Perspektif

Stop Rezimentasi Agama; Pemerintah Tidak Usah Terlalu Ikut Campur Soal Keagamaan

2 Mins read

Rezimentasi Agama terjadi karena pemerintah terjebak pada cara berfikir homogenitas. Cara berfikir yang mendorong masyarakat harus menjadi seragam satu pola. Jika ada yang berbeda dianggap musuh, berbahaya dan menggangu kenyamanan.

Mereka tidak bisa menerima pluralitas pemahaman atau kepentingan politik keagamaan. Seolah-olah yang benar itu pemahaman pemerintah.

Pola pikir homogenitas itu seperti cara berfikir era Pemerintahan Orde Baru. Dan tampak pola kebijakan rezim Kemenag saat ini mirip-mirip Era Orba. Ini sangat berbahaya, karena berdampak pada susahnya menerima perbedaan dan berpotensi terjadi konflik dan gesekan antar kelompok masyarakat.

Rezimentasi Agama; Menyoal Sertifikasi Ulama atau Mubaligh

Munculnya program sertifikasi Ulama atau Mubaligh menjadi salah satu contoh adanya Rezimentasi Agama yang sedang dimainkan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Pemerintah lewat Kemenag ingin menyatukan seluruh pemahaman keagamaan dan pola dakwah para Ulama dan Mubaligh dalam satu frame yang disepakati dan dikehendakinya.

Program ini berdampak pada terganggunya aspek demokrasi keagamaan, bahkan mengarah pada otoritarianisme pemerintah terhadap kehidupan beragama.

Program sertifikasi Ulama atau Mubaligh menunjukkan Negara terlalu masuk pada wilayah teknis keagamaan. Menurut saya, hal itu tidak baik dalam proses konsolidasi demokrasi.

Menurut saya, biarkan Ormas-Ormas saja yang melakukan sertifikasi terhadap Ulama dan Mubaligh. Jika Ormas itu sudah diakui sah oleh Undang-Undang maka harusnya pemerintah mengembalikan ke Ormas saja wewenang sertifikasinya. Sehingga menjadi penting untuk para Mubaligh didorong untuk terafiliasi dengan Ormas-Ormas keagamaan yang ada dan sah di Indonesia. Sehingga, kalau terjadi apa-apa dengan para Mubaligh maka ormasnya yang bertanggungjawab.

Mengapa begitu? Karena setiap Ormas memiliki paham keagamaan yang berbeda-beda. Jika dipaksakan sama dengan pemerintah, maka standart sertifikasi itu pakai standar apa? Apak standart Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi atau Imam Hambali, pasti sulit.

Baca Juga  Khutbah Jumat: Nasihat Kepada Generasi Bangsa

Pemerintah Tidak Perlu Repot

Sebenarnya pemerintah tidak perlu repot melakukan sertifikasi Mubaligh atau Ulama. Biarkan Ormas-ormas saja yang melakukan sertifikasi Ulama dan Mubaligh dengan standar paham keagamaanya masing-masing.

Jikalaupun pemerintah ingin melakukan sertifikasi, maka yang disertifikasi itu organisasinya bukan Ulama atau Mubaligh.

Jadi, standar sertifikasinya dapat dilihat pada status ormasnya. Apakah sudah sah sesuai dengan UU Ormas atau tidak? Sehingga pemerintah dalam bekerja memiliki payung hukum yang jelas.

Maka, jika sertifikasi Ulama atau Mubaligh tetap dipaksakan dalam satu frame menurut Pemerintah/Kemenag, pasti akan susah dan akan kembali pada hegemoni mayoritas keagamaan.

Kebijakan tersebut menunjukan seolah-olah Pemerintah/Kemenag ini pengusung moderasi dan toleransi, tetapi terjebak pada nilai-nilai yang tidak moderat dan tidak toleran. Terjebak pada kepentingan politik praktis.

Sembunyi dibalik gerakan moderasi dan toleransi, padahal sebenarnya praktik yang dilakukan jauh dari nilai-nilai moderasi dan toleransi.

Editor: Soleh

Sholikh Al Huda
14 posts

About author
Direktur Institut Studi Islam Indonesia (InSID), Anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah Jatim, Dosen Pascasarjana UMSurabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *