Fikih

Hukum Menikahi Perempuan Hamil Akibat Zina

4 Mins read

Pada umumnya kabar kehamilan seorang wanita yang sudah menikah adalah kabar yang sangat ditunggu-tunggu oleh pasangan suami istri dan keluarga. Namun, apabila kehamilan tersebut akibat dari perbuatan zina, yang diperoleh hanyalah aib. Baik kepada si pelaku maupun buat keluarganya. Dan akbitnya tak jarang status wanita dan anaknya dipertanyakan.

Demi menghindarkan stigma negatif yang ada di masyarakat, tak jarang kedua pelaku zina tersebut dinikahkan. Seiring meningkatnya kasus perzinahan diantara kaum anak muda zaman sekarang kejadian hamil diluar nikah seolah menjadi hal yang biasa, dan tak jarang pada saat menggelar resepsi pernikahan mempelai wanitanya pun tak malu menunjukan kehamilannya. Tetapi tak jarang juga pria yang menghamili wanita tersebut  lari dari tanggung jawab atau kabur dan akhirnya pria lain yang rela menikahi wanita tersebut.

Pengertian Zina

Zina adalah perbuatan antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat pernikahan atau perkawinan. Secara umum zina bukan hanya disaat manusia telah melakukan hubungan seksual tetapi segala aktivitas seksual yang dapat merusak kehormatan manusia.

Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya telah menerangkan di dalam Al-Qur’an bahaya zina dan menganggapnya sebagai perbuatan yang amat buruk. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Asl-Isra’ :32)      

Ada beberapa bahaya dari perbuatan zina

  1. Perbuatan zina berarti menumpuk dosa sebab zina adalah perbuatan yang di dalamnya terkumpul berbagai macam dosa sehingga merusak akhlak dan menghilangkan sikap wara’.
  2. Berbuat zina berarti menghancurkan martabat baik dihadapan Allah maupun sesama manusia. Pelakunya pun menjadi tidak memiliki rasa malu lagi.
  3. Menghilangkan cahaya pada wajah sehingga mereka yang berbuat zina akan memiliki wajah yang muram dan gelap.
  4. Tidak hanya wajah, hatinya pun diselimuti dengan kesuraman dan kegelapan.
  5. Mereka yang berbuat zina akan kekal dalam kemisikinan dan tak akan pernah merasa cukup terhadap apa yang didapatnya.
  6. Mereka yang berbuat zina akan diberikan oleh Allah SWT sifat liar di hatinya.
  7. Mendapat kehinaan dihadapan Allah SWT. Bahkan sesama manusia pun akan memandang dengan jijik serta menghilangkan rasa kepercayaan.
Baca Juga  Ketika Hukum Haram Menjadi Halal dalam Islam

Hukum Menikahi Perempuan Hamil

Hukum Islam melarang keras atau mengharamkan perbuatan berzina. Bahkan sebelum perbuatan itu dilakukan di dahului dengan adanya larangan yang bijaksana berupa tindakan perventif agak sekali-kali jangan mendekati zina.

Hukum menikahi wanita hamil diluar nikah karena berzina hukumnya tidak sah dimata agama. Sesuai dengan Firman Allah SWT dalam QS. At-Thalaq ayat 4

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

Dari ayat diatas dijelaskan bahwa seorang wanita bisa dinikahi apabila ia sudah melahirkan. Walaupun dalam masa nifasnya belum selesai maka seorang wanita itu sudah sah untuk dinikahi oleh laki-laki pilihannya.

Namun lain halnya dengan seorang laki-laki atau wanita itu memaksa untuk dinikahi meskipun si wanita dalam keadaan sedang hamil maka pernikahannya harus diulang kembali apabila sudah tidak mengandung lagi.

Kompilasi Hukum Islam

Menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa hukum menikahi perempuan hamil akibat zina adalah sah bila yang menikahi wanita itu laki-laki yang menghamilinya. Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, hukumnya menjadi tidak sah karena pasal 53 ayat 1 KHI tidak memberikan peluang untuk itu. Secara lengkap, isi pasal 53 KHI itu adalah sebagai berikut:

  • Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
  • Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
  • Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir
Baca Juga  Pernikahan Dini: Bukan Cintanya yang Terlarang, Hanya Waktu Saja Belum Tepat

Ketentuan ini adalah sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nur ayat 3 yang menyebutkan bahwa “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.”

Menurut Undang-Undang Negara

Undang-undang negara yang menyangkut pernikahan tidak menyebutkan pernikahan perempuan yang hamil secara eksplisit. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) hanya menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya” Jadi hukum menikahi perempuan hamil sah sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perakwinan Nomor 1 Tahun 1974 dan juga harus memenuhi syarat- syarat sahnya suatu perkawinan 

Menurut Imam Mazhab

Ulama Syafi’iah

Ulama Syafi’iah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Alasanya karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi.

Ulama Hanafiyah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya, alasannya wanita hamil akibat zina tidak termasuk kedalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. An-Nisa:22, 23, dan 24 yang artinya :

  • “‘Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian) pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).(Q.S An-Nisa (22)
  • “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (Q.S An-Nisa (23) )
  • “Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi) perempuan-perempuan yang telah bersuami, kecuali perempuan yang menjadi budak kalian. (Ini adalah) ketetapan dari Allah atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian perempuan-perempuan selain yang telah disebutkan tadi dengan memberikan harta kalian untuk menikahi mereka dan tidak untuk berzina. Maka karenak alian menikmati mereka, berikanlah mahar kepada mereka, dan hal itu adalah kewajiban kalian. Dan tidak mengapa apabila kalian telah saling rela sesudah terjadinya kesepakatan. Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.” (Q.S.An-Nisa (24)
Baca Juga  Fenomena Marital Rape: Bagaimana Membangun Relasi Etis dalam Penikahan?
Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya terlebih lagi dengan laki-laki yang menzinainya, kecuali wanita itu telah memenuhi dua syarat berikut. Pertama, telah habis masa iddahnya. Jika ia hamil iddahnya habis dengan melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil maka akad nikahnya tidak sah. Kedua, telah bertaubat dari perbuatan zina

editor: Yusuf R Y

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswi ITB Ahmad Dahlan Jakarta
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *