Pernikahan merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Di mana terdapat proses perjanjian ikatan seumur hidup untuk meneruskan kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pernikahan tidak bisa terlepas dari pola kehidupan keagamaan di masyarakat. Dalam perspektif antropolgi simbolik interpretatif, agama diartikan sebagai bagian dari kebudayaan yang berwujud sistem simbol yang mengandung konsepsi tentang dunia dan suasana hati yang dibimbing oleh idealisme moral (Clifford Geertz).
Dari pengertian di atas, pernikahan sebagai bentuk sistem simbol keagamaan yang lahir dari anjuran agama sebagaimana yang terdapat dalam sabda nabi shalalahu ‘alaihi wa sallam, “Dari Anas bin Malik Ra bahwasanya nabi Saw bersabda setelah memuji dan menyanjung Allah:… akan tetapi aku salat, tidur, berpuasa, berbuka, kawin dengan perempuan. Barang siapa tidak senang dengan sunnahku tidak termasuk umatku”. (Muttafaqun ‘alaih).
Adanya anjuran untuk menikah di dalam Islam, tidak lepas dari banyaknya hikmah di balik proses penyatuan ikatan dua insan tersebut. Terhindarnya dari perbuatan zina akibat dorongan biologis yang membuat tidak ada lagi perbedaan antara manusia dengan hewan. Dan akhirnya melahirkan keluarga sakinah, mawaddah, dan wa rahmah sesuai dengan QS. ar-Rum ayat 21.
Dalam tradisi keagamaan masyarakat sebelum pernikahan terjadi, ada tahap yang harus dilakukan terlebih dahulu yakni meng-khitbah (meminang). Pada masyarakat Bugis-Makassar, peminangan dilakukan oleh pihak keluarga mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita. Pada tahap ini pula, dilakukan penentuan mahar dan uang panaik. Masyarakat Bugis-Makassar mengganggap mahar dan uang panaik tidak bisa dilepaskan dalam ritual adat pernikahan mereka. Yaitu pemberian suami kepada sang istri sebelum, sesudah, atau saat akad dilaksanakan yang wajib diberikan dan tidak boleh diganti dengan lainnya.
***
Walaupun sama-sama merupakan pemberian wajib suami. Mahar dan uang panaik tidaklah sama. Mahar adalah pemberian wajib calon suami kepada calon istri sebagai simbol penghormatan, penghargaan yang diberikan dengan penuh kerelaan, dan sebagai ungkapan keinginan calon suami terhadap calon istrinya tersebut. Dari sudut pandang antropologi simbolik interpretatif, mahar dalam tradisi keagamaan merupakan pola dari (model of) ajaran agama Islam, yaitu “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya”.(Q.S an-Nisa ayat 4)
Di dalam syariat Islam, ukuran mahar tidak didasarkan pada sesuatu yang memiliki harga secara material saja, tetapi lebih didasarkan pada sesuatu yang memiliki simbol. Karena pada dasarnya, makna moral mahar sebagai simbol perhatian dan cinta pria lebih tinggi dibanding nilai materi yang diberikan. Sebagai lambang kesediaan suami menanggung kebutuhan istri. Sebagaimana hadis Nabi dari Sahl bin Sa’d yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: “Sesungguhnya Nabi Saw Bersabda kepada seorang laki-laki, beri maharnya sekalipun sebentuk cincin dari besi” (H.R al-Bukhari).
Secara sederhana, uang panaik dalam adat pernikahan Bugis-Makassar dapat dipahami sebagai uang pemberian pihak suami kepada pihak istri yang nantinya digunakan untuk pembiayaan pernikahan di rumah mempelai wanita. Walaupun secara syariat, pernikahan tetap sah tanpa adanya uang panaik, tetapi masyarakat Bugis-Makassar mengganggap uang panaik sebagai penentu kelancaran jalannya proses perkawinan. Sehingga, mahar dan uang panaik merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam adat pernikahan mereka. Bahkan jumlah nominal uang panaik lebih besar daripada jumlah nominal mahar.
Besarnya nominal uang panaik dalam adat pernikahan Bugis-Makassar tidak lepas dari pengetahuan lokal (local knowledge) yang ada dalam kebudayaan mereka. Dalam masyarakat Bugis-Makassar, terdapat nilai tradisi yang menjadi pegangan dan watak orang Bugis-Makassar, yaitu sir’na pacce yang berarti rasa malu atau harga diri.
***
Watak ini mengakar kuat dan mempengaruhi budaya uang panaik dalam adat pernikahan mereka. Wanita dalam masyarakat Bugis-Makassar mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati. Sehingga uang panaik diberikan sebagai hadiah mempelai pria kepada calon istrinya untuk membiayai keperluan pernikahan adat.
Besar kecilnya uang panaik yang dipatok, tergantung pada wibawa keluarga mempelai wanita. Semakin tinggi status sosial pihak perempuan, maka semakin besar pula uang panaik yang diberikan oleh pihak suami. Walaupun tingginya uang panaik yang dipatok keluarga wanita, tak jarang berdampak pada batalnya pernikahan atau bahkan terjadinya silariang (kawin lari).
Itu terjadi karena ketidaksanggupan pihak pria memenuhi permintaan dari pihak keluarga wanita. Hal ini jika dikaji berdasarkan antropologi simbolik interpretatif, maka uang panaik merupakan pola dari (model of) masyarakat Bugis-Makassar yang sangat menjujung tinggi nilai siri’ (harga diri) sebagai bentuk perilaku yang mencerminkan status sosialnya.
Bagi pria Bugis-Makassar, tingginya uang panaik memunculkan semangat kerja keras dalam memenuhi persyaratan keluarga wanita yang dicintai. Memenuhi uang panaik dipandang sebagai praktik budaya siri’ (harga diri). Ketika lelaki tersebut tidak mampu memenuhi permintaan keluarga perempuan itu, dia menebus siri’-nya dengan pergi merantau dan kembali setelah mempunyai uang yang disyaratkan. Sehingga, makna yang terkandung dalam uang panaik adalah bentuk penghargaan dan motivasi seorang laki-laki dalam mewujudkan apa yang diinginkan.