FeatureInsight

Islam Ibtidaiyah: Penyebab Sikap Kaku dalam Beragama

3 Mins read

Oleh: Fauzan A. Sandiah

Seorang kawan yang baru pulang dari tanah suci cerita kalau dia ketemu mahasiswa Indonesia yang kuliah di Yaman. Begitu pulang ke Indonesia, sambil makan soto, dia tanya, kenapa mahasiswa yang belajar Islam jauh-jauh ke Timur Tengah justru kaku memahami agama?

Saya lahir dari keluarga Muhammadiyah. Bagi banyak orang, aktivis Muhammadiyah itu kaku dan serius. Tapi tentu bukan “kaku” semacam itu yang dia maksud. “Kaku” yang dia maksud, bisa jadi adalah suatu sikap yang berbau tertutup dan menuding.

Siapa saja yang pernah hidup barengan dengan penganut agama beda-beda, tidak nyaman dengan gaya kaku beragama. Tidak ada orang yang suka dituding salah atau sesat. Tidak ada juga seorang penganut yang menganggap agamanya keliru. Agama adalah pilihan subjektif. Sebetulnya kita lebih banyak “mengalami” agama ketimbang “memikirkan” agama.

Mengapa sikap kaku jadi penghalang masyarakat plural? Sebabnya sederhana, karena sikap kaku itu bernada politis ketimbang doktrin. Kita tuding orang lain salah atau sesat bukan karena ajaran agama, tapi pilihan politis supaya kelihatan beda. Kita punya standar ganda mana yang sah dan palsu. Ketika kita tuding orang lain salah, maka kita tidak terima diperlakukan sebaliknya. Kita pasti benar, orang lain bisa luput.

Jadi, penerimaan kita terhadap sikap beragama orang lain itu memang tidak bisa diuji dan diukur objektif. Satu-satunya yang bisa menyalahkan diri kita adalah diri kita sendiri. Orang lain di luar kelompok tidak termasuk.

Mengapa Islam Ibtidaiyah?

Sebetulnya apa yang keliru dalam gaya beragama kita? Saya kira letaknya sudah jelas bahwa kita menganggap agama itu sepenuhnya persoalan “ajaran” ketimbang “amalan”. Kita gagal menggabungkan keduanya.

Baca Juga  Sawah Untoh dan Jelen Luhuih (1): Cerita Ekonomi Pertanian Kerinci Hilir

Agama sebagai ajaran menuntut sikap solid. Apa yang benar dan salah. Sama seperti orang yang belajar Islam di Ibtidaiyah. Kita belajar baca Aqidah-Akhlaq, Al-Qur’an, fiqh, dan hadits. Tidak ketinggalan, belajar tema-tema besar sejarah seperti kerajaan-kerajaan Islam, siapa tokoh hero Islam, dan apa saja kontribusi Islam bagi dunia.

Dengan basis pengetahuan ala ibtidaiyah, kita diantarkan supaya mudah melihat dunia ini. Tujuannya supaya dalam keseharian kita punya modal mengasah pengalaman rohani. Tapi yang terjadi sebaliknya. Pengetahuan ibtidaiyah tadi justru tidak menopang kehidupan spiritual.

Ketika menyebut “ibtidaiyah” saya tidak sedang bicara tentang sekolah Islam tingkat dasar. Tapi suatu model belajar Islam. Seseorang yang belajar Islam model ibtidaiyah harus belajar fikih, yang dimaknai sebagai “hukum Islam” atau dipatenkan menjadi “syariat”. Begitu pula saat belajar Akidah, yang dimaknai sekadar “keyakinan”.

Pola pemahaman ibtidaiyahbelum butuh ushul-fiqhsaat membahas hukum Islam. Juga belum butuh kajian ilmu kalam (fikih akbar) dalam diskusi akidah. Apalagi sejarah yang sangat kompleks mengenai Islam. Dalam pola beragama ala ibtidaiyah, kita dibantu mengenal agama, tapi tujuannya bukan untuk berpuas diri. Ada tahapan tsanawiyah, aliyah, dan jamiahyang harus dilewati. Semakin tinggi tahapan pengetahuan Islam, semakin besar kita memperhatikan secara rinci apa saja Islam itu.

Sikap Kaku dan Egoisme

Kembali ke cerita kawan saya, dia didebat oleh si mahasiswa soal kapan lempar jumrah yang sah. Si mahasiswa kukuh bahwa waktu paling tepat adalah malam hari. Sedangkan kawan saya yang sudah dua puluh tahun mendampingi jamaah haji, tenang saja mendengar kritik si mahasiswa. Saya tidak akan membahas “apa” yang benar. Saya ingin mengatakan bahwa sikap kukuh si mahasiswa bisa menghinggapi siapa saja. Tidak peduli orang dari latar belakang akademik seperti apa.

Baca Juga  Mufti Rusia Albir Krganov Berkunjung ke Indonesia, Untuk Apa?

Sikap tertutup dan menuding itu tampaknya menyenangkan, karena membantu seseorang memahami kenyataan tanpa perlu repot-repot merenung dan menelusuri. Sikap kukuh terhadap keyakinan kita itu kelihatan sangat militan, memberi kita perasaan telah berbakti membela agama supaya lurus dan lestari. Sikap kaku memberi kita perasaan aman karena kita berjarak dari segala sesuatu yang berpotensi menciderai keyakinan.

Sikap kaku dalam beragama sebetulnya adalah wujud egoisme, simbol antroposentrisme ekstrim. Kita menganggap diri pendulum kebenaran. Mengapa kita bisa menganggap demikian? Karena kita hanya melihat lurus ke depan tanpa menengok sebelah kiri dan kanan, serta bawah dan atas. Orang yang kaku meletakkan dirinya sebagai pusat kenyataan, ketimbang sebagai bagian dari kenyataan itu sendiri. Sehingga dia mengambil peran sebagai gravitasi, menarik segala sesuatu supaya berdiri rapat mengikuti cara pandangnya. Pola itu hanya berlaku dalam komunitas kecil, dan akan semakin tidak relevan di dalam kehidupan yang luas.

Bentuk-bentuk keyakinan yang ekslusif tidak akan pernah merangkul banyak orang dan berdaya tahan panjang. Pola beragama ala ibtidaiyah dibuat untuk memfasilitasi konteks kehidupan seseorang yang masih hidup dalam relasi sosial sederhana. Misalnya, keluarga dan perkawanan dekat. Sehingga pendidikan dasar bagi anak-anak disebutibtidaiyah dengan asumsi bahwa pengetahuan keagamaannya berkonteks dengan kehidupan keluarga si pelajar yang masih sederhana dan homogen.

Berbeda kasus dengan pola pendidikan jamiah(kampus) yang ditujukan untuk kehidupan lebih kompleks dan heterogen. Si pelajar bukan lagi “siswa” bagi relasi sosial sederhana, tapi makin kompleks, dan terikat dengan relasi meluas.

Ketika seseorang berupaya mendorong orang atau kelompok lain menerima sikap dan perilakunya tanpa mempertimbangkan konteks kehidupan heterogen, maka dia menjadi “kaku”. Itu adalah tanda bahwa sudah saatnya kita bergerak dengan berterima kasih pada modal penting gaya beragama ala ibtidaiyah. Bahwa kita sudah dibantu untuk belajar beragama dalam konteks kehidupan inti, dan akan terus beranjak kepada kehidupan bersama yang semakin luas.

Baca Juga  KKN Di Desa Dahlan

Jika dalam ibtidaiyah kita diajari beradab dan berbakti pada orang tua atau pasangan hidup, itu sebetulnya latihan supaya kita menjadi beradab dan membaktikan diri pada manusia secara luas. Jika dalam ibtidaiyah kita diajari bersuci ketika hendak sholat, itu sebetulnya latihan supaya kita merawat kehidupan alam supaya menjadi tempat bersujud yang mulia. Jika kita diajarkan untuk berdisiplin dan tidak plin-plan dalam agama, itu adalah latihan supaya kita punya sikap dan komitmen yang kuat terhadap kehidupan.

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *