Review

Relevansi Naskah Merapi-Merbabu di Era Teknologi

4 Mins read

Naskah Merapi-Merbabu ini diklaim belum banyak disentuh oleh para peneliti. Naskah yang dimaksud adalah naskah yang saat ini berada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan dinamakan sesuai dengan pemilik naskah, Kuntara Wiryamartana dan W. Van der Molen. Tulisan ini mencoba me-review sebuah tesis yang berjudul Naskah Merapi Merbabu: Tinjauan Atas Aksara dan Perkembangannya. Tesis ini sendiri ditulis oleh Andriyati Rahayu.

Naskah Merapi-Merbabu

Ada yang menarik dari penelitian yang ditemukan Wiryamartana (1990) saat mentransformasi teks Arjuna Wiwaha ke Teks Wiwaha Jawa. Bahwa adanya mata rantai yang menghubungkan antara Jawa kuno dengan Jawa baru, yaitu naskah Merapi-Merbabu. Hal ini dikarenakan antara teks Arjuna Wiwaha dan teks Wiwaha Jarwa dihubungkan oleh teks Wiwaha Kawi Jarwa. Salah satu teks yang memuat teks Wiwaha Kawi Jarwa adalah lontar 181 yang termasuk dalam koleksi Merapi-Merbabu.

Naskah-naskah ini sudah bisa dilacak sejak tahun1822 M. Menurut pemilik dari naskah, pada awalnya ini adalah koleksi peribadi Kyai Windusana. Itupun naskahnya ketika ditemukan sudah diwariskan pada cucunya.

Menurut cucunya, naskah ini awalnya mencapai jumlah 1.000, namun ketika diserahkan ke Bataviaasch Genootschap pada tahun 1852 hanya tersisa 400. Pada akhirnya sebagian besar naskah itu sudah ada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan sisanya tersebar di Perpustakan lain di dunia.

Meskipun naskah tersebut sudah mucul pada akhir abad ke-19, akan tetapi penelitian yang terlihat itu baru pada tahun 1983 yang dilakukan oleh Molen. Penelitian ini tentang prosa Kunjarakarana dan penelitian yang dilakukan oleh Wiryamartana pada tahun 1990. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh kedua orang tersebut ditemukan beberapa perbedaan naskah-naskah dalam hal isi, penanggalan dan aksara.

Karakteristik Naskah Merapi-Merbabu

Isi naskah itu meliputi beberapa genre seperti kakawin; Arjuna Wiwaha, Ramayana, Bharatayuddha, Surajaya, dan Subrata. Teks Islam juga ada seperti tapel Adam, dan juga teks tentang mantra dan primbon.

Dilihat dari sisi penanggalannya, naskah ini meliputi rentang waktu selama dua abad: abad ke-16 M sampai abad ke-18 M. Usia naskah-naskah ini lebih tua bila dibandingkan dengan naskah-naskah yang berasal dari keraton Jawa Tengah yang ditulis sekitar abad ke-18 M dan awal abad ke-19.

Baca Juga  Gus Dur & Gus Mus: Merawat Persahabatan, Mengabadikan Kebaikan

Dari sisi bahasa naskah ini menggunakan beberapa bahasa: Bahasa Jawa baru, Bahasa Jawa kuno, Bahasa Sanskerta dan Bahasa Arab. Dari aksaranya juga bervariasi meliputi Aksara Buda, Aksara Jawa dan sedikit Aksara Arab. Dari kesemua aksara itu yang paling dominan adalah aksara Buda.

Aksara Buda berbeda bentuknya dengan aksara Jawa baru dengan aksara Bali. Justru lebih mirip ke aksara yang digunakan di Jawa pada masa pra-Islam. Penamaan aksara Buda juga menunjukkan bahwa aksara tersebut sering digunakan untuk ajaran agama Islam. Aksara ini juga dikenal dengan aksara gunung karena sering ditemukan di daerah gunung-gunung.

Penelitian Naskah

Penelitian yang dilakukan oleh Wiryamartana dan Molen (2001) menunjukkan bahwa bentuk aksara Buda yang digunakan dalam naskah itu berbeda-beda. Tergantung pada waktu penulisan, perbedaaan daerah dan perbedaan gaya tulisan.

Mereka berdua meneliti bentuk aksara ‘sa’ dari tiga buah naskah yang mempunyai penanggalan berbeda-beda, yaitu 1521 M, 1632 M dan 1710 M. Dalam kesimpulannya menunjukkan bahwa perbedaan itu dikarenakan untuk penyederhanaan penulisan aksara ‘sa’ dari naskah tua ke yang lebih mutakhir.

Dari 400 naskah yang tersimpan dalam Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, hanya 53  yang mencantumkan penanggalan. Berarti ada 350 naskah yang ada tanpa tanggal dan tidak diketahui penulisan dan penyalinannya. ari 53 itu ternyata hanya ada 43 naskah yang penulisan tahunnya tertulis dengan jelas. Sedangkan 10 sisanya itu tidak jelas karena kondisi naskah yang rusak.

Hasil Penelitian

Andriyati Rahayu sebagai penulis tesis ini menyatakan mengambil empat sampel naskah dalam proses penelitiannya. Naskah-naskah itu adalah Ramayana (L 335), Parimbwan (L 31), Cacanden (L 305) dan Cacanden (L 105a).

Sebagaimana yang dideskripsikan di atas bahwa Andriyati membahas kajian aksara di mana ia meneliti distingsi antar-aksara yang ia jadikan sampel. Aksara yang ia teliti adalah aksara Buda di mana biasanya naskah yang menggunakan aksara ini digunakan untuk tema keagamaan.

Baca Juga  Ternyata! Dunia Arab Modern Banyak Inovasi Kemajuan

Hal ini bisa dilihat asal-usul dari naskah tersebut yang berada di daerah pegunungan Merapi-Merbabu. Di tempat itu dipercaya dulunya ada skriptorium yang aktif sehingga lahirlah beberapa naskah dari sana. Salah satunya yang dijadikan penelitian oleh Andriyati ini.

Dari hasil penelitiannya secara garis besar menunjukkan bahwa semakin mutakhir suatu aksara maka akan semakin sederhana bentuknya dan mudah. Aksara-aksara tersebut semakin berjarak, bentuknya pun semakin tegak, serta jumlah duktusnya semakin sedikit. Tentu maksud dari hal ini adalah untuk lebih memudahkan orang-orang yang membaca setelahnya.

Untuk aksara A dan Ca jumlah duktusnya sama dalam keempat naskah. Aksara A mempunyai duktus empat, kecuali yang ada pada Cacanden L 105a yang jumlah duktusnya ada lima. Sedangkan aksara Ca jumlah duktusnya tiga dalam semua naskah. Untuk aksara “Ka”, “Ga”, “Na” dan “Sa” mempunyai duktus yang lebih sedikit daripada naskah yang lebih tua.

Pandangan Reviewer

Penulis kira kesimpulan yang dihasilkan oleh Andriyati dalam penelitian tersebut sudah sesuai dengan masalah yang diajukan. Bagaimanakah teks dari keempat naskah tersebut di atas? Bagaimanakah variasi bentuk dan pola perkembangan aksara dalam keempat naskah tersebut dan kaitannya dengan penanggalan naskah?

Di dalam tesisnya dijelaskan bagaimana teks dari keempat naskah yang dipilih. Hal ini bisa dilihat dalam Bab II tentang deskripsi naskah. Bahkan dalam naskah Parimbwan ia melampirkan rajah-rajah yang ada dalah naskah tersebut. Seperti Rajah Wika yang digunakan untuk mengusir hama di Sawah.

Kemudian di dalam tesis tersebut juga sudah menjelaskan perkembangan variasi yang terjadi dalam aksara-aksara yang dipilihnya. Seperti aksara “Ga” pada naskah Aji Kembang yang terdiri dari dua garis vertikal yang dihubungkan dengan satu garis lengkung horizontal.

Kemudian bentuk aksara “Ga” pada naskah Arjuna Wiwaha terdiri dua garis vertikal dan dihubungakan dengan garis melengkung horizontal yang menyambung. Bentuk ini sebenarnya lebih mirip dengan aksara “Ga” pada naskah Cacanden L 305. Yang membedakan adalah dalam aksara Arjuna Wiwaha lebih cembung dibandingkan aksara Ga Cacanden L 305 yang berupa garis horizontal lurus.

Baca Juga  Kenapa Para Santri Perlu Melek Teknologi?

Analisis Kritis

Setidaknya ada dua kritikan yang saya tujukan kepada tesis ini:

Pertama, Ketika penulis membaca latar belakang yang ditulis oleh Andriyati memang masalahnya terlihat cukup jelas dengan dibuktikan beberapa literature yang ia tampilkan. Namun sepertinya kesimpulan besar yang ia hasilkan itu sama dengan kesimpulan yang dihasilkan oleh Molen dan Wiryamartana bahwa semakin mutakhir suatu aksara maka akan semakin sederhana dan mudah.

Jadi yang membedakan hanyalah cakupan penelitian yang ia lakukan. Jika Molen dan Wiryamartana meneliti aksara ‘sa’ saja dalam tiga naskah, sedangkan Andriyati lebih dari satu aksara. Yakni “A”, “Ca”, “Ga”, “Ka”, “Na” dan “Sa”.

Kedua, kaitannya dengan etika akademik, meskipun dalam kajian filologi harus menyajikan semua yang ada dalam naskah dan tidak perlu ada yang ditutup-tutupi. Namun hal itu sayangnya bukanlah inti dari penelitian ini. Ketika Andriyati mencantumkan rajah-rajah yang ada dalam naskah Cacanden, ada rajah yang terlihat sangat vulgar yaitu Rajah Kawaliwojo yang ia berkhasiat untuk membesarkan alat kelamin laki-laki.

Relevansi Terhadap Konteks Era Teknologi

Kaitannya dengan teknologi, dahulu kala manusia hidup dalam kesusahan. Namun setelah adanya teknologi dan ilmu pengetahuan semuanya berubah menjadi lebih mudah. Dulu orang pergi haji perlu waktu berbulan-bulan untuk sampai di Mekkah. Sedangkan sekarang hanya ditempuh beberapa hari saja menggunakan pesawat. Dulu orang yang berjauhan tidak bisa berkomunikasi, tapi dengan adanya handphone dan media sosial bisa melakukan interaksi kapan pun di mana pun. Jadi memang tujuan utama dari teknologi adalah untuk mempermudah kehidupan manusia.

Identitas Tesis

Judul : Naskah Naskah Merapi Merbabu: Tinjauan Atas Aksara dan Perkembangannya
Penulis : Andriyati Rahayu
Institusi : Prodi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Tahun : 2009

Avatar
3 posts

About author
Muhamad Firdaus tinggal di Jl. WIjaya Kusuma RT.04 RW.02 Kabunan Dukuhwaru Kab. Tegal. Sekarang ia menempuh pendidikan s2 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Tafsir.
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *