Feature

‘Adik Pingin Jadi Imam’, Pengalaman Ibadah di Rumah

3 Mins read

Selama Ramadhan 1441 H kemarin, kami sekeluarga memaksimalkan pray at home sebagai bentuk ketaatan pada fatwa alim ulama, seruan pimpinan Ormas Islam, himbauan pemerintah, dan mengikuti protokol kesehatan dalam usaha mencegah penularan virus selama pandemi Covid-19. Shalat lima waktu dan tarawih yang biasanya dilaksanakan bersama warga perumahan di mushalla depan rumah, kami laksanakan di rumah bersama keluarga. Inilah pengalaman ibadah di rumah bersama keluarga kami.

Meski ibadah di rumah, selama Ramadhan 1441 H kemarin kami membuat jadwal imam dan kultum bakda tarawih. Sebagai bentuk pembelajaran, semua anggota keluarga laki-laki diberi jadwal imam. Sedangkan semua anggota keluarga dewasa baik laki-laki maupun perempuan dapat giliran kultum.

Maka, imam shalat di keluarga kami selalu bergantian antara ayah, mas AKF yang saat ini kelas 2 Madrasah Aliyah Negeri, dan mas NMM yang baru di tahun pertama di Muallimin Yogyakarta. Untuk kultum, selain ketiga anggota keluarga laki-laki, ditambah lagi Bunda.

***

Yang menarik adalah semangat anak ragil perempuan kami, berusia menjelang 6 tahun pada Agustus nanti, dan saat ini masih di bangku TK. Melihat kakak-kakaknya dapat giliran kultum, dia tidak mau ketinggalan. Bahkan saking semangatnya, berulang kali dia “menyerobot” jadwal kultum kakak dan bundanya.

Suatu malam, sebelum kakaknya mengawali salam, dia sudah berteriak “adik saja yang kultum!” Kakaknya yang kelas 1 Muallimin, yang waktu itu memang belum siap bahan kultum, dengan senang hati sambil tertawa lebar memberikan waktunya pada adik ragilnya untuk kultum.

Si Ragil mengawali kultum dengan sangat percaya diri; layaknya peserta pildacil yang mengucapkan salam sambil menggerakkan kedua tangannya ke atas, lalu ke depan, terus ke samping, kemudian membuat tanda  lingkaran di depan dada diikuti tanda menunjuk ke jamaah yang hadir.

Baca Juga  Kalau Mau Kaya, Jangan Jadi Dosen!

Setelah salam, si ragil bukannya kultum namun mengajak kami sekeluarga untuk menghafalkan surat Al-Fajr bersama. Setelah itu, dia menutup “kultumnya” itu dengan salam yang tidak kalah mantap dan semangatnya dibandingkan salam pembuka.

Di kesempatan lain, ragil kami kembali menyerobot jatah kultum bundanya. Seperti biasa dia membuka dengan salam yang heroik memadukan ucapan salam dengan gerakan tangan. Di “kultum” yang kedua kali ini dia semakin “super” sebab mengajak yang hadir untuk menghafalkan bersama surat Al-Baqarah!

Kedua kakaknya seketika langsung protes, membayangkan akan berapa lama jika harus membaca/menghafal seluruh ayat dalam Surat Al-Baqarah. “Emang kamu sudah hapal dik? Tahu tidak berapa ayat surat Al-Baqarah itu?” protes anak kedua kami.

Si ragil yang waktu itu baru “lepas” dari Iqra jilid 6 dan mulai masuk ngaji Al-Baqarah hingga ayat ke-10 dengan percaya diri menjawab: “Sudah !” Akhirnya terjadi kompromi bahwa malam itu kita akan membaca dan menghafalkkan bersama QS Al-Baqarah ayat 1-10.

Sejak aksi kedua “kultum” si Ragil, anak pertama dan kedua kami langsung menunjukkan sikap waspada setiap kali selesai tarawih, antisipasi kalay-kalau si ragil akan menyerobot jadwalnya.

***

Bakda Ramadhan, saat kami masih harus pray at home, Ragil perempuan kami selangkah lebih berani; minta menjadi imam shalat di rumah. “Adik pingin jadi imam!”, teriaknya saat kami sedang bersiap melaksanakan shalat maghrib. Kedua kakaknya langsung teriak: “Kamu itu perempuan, Dik…!”.

Karena waktu itu jadwal ayahnya sebagai imam, maka dia dipersilahkan untuk mengambil tempat di samping kanannya. Dia pun dengan riang  dan senyum penuh kemenangan segera memindah sajadah pink favoritnya di samping kanan sajadah ayahnya. Segera dia berdiri dan memberi intruksi: “Nanti semuanya mengikuti gerakan adik  dalam shalat ya…!!”.  Kedua kakaknya yang di belakang setengah protes berkomentar: “Hallah, Dik…, imam kok cilik.”.

Baca Juga  Berburu Takjil, Jangan Sebatas Ritual!

Selesai shalat, Ragil kami protes pada kedua kakaknya dan merajuk: “Mas AKF dan Mas NMM ini lho, tidak mengikuti gerakan shalat adik. Hanya ayah yang mengikuti gerakan shalat adik. Adik benci sebab mas-mas malah mengikuti gerakan ayah, bukan gerakan adik.” katanya.

Di kesempatan shalat yang lain ragil perempuan kami kembali meminta jatah imam kakak pertamanya. Kakaknya protes tidak mau, namun si Ragil kembali merajuk. Akhirnya masnya kami beri kode, agar dibiarkan saja, toh hanya jadi imam “bambang kothong.”

Selesai shalat kembali si Ragil protes; katanya tidak ada yang mengikuti gerakan adik sebagai imam. Bahkan kakak pertamanya yang di samping kirinya pun juga tidak mengikuti gerakannya. “Pokoknya adik tidak mau jadi imam bersama mas AKF, sebab mas tidak mau mengikuti gerakan adik!”

Di kesempatan lain, ragil perempuan kami juga berpesan tentang keinginannya berperan dalam ibadah jamaah di masyarakat. Kepada ayahnya dia berbisik kalau besok Musholla sudah aktif lagi dia ingin adzan pakai pengeras suara. Kami jawab semangat ragil perempuan tersebut dengan senyuman.

Itulah pengalaman ibadah di rumah selama Ramadhan.

Related posts
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…
Feature

Tarawih di Masjid Sayyidah Nafisah, Guru Perempuan Imam Syafi’i

3 Mins read
Sore itu, sambil menunggu waktu buka, saya mendengarkan sebuah nasyid yang disenandungkan oleh orang shaidi -warga mesir selatan- terkenal, namanya Yasin al-Tuhami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *