Perspektif

Pembatalan Ibadah Haji: Pil Pahit Berbuah Manis

4 Mins read

Banyak pihak yang kecewa dengan Pembatalan Ibadah Haji 1441H. Khususnya, bagi para jamaah yang sudah sekian lama menunggu antrian, keputusan tersebut tentu tidak menggembirakan. Namun, dalam rangka menjaga kebaikan bersama, keputusan tersebut harus diambil oleh pemerintah dan wajib bagi kita mentaati keputusan itu dengan ikhlas. 

Keputusan Menteri Agama (KMA) No 494/2020M tentang Pembatalan Keberangkatan Jamaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441H/2020M, memutuskan bahwa, penyelenggaraan ibadah haji 1441 H /2020M dibatalkan.

Kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan ibadah haji tahun ini terhalang oleh bencana nonalam yaitu wabah Covid-19. Dalam hal ini terjadi force majeur, sehingga pemerintah mengambil keputusan tersebut dalam rangka mengutamakan keselamatan Jemaah di tengah pandemi Corona.

Langkah strategis itu diambil oleh pemerintah karena hingga saat ini Arab Saudi belum membuka akses layanan penyelenggaraan ibadah haji 1441 H/2020M, sehingga pemerintah tidak mencukupi banyak waktu untuk melakukan berbagai persiapan untuk pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jamaah.

Keputusan Tepat

Keputusan pemerintah untuk membatalkan ibadah haji 1441H/2020M merupakan kebijakan yang sangat tepat. Mengapa demikian? Karena, penyelenggaraan ibadah haji di era wabah apabila dipaksakan akan sangat mahal. Pertama, karena dengan PSBB, ada kewajiban melakukan karantina 14 hari sebelum keberangkatan dan saat kedatangan, sehingga waktu ibadah haji menjadi bertambah 28 hari, dari 40 hari yang sudah biasa dilakukan. Kedua, pesawat hanya diisi 50% dari daya angkut sehingga ongkos perjalanan menjadi sangat mahal. Dengan, kuota jamaah haji Indonesia tahun 1441H/2020M sebanyak 231 ribu jamaah baik jamaah dengan kuota haji pemerintah, jamaah regular maupun khusus termasuk bervisa haji mujamalah atau furada, akan membutuhkan berapa kloter, masya Allah.

Ketiga, saat diembarkasi/debarkasi, penginapan (maktab) dan perjalan dalam dan antar kota hanya diisi 50% dari yang sudah dilakukan selama ini. Hal itu tentu akan sangat sulit sekali untuk dilakukan.

Baca Juga  Repetisi Ayat dalam Al-Qur’an (2): Rahasia dan Hikmah Pengulangan Ayat

Keempat, akan sulit sekali menerapkan social distancing saat ibadah lima waktu di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi, thawaf, sa’i, mabit, dan lempar jumrah karena 1,3 juta orang berkumpul untuk melaksanakan ibadah secara bersamaan. Bila hal itu dipaksakan akan terjadi tragedy kemanusiaan yang memakan korban sangat banyak.

Sejarah mencatat bahwa pelaksanaan ibadah haji saat pandemi di masa lalu, telah mengakibatkan tragedi kemanusiaan di mana puluhan ribu Jemaah haji dari berbagai belahan dunia menjadi korban. Tahun 1814 terjadi wabah Thaun, tahun 1837 dan 1858 terjadi wabah epidemic, 1892 wabah kolera, 1987 wabah minginitis. Tahun 1947 juga penghentian ibadah haji karena masa perang

Kelima, jumlah pendamping, dokter, dan petugas haji harus dua kali lipat lebih besar dibandingkan ibadah haji sebelumnya. Apalagi jumlah jamaah haji dari Indonesia relatif banyak jumlah jamaah yang sudah tua. Amanah undang-udang, selain mampu secara ekonomi dan fisik, kesehatan, keselamatan, dan keamanan Jamaah haji harus diutamakam. Islam telah mengarahkan bahwa, menjaga jiwa (hifzhun nufus) adalah kewajiban yang harus diutamakan.

Keenam, biaya manasik yang harus dilakukan juga menjadi mahal, karena tidak boleh dilakukan secara klasikal yang diikuti oleh calon jamaah dalam jumlah yang besar.

Pahit tetapi Sehat

Keputusan ini tentu pahit. Laksana minum jamu, meskipun pahit, tetapi sangat bermanfaat bagi kesehatan. Begitu juga pembatalan ibadah haji 1441H/2020M, seperti menelan pil pahit, akan tetapi diyakini berimplikasi positif pagi kesehatan kita semua.  

Kita semua harus simpati kepada seluruh jamaah haji yang telah sabar, ikhlas, dan tawakal dalam menghadapi pandemi Covid-19, sehingga ibadah haji mereka ditangguhkan hingga tahun depan.

Semoga seluruh jamaah yang ditangguhkan hingga tahun depan sudah tercatat niat baiknya dan mendapat pahala yang tidak kurang dari pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Allahumma aamiin.

Sabar, ikhlas, dan tawakal adalah bagian dari ibadah haji. Seluruh calon jamaah yang dapat menerima dengan lapang dada tentu sudah dapat dikatakan telah lulus dari ujian pertama. Semoga akan lulus pada ujian-ujian berikutnya yang jauh lebih berat, sehingga layak disematkan haji mabrur pada dirinya.

Baca Juga  Perlukah kita panik menghadapi COVID-19?

Makna dan Ciri Haji Mabrur

Banyak sekali definisi dan ciri haji yang mabrur. Pertama, haji yang tidak tercampuri kemaksiatan, dijalankan dengan penuh ketaatan sehingga tidak tercampur dengan dosa.

Kedua, haji yang mabrur adalah yang haji yang makbul (diterima) dan dibalas dengan al-birr (kebaikan) yaitu pahala. Sepulang haji kembali menjadi lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulangi perbuatan maksiat.

Ketiga, haji yang mabrur adalah haji yang tidak ada riya’ serta tidak diiringi kemaksiatan. Predikat mabrur adalah hak prerogratif Allah SWT untuk disematkan kepada hambanya yang dikehendaki-Nya.

Keempat, ciri-ciri haji mabrur yaitu: memberikan kedamaian untuk orang-orang di sekelilingnya, santun dalam berbicara, memiliki kepedulian sosial yang ditandai salah satunya memberikan makakan kepada yang membutuhkan, dan menghindari hal-hal yang tidak senonoh, maksiat serta selalu membersihkan pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Balasan bagi haji mabrur bukan hanya terhapusnya dosanya, tetapi jaminan dimasukkan surganya allah SWT. “Tidak ada balasan (yang pantas diberikan) bagi haji mabrur kecuali surga.” (HR. Bukhari).

Ada juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, “Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian.”  

Sesuatu yang Ada di Balik Sesuatu

Hikmah penundaan ibadah haji 1441H tentu tentu menjadi rahasia Allah SWT. Tetapi ada beberapa manfaat yang dapat digali. Pertama,  bahwa dengan gagal berangkat insya Allah seluruh jamaah haji dapat terhindar dari Covid-19. Semoga, masih diberi umur panjang sehingga pada tahun 1442H/2021M diberikan kesehatan.

Kedua, dengan berangkat pada tahun depan, tentu tingkat kekhusu’an akan lebih tinggi dibandingkan tahun ini, karena diharapkan pada tahun depan sudah tidak ada kekhawatiran akan terpapar wabah.

Baca Juga  Blessing in Disguise, Hikmah Peniadaan Haji di Indonesia

Ketiga, semoga seluruh jamaah calon haji dapat istiqamah dalam menjaga berbagai amalan sudah dilakukan selama ini. Seluruh amalan shalat malam, tadarus, dzikir, zakat, infaq, dan shadaqah jariah tetap dapat terjaga.

Keempat, berbagai bacaan doa dalam ibadah haji dapat lebih lancar dalam melafalkannya. Seluruh wajib, rukun dan Sunnah dapat dipelajari dan dipraktikkan melalui manasik yang dapat dilakukan setelah pandemi berlalu. 

Kelima, masih ada waktu untuk melakukan muhasabah dan memperbaiki diri dalam beribadah. Seluruh aktivitas ibadah dalam rangka meningkatkan kadar keimanan juga dapat terus dilakukan.

Keenam, dengan adanya penundaan ini tentu, persiapan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji bisa dilakukan dengan lebih matang. Berbagai kelemahan pelayanan pelaksanaan haji tahun-tahun sebelumnya mulai dari pemberangkatan, pemondokan, jarak pemondokan dengan masjid, pemberian menu makanan, dan pemulangan dapat diperbaiki secara maksimal.

Semoga, pembatalan ibadah haji 1441H/2020M yang pada awalnya laksana menelan pil pahit, tetapi dikemudian hari diharapkan dapat berbuah manis dalam bentuk kesehatan dan maslalah lainnya. Insya Allah

Editor : Wulan

Avatar
13 posts

About author
Pegiat Ekonomi Syariah, alumni PPs UIN Raden Intan Lampung, Pesma Baitul Hikmah Surabaya, S3 Ilmu Sosial Unair, & S3 Manajemen SDM UPI YAI Jakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *