Review

Memahami Tiga Garis Besar dalam Seni Merayu Tuhan

4 Mins read

Layaknya seorang pengemis yang meminta-minta di setiap persimpangan. Layaknya seorang pengamen yang bersuara di setiap jalan. Dari aku yang sering meminta-minta petunjuk dan pertolongan. Dan aku yang selalu menyuarakan doa di setiap baik-buruknya keadaan. Izinkan aku untuk tetap dalam keistikamahan, agar aku terus merasakan bawa dicintai oleh-Mu adalah sebuah kenikmatan(salah satu rayuan netizen @dinne_ayudia dalam buku Seni Merayu Tuhan)

Sekilas yang terlintas saat mengingat kata seni yaitu sebuah keindahan, begitupun yang disebutkan oleh Habib Quraish Shihab. Keindahan menurut beliau mengekspresikan ruh dan budaya manusia. Sehingga mengantarnya kepada nilai-nilai luhur dalam beragam bentuk dan cara.

Saat mendengar ucapan dari para seniman misalnya. Setiap kata-katanya dirangkai dengan berbagai penggambaran yang indah dan penuh makna. Tidak jarang pula rangkaian kata itu menjadi sebuah rayuan yang kerap kali menggetarkan hati.

Kemudian, oleh Habib Husein Ja’far, sebuah seni yang ditampilkan dalam bentuk rayuan ternyata ditujukan kepada Tuhan. Bukan lagi rayuan untuk kekasih pujaan hati, tetapi rayuan untuk yang seharusnya lebih spesial di hati, yakni Sang Ilahi Rabbi.

Allah beberapa kali menunjukkan cinta-Nya kepada umat manusia, salah satunya dalam hadis qudsi disebutkan, “Wahai anak Adam, Aku sungguh mencintaimu maka demi hak-Ku di atasmu maka jadilah engkau orang yang mencintaiku”.

Layaknya hubungan dengan kekasih, maka demikian pun bentuk hubungan kita kepada Allah di mana terdapat yang mengasihi jua terdapat yang dikasihi. Sehingga untuk memperkuat rasa kasih di dalam hubungan tersebut, diperlukan adanya “rayuan”.

Rayuan-rayuan yang kita tujukan kepada Allah dapat diinterpretasikan dalam bentuk yang sangat luas. Hasil analisis yang saya dapatkan setelah memahami pemikiran Habib Husein Ja’far dalam karya beliau yang bertajuk Seni Merayu Tuhan terdapat tiga poin penting yang dapat digaris bawahi.

Baca Juga  Membaca Sekilas Tasawuf dari Ilmu Sosial

Penghambaan Diri kepada Ilahi

Para nabi saat memohon kepada Allah kerap kali mereka menyebutkan diri mereka layaknya seorang yang rendah dan penuh kehinaan. Sebagaimana saat Rasulullah Saw bersimpuh sujud kepada Allah di sepertiga malam dengan iringan tangis yang keras. Bukan lain hal-hal tersebut adalah bentuk penghambaan diri kepada Allah.

Menghamba kepada Allah berarti kita mengakui bahwasannya sama sekali tidak ada daya dan kekuatan yang kita miliki kecuali atas rida Allah. Mempercayai keberadaan Allah, mengakui kekuasaan Allah, kemudian melaksanakan segala bentuk perintah Allah dapat kita jadikan sebagai manifestasi penghambaan diri kita kepada Allah.

Lantas di lain kondisi, mengapa kita terkadang merasa sangat berat saat melakukan perintah Allah, sedangkan sebelumnya kita mengakui keberadaan Allah dan segala bentuk kuasa-Nya.

Allah pun sering kali memerintahkan kita dengan menggunakan seni dan sastra yang indah melalui firman-Nya dalam ayat-ayat Al-Qur’an, padahal bisa saja Allah cukup memerintahkan kita “Tegakkan sholat!” misalnya, mengingat hak Allah atas segala kuasa-Nya.

Sungguh keadaan demikian sebenarnya membuat kita “sungkan” dengan Allah. Sehingga, dengan senang hati seharusnya kita melakukan setiap amalan-amalan tanpa beban. Kisah Nabi Ismail saat disembelih Allah dalam bentuk domba juga salah satu manifestasi penghambaan diri kepada Allah. Bahwasanya kita pada akhirnya akan selalu mendapatkan kebaikan jika kita memberikan setulus hati kita kepada Allah, karena Allah sendiri bergantung dengan prasangka hambanya yakni kualitas penghambaan itu sendiri dan bukan pada kuantitasnya.

Penghambaan diri kepada Allah mengajak kita bahwa untuk merayu Tuhan bisa kita lakukan mulai dari paling dasar. Karena sejatinya, sebagai seorang hamba, kita barang tentu sangat membutuhkan tempat bersandar. Tempat kita berserah pun tempat kita kembali yang tidak lain hanya kepada Tuhan kita Allah Swt.

Baca Juga  Mensejajarkan Posisi Inklusif pada Perempuan dan Anak

Berislam dengan Kafah

Memeluk agama Islam bagi beberapa umat Islam adalah sebuah warisan dari sesepuh, sehingga tanpa mengetahui sebab musababnya kita menjadi muslim. Akan tetapi memaknai Islam yang kafah ialah saat kita beragama Islam secara keseluruhan dan utuh, yakni ketika kita membandingkan agama kita dengan agama lainnya maka kita menemukan kemantapan yang kuat terhadap agama yang telah kita pilih.

Saya teringat pada salah satu kesempatan saat belajar tashrifan dalam memahami nahwushorof, bahwa Islam berakar pada kata “aslama” yang dalam bahasa Arab jika diterjemahkan bermakna penyerahan.

Artinya, beragama Islam menjadi wujud penyerahan diri kita. Bahwa kita pasrah kepada Yang Maha Kuasa atas kebesaran yang dimiliki-Nya terhadap diri kita. Karena telah disebutkan innallaha ya’lamu maa laa ta’lamuun yakni Allah lebih tau apa-apa yang baik dan buruk untuk kita.

Melalui buku Seni Merayu Tuhan, Habib Husein Ja’far Al Hadar mengingatkan bahwa berislam yang kafah bukan hanya perihal ritual ibadah kepada Allah Swt saja, tetapi secara sosial spiritual dengan sesama makhluk Allah.

Cinta Allah itu selalu tegak lurus kepada Allah. Sehingga dalam berislam yang kafah, praktik ritual dan sosial harus selalu bergandengan. Hal tersebut yang kemudian menjadikan keberadaan Islam ialah rahmatan lil ‘alamin.

Agama Islam memberikan perhatian penuh mengenai kebutuhan umat manusia saat berinteraksi dengan sesamanya. Pun menganjurkan supaya kita memperlakukan sesama layaknya kita memperlakukan diri kita sendiri (halaman 124).

Hal demikian yang menunjukkan berislam kafah, yakni secara utuh keseluruhan perihal hablul minallah dan hablul minannaas.

Dakwah Islam Cinta

Berdakwah ialah mengajak, tentunya dalam ihwal kebaikan. Orang yang berdakwah maka ia menyampaikan ilmu yang ia miliki serta telah diamalkannya atau diusahakan untuk diamalkan.

Baca Juga  Bisakah Puritanisme Bersanding dengan Pluralisme?

Seperti yang sering kita ketahui, dalam salah satu riwayat hadis Rasulullah Saw, menyampaikan kepada kita sebagai umatnya untuk berdakwah, menyampaikan kebaikan meskipun hanya satu ayat.

Tidak masalah hanya satu ayat jika dari awal kita niati dakwah sebagai bentuk untuk merayu Tuhan, sehingga niat kita murni karena Allah Swt. Akan lebih baik lagi jika kita berdakwah dengan istikamah dan berlandaskan pada cinta.

Islam sejatinya ada sampai sekarang karena Rasulullah Saw, keluarga, sahabat, tabiin, dan para ulama menyampaikan Islam yang dibersamai dengan rasa cinta. Sehingga, senantiasa menumbuhkan kebahagiaan bagi umat Islam.

Adanya dakwah Islam cinta, mengajak kebaikan yang telah kita lakukan atau sedang kita usahakan sebagai salah satu penunjuk bahwa Islam adalah keindahan dan kebahagian yang dapat kita lihat dari setiap sisi manapun.

Oleh karenanya, sebagai muslim, sudah barang tentu akan lebih baik jika kita melakukan setiap kebaikan sebagai bentuk merayu Tuhan, bukan lagi perihal kewajiban Allah, sunah Rasul ataupun surga-neraka.

Merayulah kepada Tuhan terus-menerus dalam kebaikan apapun, hingga pada akhirnya langkah tersebut mampu mengetuk rahmat Allah, pun syukur tiada tara jika kita memperoleh bonus masuk surga Allah yang abadi.

Judul Buku: Seni Merayu Tuhan,  Penulis: Husein Jafar Al-Hadar, Penerbit: Mizan, Tebal: 228 halaman, Terbit: Maret 2022, ISBN: 978-602-441-255-5.

Editor: Yahya FR

Fafi Masiroh
1 posts

About author
Mahasiswi Universitas Negeri Semarang & Pesantren Riset Al-Muhtada, Semarang
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

2 Comments

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *