FeaturePerspektif

Hijrah yang Tak Menyejarah?

3 Mins read

Oleh : Ana Dwi Itsna Pebriana*

Selain isu politik yang akhir-akhir ini menjadi perhatian publik, ada juga hal lain yang tak kalah menarik. Fenomena hijrah yang begitu marak digandrungi generasi millenial. Mulai dari posting foto-foto islami kemudian dibumbui caption bijak dengan kata-kata bahasa Arab sampai ada yang memutuskan untuk berhijab bahkan disertai dengan niqab.

Menurut Aswadi (2011 : 341), hijrah pada mulanya dimaknai dengan perpindahan Rasulullah SAW. dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah sebagai sarana dakwah. Hijrah ini dilakukan pada 622 M disebabkan adanya penindasan orang-orang musyrik Quraisy yang luar biasa terhadap Nabi dan para sahabat dahulu kala.

Kemudian seiring perkembangan zaman istilah hijrah semakin luas pemaknaannya. Hijrah kini dimaknai sebagai suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan itu bisa dalam hal karir, asmara, rezeki, maupun kepribadian seseorang.

Tak tanggung-tanggung perubahan menuju baik itu seakan menjadi hal yang harus diketahui khalayak ramai. Sosial media pun menjadi buruan para aktivis hijrah. Penggunaannya tidak jauh dari kegiatan selfie dengan tampilan baru yang islami ataupun mengajak publik untuk sama-sama memperbaiki diri.

Kalangan artis pun seakan tak mau kalah. Banyak dari mereka yang berlomba-lomba untuk berhijrah. Mulai berpenampilan syar’i ataupun mengikuti kajian-kajian islami. Bahkan mereka pun memiliki komunitas mengaji demi memperluas silaturahmi, hal ini seperti dikutip dari laman detik.com (18/01/2018).

Sebetulnya, fenomena hijrah ini bukan kali pertama terjadi dan bukan hal yang bersifat baru di ranah publik. Menurut Ariel Heryanto dalam Identitas Kenikmatan, pada 1990-an, Islamisasi di Indonesia sempat menguat. Hal ini terjadi karena pemerintahan saat itu memberi ruang kepada ormas-ormas Islam untuk masuk ke pemerintahan.

Baca Juga  Onad, Habib Ja'far, dan Masalah Intoleransi di Indonesia

Ariel juga menulis, pada tahun yang sama pula, pertumbuhan pesat industri busana muslim sudah menunjukkan jumlah yang signifikan. Pemakaian jilbab memperoleh nilai politik dan kebaruan sebagai ungkapan pemberontakan pada puncak pemerintahan Orde Baru.

Kemudian pemakaian jilbab bertransformasi menjadi tren mode berpakaian sejak dekade 1990-an, lantas menjadi bentuk kepatutan politik sejak peralihan abad,” tulis Ariel.

Hingga sampai saat ini, hijrah seakan hanya bisa ditunjukkan lewat tampilan luar semata. Celana cingkrang, berjenggot, jilbab besar dan cadar. Ada juga yang menggembor-gemborkan untuk nikah muda, jomblo sampai halal, putuskan atau halalkan agar murka Allah tak Ia datangkan. Sungguh sempit sekali bila proses hijrah hanya dimaknai demikian.

Persoalan lain yang menjadi polemik dan marak diperbincangkan dari fenomena hijrah, yaitu adanya kecenderungan untuk mengkafirkan atau menyalahkan orang yang tak sepaham dengan pandangannya. Merasa sudah begitu dalam mempelajari ilmu agama  sebagai bukti ia berhijrah, membuatnya hanya bisa memandang sebelah mata.

Kata kafir seakan mudah diucapkan tanpa beban. Ada sedikit ulasan dari Quraish Shihab tentang makna kafir yang sangat sensitif di telinga kita. Sebagaimana tausiyahnya di kanal youtube Mata Najwa (21/06/2017), beliau mengatakan bahwa siapa pun memang bisa dikatakan kafir jika ia melakukan sesuatu yang jauh dari kebenaran.

Namun yang luput dari kita, adanya kesalahpahaman memaknai ‘kebenaran’. Sehingga terjadilah fanatik berlebihan pada agama. Padahal kebenaran yang dimaksud adalah berdasarkan perspektif Allah, bukan manusia. Maka menjadi fatal bila seseorang mengkafirkan orang lain hanya berdasarkan kaca mata pribadinya. Alquran dan Hadits harus dijadikan sebagai pemandu utama.

Orang yang berhijrah pada dasarnya adalah orang yang mendapat hidayah dari Allah untuk kembali pada fitrah sebagai seorang hamba. Ia akan senantiasa menjalankan segala aturan yang telah Allah syariatkan dan menjauhi segala hal yang Ia larang.

Baca Juga  New Normal dan Gairah Baru Program Pemberdayaan Masyarakat

Seperti dalam sabda Rasulullah SAW:  “Dan Al-Muhaajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan larangan Allah”.  (HR. Bukhari-Muslim)

Siapapun yang memutuskan untuk berhijrah sebetulnya tidak perlu menunjukkan pada banyak orang terlebih pamer via sosial media dengan tampilan barunya. Ia hanya akan menggunakan sosial media sebagai sarana penyebar kebaikan. Ia juga tak akan mudah mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham dengannya.

Karena hidayah Allah senantiasa menuntunnya untuk hanya melakukan hal-hal yang bermanfaat dan bernilai ibadah. Seorang hamba akan tahu bahwa ilmu Allah itu luas dan pikiran manusia lah yang sempit. Ia juga akan lebih memahami bahwa keragaman dalam keberagamaan memang ada dan tak bisa dinafikan.

Maka memeriksa niat terlebih dahulu sebelum memutuskan berhijrah menjadi hal utama yang harus dilakukan. Apakah betul niat untuk berhijrah adalah karena Allah semata, atau hanya sekedar ingin dipandang manusia bahwa ia adalah hamba yang paling mulia tanpa cela.

Bila niat di awal untuk berhijrah memang hanya karena ingin mengejar keridhaan Sang Maha Rahman, tentu proses hijrahnya pun akan ia lalui dengan penuh kesungguhan. Tidak akan urung di tengah jalan seperti fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Tersiar kabar bahwa si A berhijrah, namun tak lama kemudian kembali ‘jahiliyah’.

Hal ini sesuai dengan hadits yang sudah masyhur di telinga kita, dari Umar bin Khattab RA. bahwasannya Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya amalan itu bergantung pada niatnya dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Satu hal yang harus kita pahami bersama ialah bahwa hijrah bukan hanya sebatas lisan dan penampilan semata. Ia juga harus dilandasi dengan sikap lapang dada bahwa banyak keragaman yang terjadi di depan mata.

Baca Juga  Humor Gus Dur yang Agak Membela Muhammadiyah

Bila memang tujuan dari hijrah tersebut karena Allah, maka tak ada yang sia-sia. Selalu yakin bahwa Allah akan senantiasa hadir dalam bahagia yang kita rasakan ketika segala ketentuan-Nya telah ditunaikan dengan penuh keikhlasan. Tak ada yang percuma dengan sebuah niat baik yang telah diikrarkan.

Mari jadikan hijrah sebagai jalan hidup untuk selalu berproses menjadi lebih baik. Jangan sampai hijrahku, hijrahmu dan hijrah kita menjadi hijrah yang tak menyejarah dengan melakukan hal-hal yang justru tak berfaedah.

Selamat berhijrah, semoga istiqomah.

*) Penulis adalah Sekretaris Bidang Media dan Komunikasi PC IMM Bandung Timur, Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa Arab UIN Bandung

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds