Inspiring

Ahmad Syafii Maarif dan Sejarah yang Emansipatoris

6 Mins read

Agaknya, hampir semua warga Indonesia yang melek informasi tahu dengan nama Profesor Ahmad Syafii Maarif, yang akrab dipanggil Buya Syafii. Bagaimana tidak, kiprahnya sebagai cendekiawan Muslim ternama dan pejuang toleransi terkemuka telah lama dikenal publik. Namun, tidak banyak yang mengenal sosok yang lahir pada 31 Mei 1935 ini sebagai seorang sejarawan.

Buku dan artikel Syafii lebih banyak diklasifikasikan ke dalam konteks pemikiran Islam. Gagasan-gagasan Syafii sebagai sejarawan jarang dikupas orang. Padahal, elemen kesejarahan sangat kuat dalam diri Syafii. Ia adalah dosen di Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY, dulu IKIP Yogyakarta) selama berdekade-dekade.

Tulisannya yang hadir secara konstan di Republika penuh dengan narasi historis. Ceramahnya hampir selalu dihiasi contoh dari zaman dulu. Masternya diselesaikan di Departemen Sejarah di Universitas Ohio. Disertasi Syafii di Chicago pun, walau oleh Nurcholish Madjid digolongkan sebagai sebuah sumbangan terhadap gagasan neo-modernisme Islam di Indonesia, sebenarnya juga merupakan tulisan sejarah karena meneliti suatu peristiwa di masa lalu (tepatnya: perdebatan tentang dasar negara di Konstituante, 1956-1959) dengan memakai metode penelitian sejarah.

Dan, jangan lupa, Syafii turut hadir dalam salah satu pertemuan terpenting para sejarawan Indonesia, yakni Seminar Sejarah Nasional II di Yogyakarta pada Agustus 1970, yang dihadiri oleh sejarawan besar seperti Sartono Kartodirdjo, Nugroho Notosusanto, dan Deliar Noer.

Sejarah Sebagai Pemandu Manusia

Nama Syafii tak banyak disebut dalam perdebatan soal bagaimana kita memahami sejarah Indonesia. Bandingkan misalnya dengan nama Sartono Kartodirjo atau Taufik Abdullah. Padahal, Syafii punya posisi lain yang tak kalah signifikan. Ia tak hanya sejarawan akademis, tapi terutama sekali merupakan sejarawan publik. Ia tak cuma berprofesi sebagai dosen Sejarah di UNY, tapi juga penulis prolifik di berbagai media massa sejak 1960an. Ia menjadi jembatan antara teks sejarah yang berat dengan publik luas yang ingin mengetahui sejarah dengan lebih ringan namun tetap relevan dan bermakna dengan dunia sekarang.

Saya membaca tulisan publik paling awal Syafii (yang terbit tahun 1966), serta tulisan-tulisan yang ia hasilkan di masa selanjutnya. Dari sana diketahui Syafii secara kontinu menggarisbawahi bahwa sejarah tidak hanya berperan sebagai ilmu untuk mencari kebenaran tentang peristiwa di masa silam saja, sebagaimana postulat pelopor profesi sejarawan modern, Leopold van Ranke, “wie es eigentlich gewesen” (sejarah sebagai apa yang sebenarnya terjadi).

Bagi Syafii, pemahaman sejarah tidak hanya berguna sebagai penambah perbendaharaan pengetahuan seseorang, tapi lebih dari itu, dapat bermanfaat untuk mengubah cara berpikir suatu masyarakat bahkan bangsa. Sejarah bukan hanya deretan tahun dan tokoh besar, melainkan merupakan pisau analisis, metode berpikir, serta panduan moral dalam merespon berbagai persoalan mutakhir. Syafii memandang bahwa pengetahuan sejarah mestinya bersifat emansipatoris atau membebaskan orang. Membebaskan dari apa? Jawabannya: dari kebodohan, dari pesimisme, dari mengulangi kesalahan para pendahulu, dari pengkultusan terhadap sesama manusia, dan dari kelengahan manusia akan tujuan eksistensinya di atas dunia ini.

Baca Juga  Siti Noordjannah Djohantini, Sang Aktivis Perdamaian Anak
***

Sebagian sejarawan meragukan kemampuan manusia untuk bisa membangun peradaban yang maju. Tak hanya secara fisik tapi terutama sekali secara mental dan spiritual. Dulu, sejarawan-filsuf Perancis Voltaire pernah menyebut bahwa sejarah umat manusia penuh dengan kejahatan dan bencana. Syafii Maarif, dalam sebuah artikelnya, “Quo Vadis Peradaban Islam?,” (2018) mengutip pandangan sejarawan Inggris, Arnold Toynbee, yang mengkritik istilah yang umumnya dilabelkan pada manusia: “Homo sapiens” (artinya: “Si Bijak”). Yang terjadi justru manusia banyak melakukan ketidakbijakan dalam berhubungan dengan sesamanya, yang berwujud penindasan dan kekejaman.

Tapi Syafii berpandangan bahwa masa depan umat manusia adalah cerah. Ia melihat dari perspektif sejarah Islam. Dengan mengingat betapa kaum Muslim pernah membangun sebuah peradaban yang mengesankan dalam sejarah umat manusia, maka seharusnya, tulis Syafii, pada masa kini kaum Muslim mampu melahirkan tipe manusia Homo sapiens ini, yang tak hanya progresif tapi juga arif.

Sejarah bagi Masa Kini dan Masa Depan

Berbeda dengan sebagian orang yang sejak kanak-kanak hingga dewasa tidak menyukai (pelajaran) sejarah, Syafii telah punya minat pada sejarah sejak masih kecil. Semasa kecil di kampungnya di Sumpur Kudus, Suamtra Barat, ia sudah tertarik dengan kisah penyebar Islam di sana, Syekh Ibrahim. Interesnya ini ia wujudkan dengan bertanya dan mengumpulkan informasi tentang kiprah sang syekh. Bibit sebagai seorang pengamat sejarah baru saja terbentuk.

Butuh beberapa dekade sampai Syafii mulai memproduksi narasi sejarahnya sendiri. Di majalah Suara Muhammadiyah, No. 4-5, Th. 38, Februari-Maret 1966 terbit sebuah artikel menarik. Judulnya “Kepentingan Sedjarah bagi Muslimin.” Penulisnya: A. Syafii Maarif, B.A. Ini adalah pernyataan publik pertama Syafii tentang arti penting sejarah dan sejarawan. Di sini ia memberikan pelajaran dasar tentang ilmu sejarah, mulai dari apa itu sejarah, apa saja cakupannya, dan apa itu filsafat sejarah.

Penguasaan literatur Syafii cukup luas. Ia mengurai etimologi kata “sejarah” dari tradisi Barat dan Timur, yang mencakup Yunani, Belanda, Perancis, Jerman, dan Arab, serta definisi tentang sejarah yang dikemukakan sejumlah ahli, salah satunya Ibnu Khaldun, sejarawan Tunisia ternama. Syafii bahkan mengutip salah satu buku klasik tentang ilmu sejarah karangan sejarawan Universitas Columbia, Allan Nevins, The Gateway of History (1938).

Baca Juga  Merawat Pemikiran Ahmad Syafii Maarif
***

Syafii, yang kala itu berusia 31 tahun, percaya bahwa sejarah tidak boleh berhenti pada pencarian kebenaran semata. Sejarah, tulis Syafii, berperan untuk “menolong kita menentukan sikap juga tepat menghadapi masa kini dan untuk menentukan kemungkinan arah masa depan.” Masa lalu adalah bagian dari masa kini dan masa depan. Dengan mempelajari masa lalu, terangnya, orang akan memahami mengapa kondisi mereka sekarang berubah.

Syafii memberi contoh dari sejarah Islam. Peradaban Islam sempat mencapai zaman kejayaannya, yang ditandai oleh pengaruh mondialnya dan kontribusinya pada ilmu pengetahuan. Lalu terjadilah kemunduran drastis di Dunia Islam. Apa sebabnya dan bagaimana mencari tahu sebabnya itu? Jawabannya, kata Syafii, adalah dengan mempelajari sejarah. Ia lalu memberi daftar penyebab kemerosotan itu sepanjang sejarah, yakni kurangnya kesadaran di antara kaum Muslim pada sifat progresif-revolusioner di dalam Islam, konflik internal sesama Muslim, tersebarnya bidah dan khurafat serta diskriminasi Belanda pada kaum Muslim.

Dicari: Sejarawan

Syafii lima dekade silam pernah mengkritik diabaikannya ilmu sejarah dan kurangnya sejarawan, khususnya sejarawan yang fokus pada kajian Islam di Dunia Islam. Kekurangan ini juga tampak di Indonesia. Hanya ada beberapa sejarawan Muslim untuk negara sebesar Indonesia. Syafii mengutarakan beberapa nama sebagai contohnya, antara lain Hamka, M.D. Mansoer, dan Bahrum Rangkuti. Syafii juga mengapresiasi satu ulama-sejarawan kelahiran Kendal, KH Moenawar Chalil. Chalil dikenal sebagai penulis sejumlah buku sejarah Islam, dengan dua judul yang paling terkenal ialah Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab dan Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW.

Di luar negeri, ungkap Syafii, sejarah Islam lebih banyak ditulis oleh pengamat asing, sebut saja Orientalis Skotlandia Sir William Muir dan Arabis Inggris Alfred Guillaume. Keadaan ini menyedihkan bagi Syafii, dan ia menyerukan agar profesi sejarawan kian diperhatikan publik karena sejarah adalah sebuah cabang ilmu yang sangat penting bagi masyarakat. 

Sejarah, Agama, dan Filsafat

Sementara sejarawan lain kerap mengombinasikan ilmu sejarah dengan ilmu sosial dan humaniora, Syafii mempromosikan sejarah dengan pendekatan filsafat dan agama. Gagasan Syafii ini dipengaruhi oleh dua sejarawan besar: Ibnu Khaldun dan sejarawan Italia Benedetto Croce. Kedua nama terakhir ini tidak hanya menulis kronik, tapi, yang lebih penting lagi, menukik ke balik peristiwa dengan membuat abstraksi, konsep, dan penjelasan atas fenomena yang dialami tokoh sejarah dan mengaitkannya dengan pertanyaan-pertanyaan besar manusia. Filsafat, tulis Syafii dalam Islam dan Politik (1996), “menawarkan kekuatan logis kepada sejarah” sementara sejarah “memberikan kekuatan inspiratif dan intuitif kepada filsafat.”

Baca Juga  Serpihan-Serpihan Kisah “Bersama” Buya Syafii

Minat Syafii pada filsafat sejarah diwujudkan di kampus. Di UNY, Syafii mengajar mata kuliah Filsafat Sejarah. Di sini dibahasnya berbagai konsep sejarah, dengan titik berat diberikan pada signifikansi sejarah bagi umat manusia dan elemen-elemen krusial yang berkaitan dengan sejarah (misalnya perihal apa itu “fakta,” “kebenaran,” dan “obyektivitas”). Sasaran akhirnya adalah terbentuknya sejarawan yang pekerjaannya (dan manusia yang kehidupannya) dilandasi oleh akal budi dan pemikiran yang tajam.

Bagi Syafii, filsafat dan agama tidaklah perlu dipertentangkan. Keduanya bermanfaat bagi kemajuan peradaban. Dalam artikelnya tahun 1988, “Rasionalisme Filosofis,” Syafii merujuk satu nama yang dengan baik bisa mempertemukan antara filsafat dan syariat: Ibn Rusyd alias Averroes.

***

Agama, dalam hal ini Islam, memberi warna pada upaya manusia mengenal sejarah. Dalam sebuah makalahnya tahun 2005, “Sejarah sebagai Pelayan Kehidupan,” Syafii menyebut bahwa dunia modern “buram” dan “bopeng” lantaran jauh dari kebajikan. Padahal semestinya sejarah membawa kebijaksanaan pada manusia untuk menimbang baik dan buruk. Ia mengutip Ibnu Khaldun yang menekankan bahwa akar sejarah adalah kearifan. Kearifan inilah yang menentukan eksistensi dan keberlanjutan manusia. Syafii lalu mengutip Surat Al Baqarah ayat 269 (“barang siapa yang diberi al-hikmah berarti telah dikurniai kebajikan yang melimpah”). Artinya, dengan mempelajari sejarah seseorang akan mendapatkan kearifan, yang pada gilirannya akan membawanya lebih baik dalam berpikir dan bertindak.

Tatkala banyak sejarawan menolak masuknya moralitas dalam narasi historis, Syafii justru menilai bahwa sejarawan mesti punya pertimbangan baik buruk dalam meninjau masa silam. Ada dua landasan berpikirnya. Pertama, gagasan filsuf Inggris Henry St. John, 1st Viscount Bolingbroke, bahwa “sejarah adalah ajaran filsafat dengan contoh-contoh.” Kedua, secara personal Syafii yakin inilah yang diserukan Al-Qur’an ketika mendorong manusia supaya belajar tentang nilai kebaikan dan keburukan dari para pendahulunya. Baginya, tidak masalah bila sejarawan mempunyai “filsafat moral tertentu” maupun “pertimbangan moral” sepanjang ia tidak mencampuradukkannya dengan data empiris.

Ia menolak sejarah yang hanya selesai pada dirinya sendiri. Sejarah harus memiliki faedah pula di masa kini dalam membantu manusia memecahkan kompleksitas dunia. Syafii suatu ketika mengibaratkan sejarawan yang terputus dari problematika di dunia nyata sebagai “orang yang sengaja mengurung diri dalam sebuah sangkar alit, mungkin cantik, tetapi apalah maknanya bagi kepentingan kehidupan yang luas tak bertepi ini.”

Editor: Yahya FR
Avatar
4 posts

About author
Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *