FeaturePerspektif

Pilpres 2019, Umat Islam sebagai Penentu?

4 Mins read

Oleh : Abdul Rasyid

 

Dilema Pemilu Serentak

Pemilihan umum (pemilu) akan serentak dilaksanakan 17 April 2019 di Indonesia. Ini merupakan pemilu pertama kali dalam perjalanan bangsa Indonesia yang menggabungkan pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan anggota DPD RI dalam satu rangkaian waktu. Tentu pemilu kali ini tidak bisa dilewatkan begitu saja, sebab pada dasarnya pemilu akan menentukan masa depan bangsa. Juga sebagai saluran yang sah secara konstitusional  bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menentukan arah haluan bangsa. Pada mereka yang berkontestasi untuk mengabdikan diri sebagai wakil rakyat kita semua sebagai wraga negara menaruh harapan besar untuk Indonesia yang lebih baik.

Menurut Siti Zuhro, Peneliti Senior LIPI bidang politik, dinamika pemilu kita tahun ini adalah penuh risiko. Orang Indonesia memang sering begitu, sudah tahu berisiko tapi tetap jalan terus. Bayangkan, masalah DPT terus terjadi, politik transaksional juga terus terjadi. Pada Pemilu pertama tahun 1999 setelah orde baru tumbang kita tidak mendengar politik transaksional, politik pencitraan, apalagi lembaga survei. Yang terdengar hanya multipartai sampai 48 partai peserta pemilu.

Kemudian di tahun 2004 kita mulai akrab dengan istilah politik pencitraan dan lembaga survei. Jumlah partai mengalami fluktuasi dengan berkurang menjadi hanya 24 partai peserta pemilu. Pada masa ini mulai ada lembaga survei dan politik pencitraan, bagaimana media branding dilakukan untuk mem-branding calon. Lalu pada tahun 2009 peran lembaga survei, media daring, politik pencitraan, dan branding calon semakin menguat. Pada tahun 2014 kita baru pertama kali mengalami keadaan head-to-head, hanya dua pasangan calon dalam pilpres dan terjadi polarisasi. Meskipun belum ada politik SARA, sebatas background masing-masing yang dipermasalahkan. Kontestasi terjadi dalam intensitas tinggi, sehingga banyak energi yang terkuras karena terlalu fokus untuk mengejar anasir dan berkutat pada stigma tertentu sehingga kita tidak tahu apa yang sebenarnya ditawarkan para calon.

Baca Juga  ”Kristen Alus”: Embrio Gerakan Pembaruan Muhammadiyah

Oleh karena itu, pesta demokrasi yang dilaksanakan 5 tahun sekali ini terlalu mahal apabila kita lewatkan begitu saja. Sebagai bagian dari rakyat Indonesia, perlu mengambil peran dan mempergunakan hak hak pilihnya secara bijak, cerdas, dan bertanggungjawab. Kita tidak perlu terjebak dalam dukung-mendukung salah satu pasangan calon (paslon) dan tolak-menolak paslon yang lainnya secara berlebihan, yang berujung pada retaknya persaudaraan sesama anak bangsa.

Penyelenggaraan pemilu serentak sudah dibahas sebelum pemilu 2014 dengan harapan di tahun tersebut pemilu serentak bisa diselenggarakan. Alasan yang mendasari adalah efektivitas dan efisiensi biaya dan waktu. Berkaca pada pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilihan legislatif yang terpisah dengan pemilihan presiden terlalu banyak memakan waktu dan biaya. Berdasarkan perhitungan KPU saat itu, pemilu serentak diperkirakan bisa menghemat anggaran Rp 5-10 triliun. Jumlah yang sangat besar tentunya.

Kendati demikian, akhirnya pemilu serentak tidak dilaksanakan pada tahun 2014 dengan pertimbangan persiapan teknis yang belum siap. Butuh waktu yang cukup untuk mengkaji pemilu serentak, karena Indonesia belum pernah memiliki pengalaman pemilu serentak. Akhirnya pemilu serentak direncanakan untuk dilaksanakan pada tahun 2019.

Kini tahun 2019 telah tiba dan pemilu serentak segera dihadapi oleh bangsa Indoneisa. Sejarah akan mencatat pesta demokrasi yang dilakukan secara serentak ini. Walaupun banyak menuai pro-kontra seperti adanya kotak suara yang terbuat dari kardus. Kemudian dilanjutkan isu SARA yang semakin santer tersebar dalam masyarakat sebagai alat untuk merebut suara. Kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih juga mempercepat isu SARA tersebut semakin masif.

Bagi masyarakat yang berpendidikan mungkin akan mudah dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu serentak kali ini. Akan tetapi bagaimana dengan mereka yang berpendidikan rendah? Pemilu serentak hanya akan menyulitkan mereka dalam menentukan nasib bangsa dalam kurun waktu 5 tahun mendatang. Alhasil mereka menggunakan hak pilihnya sekadar untuk memilih, atau boleh jadi asal-asalan tanpa seleksi dalam memilah calon wakil rakyat yang dapat dipercaya dan membela kepentingan rakyat.

Baca Juga  Nilai-Nilai Kesehatan Mental dalam Ibadah Kurban

Akan sangat disayangkan jika penyelenggaraan pemilu serentak tidak mampu memunculkan wakil-wakil rakyat yang amanah dan berjuang tulus untuk rakyat. Karena biaya yang digelontorkan sangat banyak. Tentu kita semua berharap melalui pemilu serentak ini mampu memunculkan wakil-wakil rakyat yang diharapkan rakyat. Pastinya pemilu serentak ini akan dijadikan sebagai acuan untuk pemilu selanjutnya. Jika sukses akan diadakan kembali namun jika kurang sukses boleh jadi pemilu serentak akan menjadi sejarah yang usang, penuh dengan kegagalan dan catatan merah. Pada akhirnya proses pemilu serentak akan digugat untuk kembali ke sistem yang tidak serentak.

 

Umat Islam Sebagai Penentu

Pemilu serentak ini secara tidak langsung menjadi ajang pesta demokrasi bagi umat Islam. Karena sekitar 85% penduduk Indonesia adalah Islam artinya pemilih terbanyak pada pesta demokrasi ini adalah umat Islam. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa umat Islam lah sebagai penentu dari pemilu serentak ini sekaligus sebagai penentu mau dibawa kemana negara ini. Sebab suara umat Islam sangat menentukan nasib bangsa.

Pentingnya umat Islam melek politik. Melek politik itu tidak cukup ketika mau menghadapi pemilu saja, akan tetapi berkelanjutan, karena kita pun harus mengawal jalannya pasca pemilu itu selesai. Bagaimana programnya, bagaimana kebijakan-kebijakan yang dibuat, apakah berpihak kepada umat atau tidak? Sebab ketika diadakan pemilu kembali kita bisa menentukan pilihan yang tepat setelah melihat kinerjanya selama ini.

Muslim perlu mengerti dan melek politik. Jika tidak maka umat Islam berpeluang untuk kecewa setidaknya untuk lima tahun mendatang. Ketika umat Islam tidak berpolitik, maka yang berkuasa boleh jadi mereka yang berseberangan akidah dengan Islam. Dengan demikian mereka tidak mampu membantu, membela dan memperjuangkan aspirasi umat Islam di kancah politik.

 

Pasca Pemilu Serentak?

Beda dengan pemilu-pemilu tahun sebelumnya, pemilu kali ini sangatlah menarik. Suara umat Islam diperebutkan untuk bisa naik ke gelanggang wakil rakyat. Bahkan di pemilu-pemilu sebelumnya tidak pernah ada isu-isu agama, paling mentok menyerang latar belakang individu seperti asal-usul keluarga. Belakangan politik identitas menjadi alat untuk menggiring opini yang sangat pragmatis dan politis. Peran umat Islam untuk hadir dan memberi warna dalam penyelenggaraan pemilu kali ini semakin menguat.

Baca Juga  Apa Muhammadiyah Tak Lagi Kuat Ideologinya?

Hari ini umat Islam terkotak-kotak dalam menentukan suaranya. Kondisi ini sebenarnya wajar, sebab di Indonesia organisasi Islam cukup banyak. Cara menyikapi kepemimpinan selama satu periode ke belakang pun juga berbeda antar individu atau bahkan antar golongan sekalipun. Ada yang mengatakan pemerintahan Jokowi itu penuh dengan prestasi yang luar biasa. Namun yang mengatakan janji-janji palsu dan kegagalannya juga banyak. Atas dasar itu umat pun menentukan pilihan, juga dipengaruhi suara pemuka-pemuka agama, dan orang-orang berpengaruh di sekitarnya.

Umat Islam akhirnya mau tidak mau terbagi menjadi dua kubu. Ada yang ke 01 dan ada yang ke 02. Pendewasaan politik di kalangan umat Islam menjadi sangat penting dan mendesak. Ormas-ormas Islam memilki tanggungjawab untuk mencerdaskan dan mencerahkan warganya agar tidak menimbulkan permusuhan, saling menjelekkan, saling tuding-menuding yang berujung pada luruhnya persaudaraan antar umat Islam. Jangan sampai umat Islam terpecah hanya karena beda pilihan politik. Persaudaraan haruslah dijunjung tinggi.

Setelah tanggal 17 April 2019, umat Islam cukup mengawal dan mempercayakan hasilnya pada institusi penyelenggara pemilu. Apapun hasilnya semoga itu lah yang terbaik untuk umat Islam. Persaudaraan harus dijalin dengan lebih baik dan ditingkatkan. Adapun yang kemarin berbeda pilihan politik dan sempat bersitegang, mari kita sudahi dan kita kawal proses demokrasi secara bersama-sama untuk Indonesia yang lebih baik.

 

*) Ketua Umum IMM IPB 2016-2018, Bendahara Umum PC IMM Bogor 2017/2018, Ketua Umum PD IPM Kota Pekalongan 2014/2015.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds