Perspektif

Penduduk Asli Digital dan Pendatang

4 Mins read

Dalam perkembangan sejarah manusia, masyarakat selalu terbagi dalam dua kelompok yaitu penduduk asli dan pendatang. Pertemuan kedua kelompok ini seringkali dinilai rawan akan timbulnya kesalahpahaman dan konflik, seperti perasaan terancam akan hilangnya sumberdaya atau hilangnya ruang kenyamanan. Namun, perjumpaan keduanya juga dapat berujung pada kolaborasi konstruktif yang menghasilkan kohesivitas sosial. Begitu pula di era canggih saat ini, dikotomi penduduk terbentuk berdasarkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam beradaptasi dengan teknologi dan digitalisasi. Pembagian kelompok ini dikenal dengan penduduk asli digital dan pendatang.

Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan perbedaan kelompok asli digital dan pendatang serta bagaimana praktik dan nilai-nilai di masyarakat berkembang pada kedua kelompok ini. Artikel ini pertama-tama akan merujuk pada teori Prensky yang merupakan assabiqunal awwalun dalam memperkenalkan istilah penduduk asli digital dan pendatang atau yang ia sebut digital native dan immigrant. Artikel ini juga akan membandingkan argumen Zul dan Walker yang mengkategorikan penduduk asli dan digital yang berbeda dari Prensky.

Generasi Baby Boomers Sebagai Penduduk Pendatang

Perkembangan digital yang melaju kencang tidak dapat secara otomatis membuat seluruh masyarakat beradaptasi dan menggunakannya. Terdapat kelompok masyarakat yang menganggap teknologi dan digitalisasi sebagai “benda asing” dan sulit untuk diterima. Kelompok ini dikenal dengan sebutan “penduduk digital pendatang” atau digital immigrant yang pada umumnya terdapat pada generasi yang lahir sebelum tahun 1964 (Prensky 2001).

Secara berbeda, Zur dan Walker (2015) berargumen bahwa tidak semua baby boomers menolak mentah-mentah penggunaan teknologi. Mereka sebenarnya merupakan kelompok yang sangat beragam dalam menyikapi dan meningkatkan kapasitas mereka dalam merespon teknologi digital. Sebagian bahkan tampak berupaya untuk mencoba memahami dan menggunakan teknologi guna mempermudah aktivitasnya. Zur dan Walker kemudian membagi pengguna digital dalam 3 kategori penduduk pendatang  yaitu avoiders (kelompok penghindar), reluctant adopters (pengguna ragu-ragu), enthusiastic adopters (pengguna antusias).

Baca Juga  Kerja Sama dengan Evermos, Muhammadiyah Masuk ke Bisnis Digital

Avoiders merupakan kelompok yang paling gagap teknologi (gaptek)yang tidak melihat adanya manfaat dalam penggunaaan teknologi digital. Mereka lebih menyukai gaya hidup yang relatif bebas dari teknologi atau meminimalisir interaksi dengan teknologi. Sedangkan kelompok reluctant adopters menilai teknologi sebagai bagian dari perkembangan zaman sehingga mereka mencoba untuk terlibat di dalamnya meskipun merasa asing dan tidak intuitif. Kelompok ini memilih berhati-hati dan tentatif terhadap teknologi digital serta memiliki rasa penasaran yang rendah.

Berlawanan dengan kedua kelompok sebelumnya, enthusiastic adopters merupakan kelompok yang memiliki potensi untuk bersaing dengan penduduk asli, karena kemudahan akses, kapasitas, dan minat mereka dalam menggunakan teknologi. Mereka mungkin eksekutif teknologi, programmer, pelaku bisnis yang merangkul teknologi dan menenggelamkan diri dalam budaya Internet. Kelompok ini sangat sedikit, mereka berasal dari varietas Bill Gates atau Steve Jobs yang memiliki keahlian tinggi meskipun status mereka sebagai penduduk pendatang. Kelompok ini menggunakan hampir semua platform digital dan media sosial memeriksa email secara teratur, dan bersemangat tentang gadget baru dan perkembangan teknologi.

Generasi X dan Z Sebagai Penduduk Asli Digital 

Secara umum, peduduk asli digital disematkan pada orang yang lahir di era digital, yaitu, Generasi X atau yang lebih muda. Grup ini juga disebut sebagai “iGeneration” dan digambarkan terlahir dengan “DNA digital”. Secara hiperbolis, penduduk asli digital dianggap berkomunikasi dengan Bahasa digital, bernafas dengan udara komputer dan mempraktikkan budaya web tempat mereka dilahirkan (Prensky 2001). Namun, seperti halnya penduduk pendatang, penduduk asli digital juga beragam dalam hal perilaku dan kapasitasnya dalam penggunaan teknologi digital.

Menurut Zur dan Walker (2015) beragam ketegori pada penduduk pendatang dunia digital juga terdapat pada penduduk asli digital. Kelompok penduduk asli ini juga terbagi dalam kelompok avoiders, minimalist, dan enthusiastic participant. Pengelompokan ini secara langsung telah membantah teori Prensky yang membedakan kategori penduduk berdasarkan periodesasi tahun lahir. Zul dan Walker mengembangkan dikotomi berdasarkan adaptasi dan sikap dalam menggunakan teknologi.

Baca Juga  Rilis Logo Hari Santri 2023, Menag: Bangun Kejayaan Negeri dengan Jihad Intelektual
***

Avoiders pada kelompok penduduk asli dinilai sebagai anak muda yang meskipun lahir di era digital, mereka tidak merasakan ketertarikan terhadap teknologi digital dan tidak terpikat pada platform online dan medsos. Mereka berjumlah sangat sedikit dan bahkan mungkin tidak memiliki akses internet di rumah. Mereka memilih untuk menggunakan telepon jadul yang digunakan hanya untuk menelepon. Sedikit berbeda dengan avoiders, kelompok minimalist merupakan mereka yang menyadari teknologi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari tetapi berusaha untuk terlibat secara minimal dan hanya saat perlu. Mereka menggunakan informasi online dan medsos sesekali bukan karena keinginan atau penasaran tapi karena kebutuhan mendesak.

Jumlah penduduk asli digital didominasi oleh kelompok enthusiastic participant. Mereka tumbuh dan berkembang dengan teknologi dan gadget, berinteraksi di Facebook, Twitter, Instagram dan menonton Youtube sepanjang hari atau sebanyak mungkin. Mereka mengandalkan pelbagai platform online termasuk Google ketika mereka ingin mengetahui sesuatu. Mereka terhubung pada semua akses komunikasi online setiap saat dan secara konstan mengakses Web. Bagi kelompok enthusiastic participant, jalur birokrasi, dokumen dan formalitas dianggap tidak masuk akal. Mereka menuntut kecepatan dan simplisitas.

Penduduk Asli Digital dan Resiko yang Dihadapi

Dalam konteks sosial, kelompok enthusiastic participant memandang relasi masyarakat dengan sangat cair dan egaliter. Garis kepatutan antara orang-orang dari pelbagai usia, status sosial dan posisi kekuasaan hampir tidak ada dalam pikiran penduduk asli ini. Namun demikian, nilai ini seringkali dianggap bertabrakan dengan norma kemasyarakatan yang ada. Sisi lainnya dari kelompok ini adalah mereka sangat mudah menjadi incaran penipuan dan penyalahgunaan penggunaan teknologi digital. Menurut media online India, Deccan Chronicle (2017), kelompok millennial dinilai paling rentan menjadi korban penipuan secara digital. Diseluruh dunia, 40 persen penduduk asli digital pernah menjadi korban penipuan. Bahkan di india persentase korban penipuan pada kelompok ini mencapai 55%.

Baca Juga  Muchlas Rowi: Muhammadiyah Harus Rebut Narasi Digital

Penyebab tingginya kelompok milenial menjadi korban penipuan digital salah satunya adalah karena mereka cenderung mengekspos diri pada interaksi online yang berisiko. 60% penduduk asli digital bersedia menjawab pertanyaan survei, 43% bersedia untuk menginstal aplikasi pihak ketiga, 25% menyediakan akses data pribadi saat online, dan 24 persen mematikan perangkat lunak keamanan mereka untuk mendapatkan akses ke publik gratis Wifi (Beckingham 2019). Berbeda dengan penduduk pendatang yang sangat hati-hati, penduduk asli digital sangat rentan atas potensi penipuan. Sikap lengah ini membuat mereka mudah menjadi korban alih-alih mendapatkan manfaat dari teknologi digital yang mereka gunakan.

Akhir kata, pada kategori manakah anda ingin mengelompokkan diri anda? Berdasarkan Prensky yaitu generasi milenial atau generasi baby boomers, ataukah berdasarkan Zul dan Walker, yaitu generasi adaptif atau generasi gaptek? Pilihannya berada di tangan anda sendiri.

Editor: Yahya FR
Avatar
5 posts

About author
Ketua Umum PCIM Tiongkok I Dosen Fakultas Teknologi Industri UAD I Kandidat Ph.D, Hohai University, China I
Articles
Related posts
Perspektif

Bayang-Bayang Seni Kiai Dahlan di Muhammadiyah

3 Mins read
Belum lama ini kita dihebohkan dengan perdebatan seputar hukum musik dalam Islam. Sebenarnya persoalan ini adalah khilafiyah. Karenanya tulisan sederhana ini tidak…
Perspektif

Kurikulum Merdeka adalah Kunci Kemajuan Pendidikan Masa Kini

4 Mins read
Hari Pendidikan Nasional Tanggal 2 Mei (HARDIKNAS) merupakan momentum bagi setiap insan pendidikan untuk memperingati kelahiran pelopor Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara….
Perspektif

Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

2 Mins read
“Tunisia dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan”, tetapi sebaliknya “Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tapi jauh secara Kebudayaan”…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *