Feature

Keberanian, Kebebasan, dan Tanggung Jawab: Etika Santri Pondok Shabran

5 Mins read

Sebenarnya, pondok di Muhammadiyah bisa dikatakan sebagai sebuah model pendidikan yang baru, karena berbeda dengan konsep pendidikan yang dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan. Namun terkait dengan itu ada satu pandangan baru terkait dengan Pondok Muhammadiyah. Apalagi ada satu terobosan baru dari salah satu pimpinan Muhammadiyah, yakni Bapak Mohamad Djazman, pendiri IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang saat itu sebagai Rektor UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) dengan mendirikan pondok di lingkungan perguruan tinggi.

Di kemudian hari, Pondok Muhammadiyah itu dikenal dengan nama Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran, atau lalu kini lebih populer dikenal dengan Pondok Shobron. Di mana secara kelembagaan dan struktural terkait langsung dengan Universitas Muhammadiyah Surakarta yang mendapat mandat dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karena itu, melalui kesempatan ini saya ingin sedikit bercerita terkait dengan pengalaman saat mondok di Shabran.

Tidak Ada Aturan: Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Menariknya, di Pondok Shabran adalah adanya nuansa akademis dan pelatihan keberanian yang ditonjolkan sebagai jati diri pada mahasiswa. Pondok Shabran itu bukan sistemnya. Sistem tetapi bukan teknis pengajaran di mana lebih kepada sebuah lingkungan (envirountment) untuk menciptakan sebuah mentalitas. Sistem untuk menciptakan lingkungan sosial psikologis yang menjadikan seseorang itu tangguh dan berani untuk diadu.

Anak Shabran itu sebenarnya tidak bisa apa-apa. Saya misalnya. Ijazah Saya saja nilai akumulatifnya tidak sampai lima. Tetapi Shabran itu dibuat dengan niat yang sangat serius dan beban yang sangat berat, yaitu untuk melahirkan kader-kader persyarikatan yang tangguh dan berani. Sehingga membuat anak-anak Shabran itu unggul setidaknya dalam masalah keberanian dan semangatnya.

Anak-anak Shabran berasal dari seluruh Indonesia. Mereka dididik di sana dengan beban-beban yang sangat berat, tetapi dengan cara yang sangat cerdas dan sangat arif. Ada dua hal yang saya ingat ketika pertama kali datang ke Shabran. Seingat saya, saat itu Pak Djazman memiliki kredo, Shabran itu hanya memiliki satu aturan, yaitu “tidak ada aturan”.

Aturan itu lebih kepada kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh kita bersama. Di mana filosofinya adalah anak Shabran itu diajari menjadi orang baik dan diberi wawasan bahwa hidup itu sangat luas, kemudian tugas itu sangat berat.

Di sanalah mereka dididik untuk menderita. Mereka itu anak-anak muda, maka jangan dibatasi, biar mereka dibatasi oleh tanggung jawab mereka. Berikan mereka kesempatan, berikan mereka peluang untuk berkembang. Kita tidak perlu khawatir, nanti jadi seperti ini atau seperti itu. Semakin banyak batasan, maka mereka akan semakin banyak kehilangan kesempatan.

Baca Juga  IMM Minta Kapolri Copot Kapolda Sulawesi Tenggara

Kembali ke Masyarakat

Setelah mereka siap menjadi orang yang sangat menderita, mereka siap terjun kembali ke masyarakat. Penderitaan itu mulai dari jumlah perkuliahan yang tidak masuk akal, diberi tugas-tugas tanpa diberi bimbingan. Sebagai contoh, dahulu selama 10 tahun pondok Shabran tidak mempunyai masjid.

Satu-satunya pondok yang tidak mempunyai masjid ya Pondok Shabran. Mengapa? Mahasiswa dipaksa keluar dan berinteraksi dengan masyarakat. Dan 10 tahun kemudian setelah anak Shabran datang, maka di sekitar Shabran sudah ada sekitar 20 masjid.

Jadi nanti lihat cara kerja anak Shabran. Mereka seperti “Pasukan Khusus”. Di dalam situasi yang tidak menentu, ketika mereka harus merintis mereka itu hebat.  Tetapi ketika harus menjadi pejabat mereka tidak terlalu hebat. Kehebatan mereka adalah dilatih untuk menderita kemudian dilepas dan menderita bersama umat. Mereka siap, mereka bisa menghayati penderitaan umat, dan mereka bisa membimbing umat lewat penderitaan itu untuk setidaknya menciptakan transformasi sosial menjadi lebih baik.

Cita-citanya selalu membangkitkan umat, kembali ke masyarakat. Karena memang Shabran pada awalnya tidak menyediakan ijazah, sehingga mereka dikuliahkan di kampus untuk mendapatkan efek sipil saja. Jadi, secara psikologis, perpaduan antara memahami hidup yang luas, lalu menghayati bahwa hidup itu bebannya berat, oleh karena itu harus berani.

Dan yang dijadikan modal untuk berani ini adalah interaksi rutin dengan tokoh-tokoh pimpinan pusat. Jadi, kalau sudah pernah nongkrong dengan PP Muhammadiyah, maka dengan pimpinan wilayah, pimpinan daerah itu tampaknya kecil. Itu yang menjadikan mental anak Shabran menjadi sangat berani.

Interaksi dengan Pak AR, Buya Syafii, Pak Amien, dengan Menteri Agama itu menjadi sangat biasa. Jadi, meskipun saya itu di Shabran tetapi temen-temen saya itu di UGM, UIN Kalijaga, UNY, dan lain sebagainya. Bahkan anak yang paling tidak berprestasi pun di Shabran, mereka menjadi orang yang mampu berprestasi di daerahnya masing-masing. Di antaranya Ibnu Hiban Pasaribu, ia menjadi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Padang Lawas, Muklis menjadi Kepala Sekolah, Rusydi menjadi seorang yang bantu-bantu Gubernur (Pembantu Gubernur).

Baca Juga  Cerita Panjang Bersama Rak Buku

Mentalitas Keberanian

Jadi, mentalitas itu yang menjadi ukuran anak Shabran, karena input-nya tidak bagus, maka harus berani. Dan justru malah kebanyakan anak-anak yang pintar, itu terkadang tidak jadi berkembang. Mereka dari seluruh Indonesia, tetapi ada sebuah lingkungan yang membuat mereka itu menjadi berani. Karena di banyak tempat mengatakan, who dare he win, siapa yang berani maka dia akan menang.

Namun, yang saya justru sekarang ini khawatirkan dari anak Shabran adalah ketika para pimpinan Shabran itu tidak lagi mampu menciptakan suasana yang membuat anak-anak bebas. Mereka terlalu khawatir anak-anak nanti begini dan begitu, maka menjadi terlalu banyak batasan.

Saya khawatir mereka akan kehilangan keberaniannya. Karena siapa yang kehilangan keberanian maka mereka akan kehilangan banyak kesempatan. Justru, anak muda nakal itu tidak masalah. Kapan lagi kita nakal kalau bukan saat muda, dari pada nakal saat sudah tua.

Keberanian itu lahir dari pemahaman-pemahaman diri atau dari ketidaktahuan diri. Kata kuncinya adalah berani, eksploratif, dan membaca. Sampai terkait dengan ilmu tenaga dalam itu bagian dari sumber keilmuan yang perlu dieksplor. Jadi, dahulu tidak ada yang ini boleh, dan ini tidak boleh.

Semua itu adalah pengembaraan-pengembaraan masa muda yang dilatarbelakangi oleh rasa keingintahuan dan difasilitasi oleh para pembimbing. Kalian masih muda, kesempatan itu harus dicari, kehidupan itu sangat luas.

Seingat saya, para senior itu tidak menggurui, tetapi menuntut saja. Ada satu ungkapan, yang saya ingat itu, kalian itu di Shabran harus jadi. Terserah jadi apapun tidak masalah. Anak Shabran harus memiliki prestasi. Karena kalau orang punya prestasi, maka akan dihargai.

Jadi pengkaderan itu bukan seperti mencetak roti. Pengkaderan itu adalah menciptakan manusia-manusia yang memiliki visi kehidupan dan keberanian menjalani hidup. Oleh karena itu, Saya memiliki pesan untuk generasi Shabran yang akan datang, secara historis keunggulan mereka ada pada keberanian mereka. Keberanian itu di satu sisi, dibangun dari wawasan, lalu interaksi yang sangat bebas.

Kalau ada kesalahan ya sudah peringatan kesatu, kedua, dan ketiga, kemudian setelah itu keluar, tidak perlu pakai hukuman-hukuman, karena itu bukan pondok anak kecil. Di mana di Shabran itu kan andragogi, pendidikan untuk orang dewasa. Kemudian yang ketiga, sesering mungkin didatangkan tokoh nasional ke Shabran, hal itu penting untuk meningkatkan mentalitas anak Shabran.

Baca Juga  INOVASI

Masa Depan Pondok Shabran

Masalah sekarang karena ada rezim akreditasi, sehingga mahasiswa tidak memiliki beban. Saran saya di Shabran itu harus ada ruang yang memfasilitasi pemikiran seliar apapun, karena di tangan manusia-manusia liar itu dunia dibangun, dan jangan terlalu takut dengan ijazah.

Karena hakikatnya dunia dibangun oleh para pengusaha dan entrepreneur, bukan oleh para pejabat. Karena, ternyata kelebihan dari anak Shabran itu bukan pada intelektualitasnya, tetapi keberaniannya dan adanya “lingkungan untuk menderita”. Jadi orang harus distimulasi mental dengan situasi yang sangat menderita itu.

Satu cerita juga, bahwa senior-senior yang sukses bukan karena orang pintar, kaya, atau punya segala hal. Tetapi adanya mental untuk bergerak. Jadi modal utama, adalah “nyali”. Kata kunci untuk menggenggam dunia adalah nyali. Dan kita tidak perlu takut dengan kata takut, tetapi kita harus lebih takut dengan malu. Selain itu bacaan buku-buku juga sangat mendukung. Kalau Saya dahulu buku-buku sejarah, filsafat dan sosiologis. Itu sangat penting.

Selanjutnya, adanya kesederhanaan akan membuat orang menjadi tulus. Yang perlu diajarkan nanti adalah anak Shabran itu berkreasi, punya visi dan punya keberanian, juga anak-anak muda cari tahu apapun supaya anak muda menjadi berani. Carilah situasi, kondisi, agar kita tidak takut.

Karena satu-satunya hal yang menghalangi kesuksesan adalah ketakutan. Carilah prestasi dan reputasi, caranya adalah ke mana pun berada selalu bertanya, “apa yang bisa dibantu”. Karena Itu artinya menandakan bahwa kita menjadi orang yang tulus dan berkontribusi.

Saat orang melihat prestasi, maka akan melihat reputasi. Kalau kita meminta kita akan diminta. Tapi kalau kita memberi, maka kita akan diberi. Tetapi akan lebih elegan jika kita ingin diberi, maka memberi terlebih dahulu. Dan terakhir, “guru yang akan Anda temukan, adalah seukuran dengan kapasitas kemuridan yang Anda siapkan”.

Karena mencari ilmu itu tidak tergantung tempatnya. Kehebatan seseorang bukan pada di mana dia belajar, tetapi bagaimana meraka belajar. Demikian sekiranya mudah-mudahan ada manfaatnya.

Selengkapnya di sini

Avatar
2 posts

About author
Ketua Lembaga Pengambangan Cabang dan Ranting (LPCR) Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…
Feature

Tarawih di Masjid Sayyidah Nafisah, Guru Perempuan Imam Syafi’i

3 Mins read
Sore itu, sambil menunggu waktu buka, saya mendengarkan sebuah nasyid yang disenandungkan oleh orang shaidi -warga mesir selatan- terkenal, namanya Yasin al-Tuhami….
Feature

Warrior dan Praktik Diskriminasi

4 Mins read
Cerita fiksi ini mengangkat sisi kehidupan warga kota San Fransisco pada akhir abad 19. Kehidupan mereka diangkat dalam Film seri “Warrior”, tayang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *