raja, dan filsuf. Berkaca pada apa yang terjadi di negara kita, unsur ketigalah yang belum ada.
Indonesia mempunyai banyak ulama serta raja yang dipegang seorang presiden. Ulama mempunyai peran vital sebagai pengawas dan penasehat, yang perannya dibutuhkan setelah adanya kebijakan yang diselenggarakan.
Berbeda dengan para filsuf, sebab para filsuf membawa sebuah cara pandang yang menjadi dasar kebijakan. Sebuah sistem berpikir yang mengkonstruksi argumentasi untuk menciptakan pondasi yang kuat sebelum adanya tindakan, agar tumbuh kebahagiaan di tengah masyarakat. Lalu bagaimana jika tidak ada basis filsafat di balik tindakan suatu pemerintah
Contoh yang paling hangat adalah baru-baru ini. Menteri Pendidikan berstatemen bahwa, tujuan utama suatu pendidikan adalah pekerjaan. Lalu pertanyaannya, apakah semua harus menjadi pekerja? Sehingga tidak ada yang memikirkan ide, keadilan, moralitas, serta unsur dasar lainnya yang merupakan elemen penting sebuah negara dalam membangun argumentasi untuk menopang segala tindak-tanduk kebijakan.
***
Ada sistem berpikir yang tidak konsisten dalam menentukan kebijakan karena tidak adanya basis filosofis yang matang. Hal ini telah dibaca oleh salah-satu tokoh bangsa jauh-jauh hari, Buya Hamka, yang meyindir keras kosep tindakan seperti ini:
“Jika hidup hanya untuk kerja bukankah, sapi juga hidupnya hanya untuk kerja?.
Lalu bagaimana membangun basis argumentasi sebagai pondasi sebuah kebijakan agar keluar dari kubangan delik yang kita hadapai saat ini?
Secara psikologis, faktor terbesar yang memengaruhi sebuah tindakan adalah apa-apa yang terjadi di masa lalu. Baik berupa pandangan yang disusun dengan sisitematis melalui pelajaran formal, ataupun berupa kumpulan pengalaman. Secara sederhana, perkawinan dua hal itu mengandung unsur emosional yang memengaruhi seorang dalam mengambil tindakan.
Maka peran discontinue sejarah menjadi vital dalam merubah serta membangun persepsi dalam bertindak. Jika tidak, akan menjebak kita dalam pusaran emosi yang sama dan tindakan yang sama dengan masa lalunya atau secara akademis biasa dikenal dengan pikiran statis. Begitu juga yang terjadi dalam suatu bangsa dalam menegakkan misi kebangsaannya.
Kontruksi Argumentasi Melalui Discontinue Sejarah
Meminjam istilah Michel Foucoult, sejarah dipandang sebagai bagian-bagian fragmentasi yang terpisah tetapi berurutan. Sehingga sejarah masa lalu hanya dipandang sebagi objek kajian yang diadopsi serta dipelajari yang nantinya direvisi. Maka hasil dari pengelaborasian inilah yang dipakai sebagai dasar pijakan dalam merencanakan kebijakan yang terstruktur. Sehingga citra diri suatu bangsa dapat berkembang dan beradaptasi dengan baik.
Proses mempertahankan budaya lokal tidak lagi diartikan sebagai pergerakan statis, tetapi merupakan proses kolaborasi, perkawinan antara budaya, atau pengaruh lokal dengan budaya asing sebagai efek dari kemajuan global tanpa menghilangkan nilai dan identitas bangsa Indonesia.
Berkaca dari Jepang, negara sakura ini dianggap sebagai negara yang sukses mengakulturasikan budaya lokal dengan kemajuan, sebagai contoh, pemuda Jepang yang bangga memaki baju adatnya di tengah kemajuan yang begitu pesat. Lalu bagaimana Jepang dapat mengakulturasikan budayanya dengan kemajuan sementara belum terjadi di negara kita?
Maka pandemi merupakan momentum yang tepat untuk negara kita agar lebih percaya diri dalam membangun kebijakan yang antropologis. Yaitu memperkuat argumentasi yang murni, dan terbebas dari kepentingan yang menguntungkan sebagian kelompok. Sebab kebijakan yang baik, dibangun dari kolaborasi yang baik antara kemajuan yang bersumber dari luar dengan apa-apa yang kita punya sebagai satu negara.
Tentunya dengan mengelola diskursus yang bervariatif daripada sibuk menangkap dan membatasi masyarakat dalam berpendapat, hal itu tentunya hanya bisa dilakukan jika pemerintah telah move on dari romantisme masa lalu yang semu.
Sebagai masyakarakat yang reaktif, pandemi dapat menjadi dua sisi mata koin. Jika kita menguasai betul wacana yang ada, maka kita dapat mengambil langkah yang tepat dalam mengakulturasikan kebijakan pemerintah dengan beberapa pertimbangan kita sebagai individu. Tetapi jika kita hanya diam dan menerima segala kebijakan yang menyimpang, maka ada banyak kerusakan yang tidak bisa kita hindarkan ke depannya. (hid)
Wallahua’lam Bissawab.
Editor: Yahya FR