IBTimes.ID – Prof. Zainuddin Maliki sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia meminta kepada Mendikbud agar menggunakan anggaran Kemendikbud sebanyak 4,9 triliun untuk penanganan pandemi. Namun ternyata hal tersebut belum bisa berjalan maksimal. Untuk UKT mahasiswa, Mendikbud hanya mengeluarkan kebijakan agar kampus memberikan keringanan, antara lain mahasiswa bisa mencicil dan menunda pembayaran.
Hal ini ia sampaikan dalam webinar daring yang diadakan oleh Indomedia Poll. Webinar yang diadakan pada Selasa (30/6) ini mengangkat tema “Refleksi Kebijakan Mendikbud: Mas Nadiem Bisa Apa?”.
Ia menyampaikan kebijakan sebelum pandemi untuk dana BOS sebesar 50 triliun dialokasikan ke semua sekolah. Setelah pandemi, BOS regular ditransfer langsung ke sekolah, dan penggunaannya lebih fleksibel. Ada pula BOS afirmasi dan BOS kinerja. BOS afirmasi semula ditujukan untuk sekolah negeri di daerah 3T.
Namun setelah pandemi, BOS afirmasi difokuskan untuk daerah yang membutuhkan dan terdampak pandemi, dan mencakup sekolah swasta. BOS kinerja sebanyak 1,2 triliun semula dirancang untuk sekolah negeri yang memiliki kinerja baik. Namun setelah pandemi juga dialihkan ke sekolah yang membutuhkan karena terdampak.
“Kita mengingatkan Mendikbud agar tidak hanya melihat jumlah kuantitatif peserta PJJ (pendidikan jarak jauh). Karena Plt Dirjen PAUD dan Dikdasmen menyebutkan bahwa 94% siswa mengikuti PJJ. Perlu dilihat juga seberapa efektif PJJ diselenggarakan,” ujarnya.
Menurutnya, bahkan sebelum pandemi, pembelajaran tidak efektif karena berpusat pada guru. Setelah Pendidikan Jarak Jauh, dunia pendidikan mengalami kekagetan yang luar biasa baik guru, siswa, maupun orang tua. Dalam situasi seperti ini mestinya ada langkah-langkah yang jelas. Kebijakannya harus dimulai dari kurikulum yang adaptif. Kemendikbud sudah berusaha menyusun namun belum tuntas. Sehingga, di lapangan guru mengalami banyak kebingungan. Dampaknya Pendidikan Jarak Jauh berjalan dengan sangat tidak efektif.
Ia menyebut guru harus diberikan pelatihan. Karena dalam situasi seperti ini, harus ada desain pembelajaran yang tidak ditransformasikan oleh guru berupa tugas. Ia menyarankan agar guru bergabung dalam satu tim teaching kemudian mendesain proses pembelajaran berbasis project (masalah), dan siswa menyelesaikan permasalahan tersebut tanpa harus setiap saat dikawal oleh guru. Tetapi, selama ini hal tersebut belum disiapkan dengan baik oleh Kemendikbud.
“Kita sekarang hidup di era post-positivisme. Era post-positivisme adalah menghalalkan sesuatu yang tidak linier. Post-positivisme lebih memperhatikan kinerja. Ketika seseorang memiliki kinerja yang baik, maka itu berarti sah. Sekarang, pendidikan berada di tangan orang yang tidak memiliki pengalaman di dunia pendidikan. Yang kami harapkan adalah sampai hari ini kami ingin tahu arah pendidikan kita akan dibawa kemana. Menteri pendidikan masih terbebani oleh pesan Presiden Jokowi agar mendekatkan lulusan dengan dunia industri,” jelasnya.
Maka, berbagai kebijakan yang dikemas adalah mendesain agar lulusan bisa diserap oleh dunia industri. Sehingga, ia mengaku belum bisa membaca arah pendidikan di Indonesia akan dibawa kemana oleh mendikbud. “Belakangan muncul kebijakan atau konsep pelajar pancasila. Saya melihat pelajar pancasila adalah pelajar yang berakhlak, yaitu pelajar yang menjunjung nilai-nilai pancasila. Namun atribut pancasila yang lebih kompleks belum digambarkan dengan baik,” tambahnya.
Mantan Mantan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur ini menyebut basic filosofi yang hendak dibangun oleh mendikbud adalah PR yang belum selesai, selain penjelasan tentang pelajar pancasila. Pelajar pancasila seperti apa yang akan digambarkan, penjelasannya belum komprehensif dan mendalam. “Kalau tidak ada filosofi, pendidikan akan tidak jelas arahnya,” tutupnya.
Reporter: Yusuf R Y