Pada masa sebelum abad ke-14, bangsa Eropa mengalami masa suram yang disebut sebagai The Dark Age atau zaman kegelapan, sebelum kemudian menuju Renaissance. The Dark Age adalah zaman di mana segala bentuk kebebasan berkarya, berpendapat serta kreatifitas lainnya tidak memiliki tempat di zaman itu.
Penulis hendak berefleksi dari maksud gerakan Renaissance atau kelahiran kembali dengan kondisi kenegaraan saat ini. Bebas berpendapat adalah hak, dan ia dijamin oleh konstitusi dan demokrasi. Mengkritik bukan karena membenci, tapi kita cinta negara dan bangsa dengan paham kritik membangun.
Mengingat Kembali Renaissance
Renaissance adalah sebuah gerakan budaya yang sangat mempengaruhi kehidupan intelektual Eropa pada periode modern awal. Bermula di Italia lalu menyebar ke seluruh Eropa pada abad ke-14 sampai abad ke-16. Pengaruh Renaissance dirasakan dalam sastra, filsafat, seni, musik, politik, ilmu pengetahuan, agama dan aspek lain di bidang intelektual. (Wikipedia).
Makna Renaissance berasal dari bahasa Prancis, re berarti kembali dan sance berarti kelahiran. Secara epistemologi Renaissance adalah kelahiran kembali, yang berlanjut dari gerakan humanisme pada masa Yunani Romawi Kuno. Hadirnya Renaissance sebagai masa pencerahan yang mana kebebasan berpikir, berpendapat, dan berkarya didapatkan karena kesadaran akan kungkungan dan dogma-dogma agama pada saat itu.
Renaissance menjadi indikator gerakan menuju peradaban manusia yang kreatif dan mendapatkan kembali intelektualitas serta menjadi manusia yang bebas. Maka dari itu, musuh pada masa The Dark Age adalah antara penguasa dan kaum intelektual.
Renaissance dan Indonesia
Jika Eropa untuk keluar dari zaman kegelapan dikatakan sebagai Renaissance, maka di Indonesia dapat diartikan dengan Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 dengan menjatuhkan rezim Presiden Soeharto.
Akan tetapi, kita semua tidak menginginkan reformasi yang sebelumnya terjadi kembali di era saat ini. Sebab, hal tersebut akan membuat bangsa menjadi sebuah sekatan yang tidak bertepi. Selalu akan ada kekisruhan antar kelas, antara penguasa dan rakyatnya, dan itu tidak kita inginkan sekarang. Hal yang kita inginkan adalah bersatu dan bersama menuju keberadaban bangsa dan negara.
Hal demikian pun bisa saja terjadi, ketika negara dan pelaksana negara tidak mampu mengembalikan makna UUD 1945 Pasal 28E ayat (3); Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Dari bunyi pasal di atas, negara harus memberikan kebebasan pada rakyat untuk bebas berpendapat baik itu kritik atau lainnya, selagi dalam koridor UUD yang berlaku.
Renaissance bisa kembali terjadi di Indonesia jika pemaknaan kritik sama dengan pencemaran nama baik penguasa dan terjadi pembenaran atas dasar kekuasaan. Apabila ia terjadi, itu bahaya besar untuk demokrasi negara sekarang. Dalam konteks ini, negara perlu memberikan kebebasan yang tidak harus dikungkung oleh dogma-dogma apapun.
Kebebasan Berpendapat Hilang?
Kini, banyak sekali orang menyampaikan pendapat ditangkap oleh aparat dengan alasan yang terkadang sangat tidak rasional dengan kebebasan yang dimiliki. Seolah otonomi manusia tidak lagi memiliki arti apapun tentang kebebasan beraspirasi.
Alasan yang menjadi tren pelanggaran sekarang adalah pencemaran nama baik yang merujuk Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi dari sudut pandang mana kritik sama dengan pencemaran nama baik, seperti yang sekarang terjadi?
Demokrasi dan konstitusi menjamin kebebasan tersebut. Oleh sebab itu, berikanlah kebebasan berpikir, berpendapat dan berkarya yang lebih terhadap rakyat. Dalam upaya masyarakat beraspirasi, jangan sampai dikungkung oleh kekuasaan.
Untuk menghindari hal-hal demikian atas nama aturan yang bisa dibilang aturan karet, maka negara harus mengembalikan makna demokrasi yang sebenarnya kepada rakyat. Agar tidak terjadi ketergantungan pemerintah terhadap sistem yang tidak sesuai dengan demokrasi.
Langkah yang Perlu Diambil
Pertanyaan sekarang adalah, negara harus apa, dan bagaimana dengan kondisi kebebasan berpendapatan?
Sistem dan undang-undang harus merujuk pada perlindungan kepada hak semua orang. Tetapi saat ini, sistem dijadikan perlindungan untuk penguasa yang bersifat anti kritik, itu adalah hal yang sangat konyol bagi penulis. Kebebasan berpendapat rakyat jangan sampai dipandang sebagai suatu yang provokatif, tetapi pemerintah perlu menjadikannya sebagai otokritik bagi dirinya. Sikap anti kritik pemerintah yang ada ini membuat kita seolah sedang berproses kembali ke masa kelam.
Oleh karena itu, kita semua pun tidak menginginkan gerakan-gerakan lama yang kelam terjadi kembali. Negara harus hadir dalam kehidupan rakyatnya. Makna dari Renaissance dalam tulisan ini penulis maknai sebagai otokritik bagi pemerintah untuk bisa memberikan kebebasan yang hakiki kepada rakyatnya.
Undang-Undang dan Kebebasan Berpendapat
Dalam Undang-Undang Dasar No. 39 Tahun 1999 pasal 23 ayat 2 berbunyi : Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Negara perlu menjadikan undang-undang sebagai pelindung bagi warganya, serta negara harus menjamin kebebasan berpendapat dalam diri rakyatnya. Fenomena Renaissance harus dijadikan sebagai alat pembelajaran bagi pemerintah untuk bisa lebih merangkul kaum intelektual dalam agenda pembangunan. Jangan sampai menyepelekan kehadiran kaum intelektual hanya untuk kepentingan internal pelaksana negara, dan itu sangat berbahaya dalam kontestasi demokrasi.
Renaissance pula harus menjadi patokan pemerintah atau negara sebagai refleksi suatu gerakan intelektual pada saat itu yang disebabkan karena kebebasan berpikir, berpendapat dan berkarya tidak memiliki tempat kala itu. Pemerintah pula jangan memaknai kritikan sebagai kegagalan dan lalu mengkriminalisasi orang yang beraspirasi.
***
Akhir dari itu semua, rakyat harus berpikir dengan kesadaran kritis dalam mengawal kinerja pemerintah. Menjadikan hak dan kebebasan berpendapat harus pada tempat yang sebenarnya. Oleh karenanya, hak dan kebebasan berpikir, berpendapat dan berkarya tetap harus pada norma yang berlaku, sehingga tidak menimbulkan bias dalam setiap kontestasi berbangsa dan bernegara.
Marilah membangun tanpa menjatuhkan.
Editor : Shidqi Mukhtasor