Perspektif

Memelihara Solidaritas Antaragama dengan Pancasila

3 Mins read

Sebagai masyarakat plural, Indonesia terdiri atas masyarakat yang berbeda-beda latar belakang budaya serta sistem yang dianut. Meskipun solidaritas antaragama selalu diusahakan, namun dalam suatu masyarakat di mana suatu konflik budaya terjadi, juga akan diikuti oleh suatu konflik politik dan hukum.

Sebagai konsekuensi, Indonesia sebagai suatu bangsa di mana orang-orang tinggal ditandai tidak hanya heterogenitas. Yang lebih penting, kesiapan mereka untuk hidup berdampingan secara damai dengan grup-grup etnik dan penganut agama berbeda-beda.

Kuntowijoyo dan Pluralisme di Indonesia

Suatu kehidupan dinamis terus berkembang dalam menjamin keharmonisan sosial, meskipun pada kenyataannya bahwa konflik dan integritas secara bersamaan. Bagaimanapun, integritas sosial tidak mudah dicapai. Perkembangan menunjukan bahwa tidak semua unsur budaya atau institusi-institusi dapat digabung dengan mudah.

Di antaranya, terdapat suatu ketidaksesuaian logis di antara mereka. Bila suatu yang logis terjadi, suatu perubahan muncul bersama dengan kesulitan. Perbedaan antara agama monotheis dan politheis menampakan substansinya. Jika kontradiksi nilai-nilai budaya tidak dapat ditengahi secara efektif, akan mengakibatkan munculnya ketidakharmonisan sosial.

Menurut Kuntowijoyo, ada tiga teori tentang budaya dalam masyarakat majemuk. Yaitu etnosentrisme, melting pot (peleburan), dan pluralisme. Bagi Kuntowijoyo, pluralisme memungkinkan kebijakan budaya yang tepat di negara Indonesia. Dalam Pancasila, disebutkan “Persatuan Indonesia bukan kesatuan Indonesia”, artinya bahwa keragaman itu diakui.

Dengan ini, kita harus melihat Pancasila sebagai hasil kesepakatan rakyat Indonesia. Yang juga, setiap mereka membawa nilai-nilai agamanya untuk dirumuskan menjadi Pancasila. Pancasila adalah sebuah usaha membumikan ajaran-ajaran agama. Tema-tema besar yang diusung Pancasila adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Tema besar ini adalah esensi pokok semua ajaran agama.

Pancasila yang Merengkuh Perbedaan

Sebab itu, Pancasila mengajarkan nilai-nilai pluralisme beragama. Maksudnya ialah selain agama sendiri, ada agama lain yang harus dihormati. Masing-masing agama harus memegang tetap teguh agamanya. Asumsi yang salah ketika menganalogikan agama seperti baju. Boleh gonta-ganti, seolah agama bukan persoalan besar.

Baca Juga  Toleransi dan Konsepnya Menurut Beberapa Agama

Di samping itu, sebetulnya antar umat agama di Indonesia telah memiliki pengalaman berdemokrasi sedari dulu. Sehingga implikasi dari ini sudah terlatih bersikap terbuka, toleran, berinteraksi dengan pluralisme agama dan budaya. Agama-agama besar seperti Islam, Hindu, Buddha, dan Kristen hidup di kawasan negara kita.

Salah satu kesadaran yang harus tetap dimiliki masing-masing semua pemeluk agama ialah setiap agama memiliki nilai-nilai keuniversalan. Tanpa mengurangi keimanan pemeluk agama lain, kita mempercayai adanya nilai-nilai toleransi, keterbukaan, kebebasan, keadilan dan kejujuran pada semua agama.

Ada dua tahap solidaritas yang menunjukkan kemajuan dalam hubungan antaragama, yaitu dari kerukunan menuju kerja sama. Solidaritas lahir dikarenakan dua faktor identitas dan faktor senasib. Faktor identitas berperan penting, sebab dalam identitas, seseorang mengidentifikasi dirinya.

Ketika seorang tertimpa musibah dan memiliki identitas yang sama, serta merta muncul solidaritas terhadap orang tersebut. Faktor rasa senasib menjadi kata kunci terbitnya solidaritas. Rasa senasib berarti seseorang merasakan suatu gejala psikologis yang sama. Maka dengan ini, identitas dan senasib masyarakat Indonesia sudah dikemas dalam bingkai Pancasila sebagai alat solidaritas antaragama.

Menurut petunjuk kitab suci Al-Qur’an tentang bagaimana melaksanakan dan memelihara persaudaraan, yang pertama diperlukan ialah sikap terbuka antar sesama. Betapapun besarnya perbedaan sekunder dalam paham dan tingkah laku.

Dalam berinteraksi “ideologis”, kita harus menyimpan dalam hati sikap “keraguan yang sehat”; (healthy skepticism), yaitu cadangan dalam pikiran dan sikap sedia mengakui kebenaran orang lain jika memang ternyata benar dan mengakui diri sendiri jika memang kita salah.

Islam dan Solidaritas Antaragama

Dalam ajaran Islam, prinsip diatas merupakan sebuah jalan agar dapat menerima kebenaran dengan hati seikhlas mungkin; tanpa ada paksaan atas dasar kefanatikan sentimental semata. Karena umat Islam ialah, ”Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS az-Zumar:18)

Baca Juga  Benarkah Islam di Asia Tenggara Bukan Bagian dari Dunia Islam?

Berdasarkan ayat ini, teori-teori atau perkataan yang tidak melanggar prinsip ketuhanan akan kita terima. Dan akan kita gunakan sebagai alat mencapai cita-cita kemajuan.

Dalam hal ini, kita bisa melihat bagaimana keteledanan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari; oleh sebagian founding father untuk menjunjung tinggi solidaritas antaragama. Sebut saja Buya Hamka dan Agus Salim. Keduanya tokoh cendikiawan agama Islam Indonesia yang memiliki saudara berbeda agama. Persahabatan M Natsir, pendiri partai Masyumi, dengan Ignatius Joseph Kasimo, selaku pendiri partai Katolik. Tentu semuanya merupakan keteladanan yang indah.

Romantisme sejarah solidaritas antaragama ini harus terus ditanam, dipupuk dan dipelihara generasi ke generasi. Dengan demikian, kita berupaya tetap menjaga keharmonisan sosial negara Indonesia.

Kepustakaan:

Kuntowijoyo. 1997. Politik Identitas Umat Islam. Mizan: Bandung
Madjid, Nurcholish. 1994. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Penerbit Paramadina: Jakarta
Madjid, Nurcholiss. 1998. Islam Doktrin Peradaban. Penerbit Paramadina: Jakarta
Hamka. 1967. Pandangan Hidup Muslim. Gema Insani: Depok
Amrull, Willy. 2011. Dari Subuh hingga Malam: Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran. Bpk Gunung Mulia: Jakarta
Ibrahim, Subhi. 2013. Demi Islam, Demi Indonesia. Dian Rakyat: Jakarta

Editor: Zahra/Nabhan

Avatar
11 posts

About author
Mahasiswa Jurusan Falsafah & Agama, Pengelola Taman Baca Tambo Pustaka, Komunitas Generasi Gemilang dan Aktivis Pelajar Islam Indonesia.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds