Perspektif

Qadar dan Sunnatullah dalam Wabah Covid-19

3 Mins read

Takdir yang telah Allah tetapkan kepada makhluknya, jangan hanya dilihat sebagai suatu peristiwa yang sudah ditetapkan sejak zaman azali, zaman sebelum adanya segala sesuatu. Yang perlu dipahami terkait dengan masalah qadar Allah, takdir adalah ketika Allah menciptakan makhluknya dan segala sesuatu selalu diiringi dengan ketetapan qadar. Atau ukuran-ukuran terhadap sesuatu itu.

Sehingga, yang ditetapkan Allah itu bukan kejadian per kejadian atau peristiwa per peristiwa. Tetapi misalnya, munculnya pandemi Covid-19 menjelang akhir tahun 2019 hingga 2020 ini. Ia banyak dipahami oleh masyarakat bahwa Allah telah menetapkan, merancang, dan mendesain ketika pada tahun itu akan terjadi pandemi wabah Covid-19. Namun setelah dipahami berdasarkan dalil-dalil naqli, yakni Al-Quran dan hadits Nabi, serta penemuan-penemuan di dalam dunia ilmiah (science).

Qadar dan Hukum Kausalitas

Maka yang tepat dalam memahami, adalah Allah memang telah berkehendak menetapkan segala peristiwa atau kejadian. Tetapi semua ketetapan Allah itu disertai dengan qadar, ada ukuran-ukuran. Sebagaimana disebutkan Allah dalam firmannya berikut ini:

[54:49] – إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”

Dan dalam ayat lain disebutkan:

[13:8] – وَكُلُّ شَيْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ

Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.”

[25:2] – الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”

Dalam ayat ini, kata taqdiron merupakan maf’ul mutlaq, yang bermakna kesungguhan atau benar-benar Allah menetapkan ukuran itu dengan baik dan benar. Ukuran-ukuran itu tersimpan di sisi Allah SWT. Dalam sebuah kitab di lauhul mahfudz. Jadi qadar itu adalah ukuran yang bersifat eksak, diberikan Allah kepada makhluk ciptaannya yang dikaitkan dengan hukum kausalitas atau sebab-akibat.

Baca Juga  Kemasan Ghibah yang Berubah

Hukum kausalitas itu adalah di mana ketika suatu makhluk tertentu dengan ukurannya, bertemu dengan makhluk yang lain dengan ukurannya pula. Maka, niscaya akan menimbulkan peristiwa baru atau kualitas baru. Jadi qadar itu bendanya atau makhluknya, sementara takdir adalah pemberian ukuran yang bersifat eksak oleh Allah SWT. Kepada makhluk ciptaannya yang dikaitkan dengan hukum kausalitas.

Status Manusia Terhadap Takdir

Adapun status manusia terhadap takdir terbagi menjadi dua, yakni:

1. Manusia sebagai musayyar, statusnya makhluk yang sama dengan makhluk lainnya. Misalnya hewan tumbuhan, makhluk angkasa, dan lain-lain. Yaitu tidak bisa atau tidak memiliki kebebasan untuk ikut menentukan qadar, atau ukuran-ukuran yang ditetapkan Allah dalam penciptaan makhluk itu. Makna dari ukuran bisa juga aturan, hukum, pola-pola, ciri-ciri, karakter, spesifikasi, standarisasi. Sebagaimana firmannya,

[28:68] – وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).

2. Manusia sebagai mukhoyyad, statusnya berbeda dengan makhluk yang lain, memiliki keistimewaan tersendiri. Manusia dalam hal ini memiliki kebebasan untuk memilih qadar atau ukuran-ukuran. Apakah memilih qadar yang baik atau yang buruk. Sebagaimana firmannya,

[13:11] – إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ 

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Takdir dan qadar diatas kita, hubungan dengan sunnatullah yang di dalamnya ada hukum kausalitas atau sebab akibat. Adapun ciri-ciri sunnatullah adalah:

Baca Juga  Amerika dalam Pusaran Konflik Israel-Palestina

Ciri-Ciri Sunnatullah

Bersifat objektif. Artinya, interaksi antar makhluk Allah dan hukum Allah akan menimpa siapa saja tanpa pandang bulu. Jika manusia memilih qadar yang tidak baik maka akibatnya pun akan buruk. Begitu sebaliknya ketika manusia memilih qadar yang baik, maka ia akan mendapatkan yang baik pula. Sebagaimana firmannya,

[11:15] – مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.

Bersifat eksak atau pasti. Artinya, jika makhluk tertentu berinteraksi dengan makhluk lainnya dengan ukuran tertentu, maka akan terjadi kualitas baru. Misalnya dalam Covid-19. Jika tidak mengindahkan protokol kesehatan terkesan remeh, acuh tak acuh maka ia berpotensi terjangkit virus.

Bersifat konstan atau ajek. Artinya tidak berubah, kecuali Allah yang mengubahnya. Sebagaimana firmanNya,

[35:43] – فَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْدِيلًا ۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلًا

Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.

Bersifat otonom. Artinya, seluruh apa yang diciptakkan Allah dengan sengaja dibiarkan untuk berinteraksi sendiri garau bergerak sendiri. Tetapi, tetap dalam pengawasan dan campur tangan Allah yang Maha Hidup. Misalnya, ada peristiwa mukjizat atau doa-doa hambanya.

Dari penjelasan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa takdir itu bagian dari qadar Allah. Adapun wabah Covid-19 ini adalah sebuah sunnatullah, bukan suatu ketetapan sejak zaman azali. Yakni ketika seseorang tidak menaati protokol kesehatan dan himbauan-himbauan yang ada, maka bukan tidak mungkin ia akan terjangkit virus tersebut.

Baca Juga  Bebaskan Masalah Ekonomi Umat Dengan Zakat

Editor: Zahra/Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Saya Megi Saputra Ketua Bidang Tabligh dan Kajian KeIslaman (TKK) IMM Cab. Sleman. Aktivitas saya selain itu adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds