Review

Luka Beta Rasa: Konflik Maluku dan Luka-luka yang Berkemauan Sembuh

4 Mins read

Luka Beta Rasa menjadi film dokumenter pembuka Narasi Signature Series bertajuk The Invisible Heroes. Seri dokumenter The Invisible Heroes sendiri berkisah tentang para penyintas dari berbagai peristiwa. Mulai dari penyintas konflik, bencana alam, body shaming, dan lain sebagainya. Hal itu disampaikan Adeste Adipriyanti (produser eksekutif) saat pemutaran perdana Luka Beta Rasa pada 29 Februari lalu di Jakarta.

Luka Beta Rasa

Film dokumenter Luka Beta Rasa merupakan proyek kolaborasi Narasi TV dengan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina. Film ini menceritakan tentang anak-anak kombatan perang Maluku. Sampai sekarang, perang yang berlangsung tahun 1999-2002 itu meninggalkan ingatan kelam bagi anak-anak para kombatan. Mereka hidup dengan trauma dan luka-luka yang hampir mustahil disembuhkan.

Luka Beta Rasa dibuka dengan ingatan seorang mantan tentara anak yang ketika konflik Maluku pecah usianya baru 10 tahun. Namanya Ronald Regang. Ia mengisahkan hal yang memicunya turun ke medan perang.

Cerita bermula ketika Ronald mendengar kabar bahwa saudara-saudaranya di Ternate mati karena dibantai. Saat itu, dari Teluk Ambon, Ternate tampak diselimuti asap dan terang oleh cahaya api yang melahap habis rumah-rumah di sana. Peristiwa itu membulatkan tekad Ronald untuk turut serta dalam perang.

Konflik Maluku

Ronald menyebut bahwasanya anak-anak yang turun dalam perang sektarian di Maluku kala itu tak terhitung jumlahnya. Berdasar ingatannya, hampir semua anak-anak pada zaman itu terlibat perang.

Alasan pertama karena situasi dan kondisi yang sedang berlangsung. Mereka melihat keluarga, sanak-saudara, dan tetangga banyak yang meninggal. Hal itu membuat anak-anak mau tidak mau terjun ke medan pertempuran. Ronald menambahkan bahwasanya keikutsertaan anak-anak dalam perang tidak mendapat paksaan dari pihak lain.

Puisi gubahan Zen RS yang dibacakan secara teatrikal bersamaan dengan gerak tubuh Ronald cukup representatif mewakili transisi kehidupan anak-anak Maluku sebelum dan sesudah perang berkecamuk.

Baca Juga  Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban

Aku seorang anak teluk/Diasuh sepoi angin laut/Aku berlayar, berjalan di atas pasir pantai/Dan jalanan kota yang berliku, diapit bukit/Wajah kecilku adalah wajah-wajah manise pulau ini/Lalu datang hari yang mengubah segalanya/Aku dipaksa jadi dewasa sebelum waktunya/Oleh kobaran api, desing peluru bersama dentuman mortir/Kelereng dan bola sepak diganti molotov/Tak ada lagi permainan/Hanya ada peperangan.

Konflik sektarian antara Islam dan Kristen di Maluku itu melibatkan sekitar 4.000 anak-anak berusia 7-15 tahun. Mereka terlibat perang dengan peran yang berlain-lainan jenisnya. Ronald sendiri merupakan bagian dari pasukan khusus anak-anak yang bernama Tim Cichak.

Tim ini terdiri dari 12 anak. Cichak rupanya merupakan akronim dari Cara Indah Citra Hidup Anak Kristen. Peran pertamanya dalam Tim Cichak ialah membawa dua jeriken besar berisi bensin. Bensin itu untuk persediaan pasukan perang yang berada di barisan paling depan. Bensin itu digunakan untuk menyerang lawan.

Seiring waktu, Roland diberi senjata seperti golok dan parang. Pendidikan perang kepada anak-anak di Maluku saat itu bersifat praksis dan situasional. Roland mengandalkan ingatannya tentang film perang yang pernah ditontonnya. Bagaimana harus melindungi diri dari peluru dan bom misalnya. Sampai akhirnya, anak-anak itu merakit bom, mulai bom kocok, bom kimia, hingga bom bakar dengan sumbu yang berbeda-beda.

Ingatan yang Tak Lekang

Melalui Ronald Regang, penonton diajak berjumpa dan berkenalan dengan kisah anak-anak lain yang punya pengalaman serupa. Wenand Salhuteru, terlibat konflik Maluku di usia yang sama dengan Ronald. Saat itu ia masih kelas 5 SD. Awalnya Wenand tidak paham apa yang sedang terjadi. Suatu hari ayahnya berlari tunggang-langgang. Ia mengikutinya dari belakang.

Suara tembakan dan bom berdentuman. Wenand heran bagaimana tiba-tiba terjadi konflik yang lebih pas disebut perang. Padahal sebelumnya, ia merasa lingkungannya hidup dalam damai. Konflik sektarian di Maluku saat itu menimbulkan kebencian tumbuh subur dalam diri Wenand. “Waktu konflik terjadi itu rasa benci dalam diri paling membara seperti neraka di dalam diri,” terangnya.

Baca Juga  Islam sebagai Tradisi Diskursif: Tawaran Konsep Talal Asad (Bagian 2)

Setelah Roland dan Wenand menyusuri tempat di mana dulu mereka sering berpisah. Penonton diajak bertemu dengan Fibrian Matoke (Fino) di pesisir Teluk Ambon di bawah Jembatan Merah Putih Ambon. Kawasan itu juga menjadi medan pertempuran ketika konflik Maluku berlangsung. Fino dan banyak anak lain berenang di laut lepas untuk menghidari serangan musuh yang datang dari atas pantai.

Dari Ambon, penonton menguntit Roland ke Jakarta untuk menemui kawan-kawannya semasa perang. Salfatoris Rerebain tidak ingat berapa banyak orang yang ia bunuh dengan bom rakitannya sendiri. Selain itu, ia punya pengalaman memangku kawannya yang terkena tembakan di kepala. Kawan itu meninggal dalam pangkuannya. Celana yang dikenakan Toris saat itu berlumuran darah. Sampai sekarang, celana itu masih tersimpan di almari rumah orang tuanya di Ambon. 

Luka yang Mustahil Sembuh

Di Jakarta, selain bertemu dengan Toris. Ronald menemui kawannya yang seorang muslim. Akbar Marasabessy, yang saat konflik berusia 7 tahun bertugas membantu orang tuanya membuat bom rakitan. Ia tidak terjun langsung ke medan pertempuran. Cerita tentang konflik Maluku yang meninggalkan luka mendalam diperoleh dari saudaranya, Amir Lestaluhu dan Mutalib Nahumarury (Levi).

Dendam muncul ketika Levi dan rombongan yang hendak keluar dari Ambon dihadang massa di daerah Paso. Sopir kendaraan dan sepupu Levi terbunuh pada malam nahas itu. Setelah kejadian itu, Levi menganggap semua orang adalah musuh beratnya. Dendam itu membawa Levi menjadi seorang pembunuh yang ringan tangan. Menceritakan hal itu, mata Levi berangsur merah dan tangis pecah di sebuah warung nasi goreng di sudut Jakarta.

Trauma masa lalu belum hilang dari kepala anak-anak yang terlibat perang di Maluku. Orang-orang yang terbunuh dan terpotong kepalanya masih sering muncul dalam mimpi Roland. Ia juga terus menyesali keterlibatannya dalam sejarah kekerasan masa silam.

Baca Juga  Theravada Ekstrem: Wajah Radikal dalam Buddhisme

Pertama kali sampai di Jakarta, Toris tergeragap mendengar suara azan subuh. Pada masa perang Maluku, azan subuh berarti serangan dari lawan sebentar lagi datang. Fragmen-fragmen perang kadangkala juga mampir sebagai buah tidur Toris. Ia juga masih mengingat bunyi peluru dari berbagai jenis senjata tembak.

Wenand sering kaget mendengar bunyi petasan. Ketika ia berjalan matanya masih sering melirik ke kanan-kiri. Khawatir sewaktu-waktu ada orang yang menghantamnya. Sikap Wenand ini tak lain ialah buah dari trauma masa silam yang masih terus membayang. Akbar mengingat pukulan ke tiang listrik sebagai alarm bahwa ada korban yang jatuh.

Ingatan itu masih lekat sampai kini. Setiap ada orang yang membunyikan tiang listrik, ia sering menduga-duga apakah sedang ada serangan. Levi masih sering merinding dan gemetar ketika diminta untuk menceritakan konflik Maluku yang terjadi dua puluh tahun silam.

Ribuan anak di Maluku adalah korban luka, baik luka fisik maupun psikis. Kiranya, Narasi TV dan PUSAD Paramadina melalu film dokumenter Luka Beta Rasa bisa menjadi obat alternatif –meski barangkali belum dalam dosis yang mujarab— bagi para penyintas konflik Maluku yang selama ini belum tersentuh perhatian.

Kendatipun, Aku menua oleh kelam yang kubuat sendiri/Tapi, hari masih panjang/Tiap orang, harus membereskan ingatan buruknya masing-masing.

Para penyintas perlu tangan-tangan lain yang menguatkan mereka.

Editor: Nabhan

Related posts
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds