Istilah Pancasila sebagai konsep Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah (negara perjanjian dan persaksian) yang diusung oleh Muhammadiyah tidak begitu populer di kalangan kader Muhammadiyah sendiri, khususnya di tingkat ortom (organisasi otonom). Istilah tersebut masih kalah populer dengan istilah Islam berkemajuan. Din Syamsudin menghidupkan istilah itu kembali saat menjabat sebagai ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Warga Muhammadiyah sendiri lebih populer dengan istilah gerakan anti TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat) yang sampai hari ini masih menggema. Maka dari itu, perlu istilah dan konsep Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah dipopulerkan kembali khususnya kepada warga Muhammadiyah.
Beberapa bulan yang lalu, konsep Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah sudah menjadi tema diskusi dalam seminar pra muktamar Muhammadiyah. Kemudian, “Syiar Ramadhan” yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang juga menjadikan konsep tersebut sebagai tema pengajian untuk dosen dan karyawan.
Mengapa Harus Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah?
Sejak kelahirannya, Muhammadiyah telah mengalami dinamika yang panjang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di era reformasi, rumusan “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua” menyebutkan bahwa Muhammadiyah menjadi pilar penting masyarakat madani (civil society). Muhammadiyah juga memelopori era baru Indonesia yang demokratis, berwawasan nusantara, menjunjung hak asasi manusia, serta bersikap kritis dan responsif terhadap pemerintah sesuai dengan kepribadian Muhammadiyah. Pandangan tersebut merupakan bukti komitmen Muhammadiyah dalam berbangsa dan bernegara, serta konsistensi dalam mengintegrasikan keislaman dan keindonesiaan.
Komitmen tersebut diejawantahkan ke dalam konsep Negara Pancasila sebagai Dar al-‘Ahdi Wa al-Syahadah. Maknanya yakni negara Pancasila berdasarkan kesepakatan dan kesaksian (pembuktian). Muhammadiyah berpandangan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaaan yang luhur dan sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, Pancasila adalah hasil rumusan yang Islami dan bermuatan nilai-nilai ketauhidan serta kemanusiaan, hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan kemakmuran.
Negara Pancasila sebagai Dar al-‘Ahdi (sebuah kesepakatan) adalah sebuah konsep yang mengakui bahwa eksistensi Negara Republik Indonesia dengan dasar negara Pancasila merupakan kesepakatan seluruh elemen bangsa, bahasa, dan latar belakang agama. Maka, Muhammadiyah memandang bahwa Pancasila merupakan ideologi negara yang final, yang tidak perlu diperdebatkan lagi atau diganti dengan ideologi lain.
Sedangkan, makna dari Dar al-Syahadah (kesaksian atau pembuktian), Muhammadiyah mengajak seluruh masyarakat Indonesia, terlebih umat Islam untuk membangun kehidupan bangsa. Muhammadiyah mendorong adanya persaingan yang sehat dalam mengisi dan memajukan kehidupan bangsa dengan segenap kreasi dan inovasi tebaik yang dimiliki masing-masing pihak. Persaingan yang sehat dimaknai sebagai prinsip fastabiq al-khairat.
Alasan Muhammadiyah Memproklamasikan Gagasan Mengenai Negara Pancasila Sebagai Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah
Menurut Hasnan, seorang aktivis muda Muhammadiyah, dalam jurnalnya yang diterbitkan oleh Maarif Institute, ia mengemukakan beberapa alasan mengapa Muhammadiyah memproklamasikan gagasan mengenai Negara Pancasila sebagai Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah.
Pertama, sebagai pedoman yang dijadikan rujukan pemikiran dan aksi bagi warga Muhammadiyah dalam berbangsa dan bernegara. Kedua, sebagai benteng ideologis, tentunya gagasan ini sebagai benteng ideologi bagi Muhammadiyah dari ideologi lainnya. Ketiga, sebagai penghubung politis antara persyarikatan dan negara. Keempat, gagasan ini merupakan manifesto intelektual dan politik dari Muhammadiyah.
Bagaimana Membumikan Konsep Pancasila Sebagai Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah?
Terdapat beberapa langkah yang bisa ditempuh oleh Muhammadiyah. Pertama, memasukkan materi konsep Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah ke dalam kurikulum pendidikan Muhammadiyah, dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Di tingkat sekolah, misalnya pada mata pelajaran kemuhammadiyahan bisa ditambahkan wacana tersebut ke dalam materinya. Harapan ke depannya yakni agar para murid mampu menanamkan jiwa keislamannya dan kenegaraannya. Langkah ini sebagaimana memasukkan materi Muhammadiyah sebagai gerakan anti TBC yang berhasil mengikat pemahaman hingga memengaruhi sikap keberagamaan saya sampai sekarang.
Selain itu, materi konsep Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah juga perlu diinstall ke dalam kurikulum PTMA (Perguran Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah). Materi tersebut dapat dimasukkan ke dalam mata kuliah PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) dan AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan).
Kedua, memasukkan ke dalam kurikulum pengkaderan, baik di ortom (organisasi otonom) maupun di Muhammadiyah sendiri. Sebagai kader yang pernah aktif di IPM dan IMM, saya belum pernah mendapat materi tentang Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah selama mengikuti pengkaderan tersebut. Selain itu, tema ini juga jarang sekali muncul di mimbar-mimbar diskusi di tingkat aktivis mahasiswa ketika membicarakan persoalan kebangsaan.
Ketiga, memperbanyak literasi mengenai tema Dar al-‘Ahdi Wa al-Shahadah di berbagai forum ilmiah. Forum tersebut dapat berupa seminar, pengajian, khutbah Jumat. Selain itu, dapat juga dilakukan melalui karya tulis, seperti jurnal, artikel, esai, baik cetak maupun digital. Dengan demikian, istilah ini tidak hanya populer di internal warga Muhammadiyah, tetapi juga tersyiar keluar, baik di dunia akademisi maupun non akademisi.
Selebihnya mungkin bisa dikembangkan lebih jauh lagi. Dapat dilakukan dengan cara-cara yang lebih kreatif dan kultural. Harapannya, kader Muhammadiyah dapat menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna amanah yang selalu berkomitmen menjaga bangsa dan negara dalam bingkai keislaman.
Editor: Lely N