Feature

Apakah “New Normal” Benar-benar Baru?

2 Mins read

Sebagaimana kita ketahui, penyebaran Covid-19 di Indonesia masih cenderung tinggi. Setidaknya, sampai 27 Mei lalu, berdasarkan keterangan Achmad Yurianto (Jubir Penanganan Covid-19), “terjadi penambahan kasus positif 686 sehingga total kasus positif 23.851, penambahan kasus sembuh 150 sehingga total kasus sembuh 6.057, dan penambahan kasus meninggal 55 orang sehingga total kasus 1.473.”

Melihat data tersebut mengindikasikan bahwa penyebaran Covid-19 masih cenderung tinggi, sehingga kebijakan New Normal (Normal Baru) menjadi pilihan yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas 27 Mei. “Normal Baru” adalah sikap atau kebiasaan baru yang diterapkan berbeda dengan kebiasaan sehari-hari sebelumnya, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, tidak bersalaman, dan membiasakan cuci tangan.

“Normal Baru” mungkin akan membuat kita kerepotan di awal, pasalnya kita belum terbiasa dengan kehidupan baru ini. Cuci tangan contohnya, bukan kebiasaan kita dalam kehidupan sehari-hari, atau tidak bersalaman, akan membuat kita merasa tidak nyaman dan canggung saat bertemu dengan teman apalagi kerabat terdekat. Diperlukan kesadaran dan pemakluman sehingga tidak mempengaruhi keharmonisan kita dengan sahabat atau keluarga.

Normal Baru, sekali lagi, sulit dengan mudah kita lakukan tanpa kesadaran dan pengetahuan yang cukup bahwa kehidupan baru ini penting untuk kita lakukan saat ini dalam rangka menekan penyebaran Covid-19.

Apakah Benar-benar Baru?

New Normal (Normal Baru) yang akhir-akhir ini dibicarakan dan bahkan disampaikan langsung oleh Bapak Presiden menjadi isu hangat yang banyak dibicarakan. Selain penanganan Covid-19, kegiatan perekonomian yang tidak menuai titik temu tentu salah satu penunjang diterapkannya Normal Bbaru ini. Kita melihat ulang apakah Normal Baru ini benar-benar baru sehingga sulit kita lakukan atau sudah menjadi kebiasaan lama?

Baca Juga  Belajar dari Ibnu Hajar Asqolani Ketika Pandemi

Beberapa poin Normal Baru yaitu, membiasakan cuci tangan, menggunakan masker, jaga jarak, dan tidak bersalaman.

Cuci tangan, memang dalam keadaan Covid-19 saat ini menjadi kebiasaan baru yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun jika kita cermati kebiasaan cuci tangan sudah sangat melekat pada diri kita masing-masing, yaitu ketika berwudhu. Berwudhu salah satu hal utama yang dilakukan adalah cuci tangan. Tentu dalam hal ini umat Islam sudah terbiasa.

Menggunakan masker, hal ini juga sudah biasa dilakukan dalam kehidupan kita saat ini, di mana sebaran udara tidak sehat semakin menjadi-jadi. Pekerja perusahaan–perusahaan pertambangan, pabrik-pabrik dan lain sebagainya sudah sangat terbiasa menggunakan masker saat bekerja untuk menghindari udara yang tidak sehat. Bukan hanya pekerja perusahaan pertambangan dan pabrik saja, bahkan kita juga terdampak polusi udara tersebut, baik dari pertambangan atau bahkan polusi kendaraan yang dirasakan masyarakat perkotaan.

Mungkin yang benar-benar baru adalah tidak bersalaman dan jaga jarak. Bersalaman adalah budaya kita baik ketika bertemu atau pun berpisah, bahkan setiap saat kita lakukan. Begitu pun jaga jarak sulit kita lakukan karena kebiasaan berkumpul sudah menjadi kebudayaan masyarakat.

Membiasakan Normal Baru

Kehidupan baru atau Normal Baru membutuhkan kerja ekstra untuk menuai hasil maksimal. Kerja kolektif sangat dibutuhkan. Memang cukup berat kita lakukan, namun mau tidak mau harus kita lakukan untuk menangani pandemi Covid-19 ini dan untuk memulihkan perekonomian.

Cara yang paling efektif untuk membiasakan diri dalam Normal Baru ini, selain kita melihat kebiasaan lama seperti berwudhu dan menggunakan masker tadi, yang diperlukan adalah kesadaran dan pemahaman tentang Covid-19. Kesadaranlah yang akan membentuk kita sehingga patuh dan melakukan apa yang dianjurkan oleh pemerintah. Dan yang tak kalah penting adalah pemahaman tentang Covid-19 ini.

Baca Juga  Menjadi Kaya dengan Menulis Buku?

Tentu pemerintah harus bekerja keras dalam penanganan ini. Seperti yang disampaikan Presiden pada pertemuan terbatas kemarin, “harus ada sosialisasi massif terhadap Normal Baru ini, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat secara luas.”

Editor: Arif

Janika Irawan
4 posts

About author
Mahasiswa S1 Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Mengamati isu terkini, pembelajar sejarah, pegiat literasi.
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds