Perspektif

Ingat Ibadah Ritual, Jangan Lupa Ibadah Sosial!

3 Mins read

Jauh sebelum dilahirkan ke dunia, manusia telah melakukan semacam “kontrak pengabdian” dengan Tuhan Yang Maha Esa di alam ruh. Peristiwa yang terjadi di alam ruh itu ialah kesaksian dan perjanjian antara manusia sebagai hamba dengan Tuhan sebagai pencipta. Meskipun dalam perjalanan hidupnya manusia sering acuh akan perjanjian itu. Acuh terhadap ibadah ritual dan ibadah sosial.

Ibadah Ritual dan Ibadah Sosial

Pengejawantahan dari janji tersebut ialah mealaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi larangan Tuhan. Oleh sebab itu, manusia mulai berlomba melakukan kebaikan sebagai bukti kepatuhan kepada Tuhan. Maka tak heran di berbagai tempat banyak kita jumpai kegiatan berbau agama yang dengan beragam sebutan atau nama perkumpulannya.

Masyarakat yang mengaku sadar agama semakin kreatif dalam melakukan berbagai aktivitas ritual ibadah sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Mereka berlomba–lomba melakukan berbagai kegiatan keagamaan walaupun kadang–kadang terkesan memaksakan diri dan mengundang pertanyaan.

Terkadang juga semangat beragama yang tinggi tidak selalu linier dengan akhlak pelakunya. Misalnya ada yang rajin berzikir tetapi di lain kesempatan kata-kata kotor juga memenuhi mulutnya. Orang seperti ini hanya mampu olah zikir tapi tak mampu olah pikir.

Bahkan seorang penghafal Al-Qur’an pun belum tentu mampu menerjemahkan keindahan nilai-nilai moral yang ada dalam kitab suci itu ke dalam perilakunya. Banyak yang pandai melantunkan ayat-ayat suci tetapi sayangnya kesucian dan keindahan nilai yang dikandungnya hanya sampai di tenggorokan saja.

Sebuah peristiwa yang tercatat dalam sejarah yaitu, seseorang yang menghabisi nyawa sahabat sekaligus menantu tercinta sang Nabi adalah seorang penghafal Al-Qur’an dan ahli ibadah. Ini adalah bukti nyata paradoks antara kesahalehan ritual dan keshalehan sosial.

Baca Juga  Mengatasi Krisis Lingkungan dengan Etika Profetik Kuntowijoyo

Fenomena tersebut mengingatkan saya pada ucapan seorang teman; “tidak semua yang berzikir itu mampu menggunakan akal sehatnya. Banyak yang kelihatannya berzikir tetapi nalarnya tidak berfungsi”. Saya mencoba memahami maksud ucapannya, ternyata kalau direnungkan ada benarnya juga, karena untuk bertindak benar tidak cukup hanya memaksimalkan zikir tetapi harus memadukan akal sehat.

Kesenjangan Ibadah Ritual dan Sosial

Ibadah zikir di kalangan masyarakat modern telah menjadi semacam wisata spiritual. Yang dilakukan hanya untuk menghilangkan dahaga setelah menjalankan rutinitas dunia yang semakin sibuk. Padahal sesungguhnya zikir adalah sarana mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan untuk menghilangkan dahaga.

Ketika zikir yang dilakukan secara berjamaah dalam suatu majelis jelas terlihat hujan tangis, suara lirih, dan ekpresi penyesalan tumpah ruah ketika suatu jamaah berkumpul. Namun berbanding terbalik ketika berada dalam kesendirian. Nafsu keduniawian kembali bergejolak dan menari-nari dalam dirinya.

Kesenjangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial terjadi sebab kegagalan kita memahami pesan-pesan Tuhan dalam kitab suci ketika hendak menjalankan ibadah. Padahal agama sendiri mengajarkan agar memaksimalkan potensi akal sebelum berbuat. Kita wajib berusaha memahami cara dan pendekatan Tuhan dalam menuntun hamba-Nya menuju kebenaran.

Tuhan seringkali memberi pesan agar kita selalu menggunakan nalar ketika hendak menjalankan suatu perintah. Dalam beberapa ayat, Tuhan menggunakan gaya bahasa bertanya di akhir ayat dengan kalimat “Apakah kalian tidak berakal?” dan beberapa kata yang maknanya sama. Ini membuktikan bahwa menilai sesuatu sebelum mengambil keputusan haruslah melalui proses perenungan yang matang dan pikiran yang jernih.

Namun faktanya, hari ini tidak banyak orang yang mampu menerjemahkan pesan Tuhan yang termaktub dalam kalamnya yang suci. Kebanyakan hanya mampu menjalankan ritual agamanya sesuai kehendaknya sendiri tanpa memikirkan konsekuensi dari ibadah tersebut.

Baca Juga  Islam Jalan Tengah, Jalan Menuju Persatuan Umat

Misalnya dalam kitab suci, sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang lebih ditonjolkan daripada murka-Nya. Tapi orang-orang lebih mudah mempersepsikan Tuhan sebagai “Penyiksa” daripada “Penyayang”. Cara beragama seperti ini sangat berpotensi menyulut api konflik antar umat beragama. Sehingga tidak mengherankan apabila berbagai macam kerusakan dan kekacauan timbul akibat kegagalan kita menggunakan akal sehat.

Kita bisa menyaksikan di depan mata fenomena dan kehebohan yang tengah melanda umat muslim di negeri ini yang mayoritas kuat dalam ibadah ritual. Namun, hanya sedikit yang mampu mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sosialnya.

Lebih dari itu, bahkan ada yang sampai melakukan hal-hal yang kelewat batas. Hanya karena masalah sepele atau seseorang kebetulan telah menyinggung simbol-simbol agamanya.

Memaksimalkan Ibadah

Demikianlah kala ego mulai mengusai pikiran dan syahwat kekuasaan sudah merajalela. Maka gerak akal menjadi sempit, sehingga sangat sulit melihat kebenaran dan kebaikan pada diri seseorang yang dibenci, meskipun dia melakukan kebaikan selangit.

Beribadah memang sangat penting, tetapi memahami dan menerjemahkan nila-nilai ibadah serta manfaatnya ke dalam kehidupan sosial jauh lebih penting untuk dilakukan. Karena terkadang seseorang lebih asyik dengan ibadah ritualnya tetapi mengabaikan ibadah sosial sebagai konsekuensi dari ibadah tersebut. Sehingga semua aktivitas ibadahnya menjadi kosong dari nilai dan manfaat.

Kita bisa mengambil contoh pengamalan ibadah ritual yang begitu intensif dan semarak di mana-mana, namun di saat yang sama perilaku menyimpang berjalan seiringan. Entah karena apa hal tersebut dapat terjadi. Padahal Nabi SAW yang begitu kuat dalam ibadah ritual tetapi tetap memaksimalkan ibadah sosialnya.

Sebagai contoh, Nabi sangat mudah memaafkan para pembencinya dan setiap orang yang memusuhi beliau. Bahkan beliau mendoakan mereka agar diberikan hidayah oleh Allah menuju kebenaran. Sebagaimana yang telah beliau lakukan pada sahabat Umar bin Khattab sebelum masuk Islam.

Baca Juga  Tiga Tradisi Budaya yang Bisa Membentuk Sikap Etis

Sayangnya, kebanyakan manusia lebih dikuasai sifat egoisme. Terkhusus dalam urusan beribadah. Sehingga apa yang mereka lakukan tidak mendatangkan manfaat bagi orang banyak justru malah sebaliknya. Sebagaimana kata Imam Ali bahwa “Tidak ada agama (tidak sempurna agamanya) bagi orang yang tak menggunakan akal sehatnya”.

Editor: Nirwansyah/Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Staff pengajar di pesantren Nuhiyah Pambusuang
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds