Tafsir

Tafsir Al-Mizan dalam Tafsir Al-Azhar

4 Mins read

Publik telah cukup familiar dengan fakta tentang banyaknya kutipan dalam Tafsir al-Mishbahkarya Quraish Shihab atas pendapat al-Thabathaba’i — yang seorang ulama Syiah — dari kitabnya, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (dari sini muncul mispersepsi sebagian orang bahwa Quraish Shihab mengajarkan paham Syiah).

Akan tetapi, publik tidak banyak tahu bahwa sebelum al-Mishbah, tafsir paling monumental Nusantara lainnya, yakni Tafsir al-Azhar, yang ditulis oleh Hamka, juga merujuk al-Mizan karya al-Thabathaba’i — walaupun tidaklah sering sebagaimana al-Mishbah.

Fakta ini menarik mengingat al-Mizan dan Tafsir al-Azhar ditulis dalam rentang masa yang beririsan atau bahkan kurang lebih sama. Al-Thabathaba’i menyusun al-Mizan (yang umumnya tercetak dalam 20 jilid) antara 1954 sampai 1972. Sedangkan Hamka menyusun Tafsir al-Azhar (umumnya tercetak dalam 10 jilid) antara 1958 sampai 1966, namun terus memperbaiki dan menyempurnakannya hingga 1978.

Itu artinya Tafsir al-Azhar relatif sudah rampung pada saat al-Mizan selesai(tentulah wajar bila Tafsir al-Mishbah — yang disusun pada tahun-tahun di sekitar pergantian milenium ketiga — dapat menukil lebih banyak dari al-Mizan daripada Tafsir al-Azhar).

Sebagaimana juga banyak mufasir, Hamka banyak mengambil dari berbagai kitab tafsir. Sebagian tafsir itu lebih berpengaruh terhadap Tafsir al-Azhar dibandingkan sebagian yang lain.

Di antara yang banyak berpengaruh adalah Tafsir al-Manar yang disusun Muhammad Rasyid Ridha, dan di antara yang tidak banyak dikutip adalah al-Mizan karya al-Thabathaba’i. Karena termasuk yang tidak banyak dikutip, maka wajar saja bila publik umumnya tidak mengetahui keterbukaan Hamka terhadap tafsir-tafsir Syiah.

Rujukan Tafsir Ulama Syiah dalam Kitab Tafsir Al-Azhar

Saat tulisan saya sebelumnya di IBTimes.ID, “Syiah dalam Pandangan Hamka” (judul dari redaktur), menyebut bahwa Hamka dalam al-Azhar juga menggunakan beberapa literatur tafsir Syiah, sebagian pihak — seperti terekam di media sosial — seolah tidak percaya dan menyangkal. Apa benar Hamka mengutip tafsir-tafsir itu?

Baca Juga  Dakwah Nabi Nuh (2): Banjir Besar dan Tenggelamnya Anak-Istri Nabi Nuh

Hamka sebetulnya tidak saja tidak mempersalahkan akses terhadap tafsir Syiah, namun juga telah mempraktikkannya. Tulisan saya menyebut keterbukaan Hamka pada literatur tafsir Syiah sebagai bermula dari pertemuan dengan orang Syiah di Mekah yang diperkenalkan oleh Sayyid Asad Syahab, pada 1973 (tepatnya Januari 1973/Zulhijah 1392).

Sebagian berlogika bahwa Hamka sudah menyelesaikan tafsirnya jauh sebelum 1973, sehingga memandang mustahil pengutipan itu terjadi. Tafsir al-Azhar memang relatif selesai pada 1966, namun setelah itu Hamka membuat perbaikan demi perbaikan untuk penyempurnaan.

Sebenarnya, dalam catatan bibliografisnya, Hamka tidak saja bercerita tentang bahwa pada tahun 1973 itu ia dikirimi dari Teheran tiga buah tafsir Syiah, namun juga menyampaikan timbulnya persaudaraannya dengan “perwakilan kaum Syiah” serta alasan mengapa menggunakan tafsir-tafsir Syiah.

Ketika Hamka berhaji pada tahun itu, Asad Syahab memperkenalkan dan memuji perjuangan Hamka di hadapan seorang perwakilan kaum Syiah di Mekah. Lanjutan dari pertemuan itu, “timbullah ukhuwah islamiah yang mesra”, dan sekembalinya Hamka ke Tanah Air, datanglah kiriman tiga tafsir: al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (al-Thabathaba’i), Ala’ al-Rahman fi Tafsir al-Qur’an (Jawad al-Balaghi), dan al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (al-Sayyid al-Musawi al-Khu’i).

Hamka menyebut tambahan referensi tiga tafsir ini “amat penting” sehingga tak aneh bila Hamka memasukkan ketiganya dalam daftar 28 tafsir (di antara lebih banyak lagi sumber) yang dijadikan perbandingan dan ditelaah oleh Hamka sekeluar dari tahanan.

Ketika Tafsir Al-Azhar Merujuk Tafsir Al-Mizan

Dari sini wajar pula bila kita kemudian mendapati rujukan Tafsir al-Azhar atas al-Mizan. Berikut adalah dua contoh momen ketika Tafsir al-Azhar secara eksplisit merujuk atau menggunakan al-Mizan yang ditulis oleh al-Thabathaba’i — yang Hamka akui sebagai “ulama Syiah yang terbesar di zaman kita”.

Baca Juga  Dua Pesantren Muhammadiyah Raih Penyetaraan Ijazah dari Al-Azhar

Pertama, saat membahas siapakah yang hendak disembelih oleh Nabi Ibrahim a.s. apakah Ismail atau Ishaq pada peristiwa yang sering dikatakan menjadi awal mula syariat penyembelihan binatang ternak sebagai kurban.

Perbedaan dan tarjih pendapat tentang ini termaktub dalam banyak kitab klasik, termasuk kitab tafsir — perbedaan pendapat yang Hamka jelaskan sebagian telah terjadi sejak zaman sahabat Nabi. Hamka mengulasnya saat usai menafsirkan surah ash-Shaffat ayat 113.

Setelah menguraikan kecenderungan tafsir-tafsir klasik pada pendapat bahwa yang hendak disembelih adalah Ismail a.s., Hamka menguatkan pendapat ini dengan mengutip tafsir-tafsir mutakhir, dengan mengatakan: “Penafsir-penafsir zaman sekarang, sebagaimana al-Qasimi dalam tafsirnya, Mahasin al-Ta’wil, dan Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, dan Syekh Thanthawi Jauhari dalam tafsirnya al-Jawahir, dan tafsir dari ulama Syiah yang terbesar di zaman kita, yaitu Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i yang bernama al-Mizan, semuanya menguatkan pendapat yang nyaris disembelih itu ialah Ismail.”

Di sini, tampak Hamka merujuk pada berbagai tafsir kontemporer lintas manhaj, termasuk al-Mizan. Tafsir al-Mizan sendiri sebenarnya (kendati terbuka pada rujukan Sunni) sangat membela paham Syiah pada saat menafsirkan ayat-ayat tertentu yang sentral bagi doktrin Syiah (Cek penelitian saya terdahulu dalam buku Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an).

Kedua, saat membahas dua ayat tentang Nabi Idris a.s., yaitu pada surah Maryam ayat 56-57. Saat menafsirkan dua ayat ini, Hamka menukil berbagai riwayat, pendapat, serta cerita yang ada dalam tafsir al-Qurthubi, al-Qasimi, Thanthawi Jauhari, dan Sayyid Quthub, serta al-Thabathaba’i.

***

Di tengah menguraikan berbagai cerita ajaib tentang Idris a.s., Hamka menyatakan, “Bertemu pula ceritera yang lain di dalam Tafsir al-Mizan, karangan ulama Syiah yang terkenal Sayyid Muhammad Husain al-Thabathabai, suatu riwayat di dalam kitab mereka yang bernama Kamaluddin wa Tamamun-Ni‘mah dengan sanadnya dari Ibrahim bin Abil-Bilad dari ayahnya, dan ayahnya itu menerima dari al-Baqir dalam sebuah hadis yang panjang…”

Baca Juga  Buya HAMKA: dari Panji Masyarakat Hingga ke Hati Umat

Hamka meringkas cerita yang ada dalam al-Mizan, yang bersumber dari “hadis” dari Imam Muhammad al-Baqir, salah satu imam yang dipandang maksum oleh Syiah. Sabda seorang imam maksum dipandang oleh kaum Syiah juga sebagai “hadis”, dan Hamka seperti ringan saja menyebut riwayat dari Imam al-Baqir sebagai “hadis”.

Walaupun Hamka berniat meringkas, ringkasan cerita tentang Nabi Idris a.s. yang diambil dari al-Mizan menyita tidak kurang dari empat halaman dalam Tafsir al-Azhar. Di al-Mizan sendiri, riwayat dari al-Baqir sendiri juga dikutip dalam empat halaman.

Dua contoh ini tentu jugalah contoh bagaimana suatu karya tafsir Sunni merujuk karya tafsir Syiah namun tidak dalam rangka menyalahkan pendapat atau riwayat yang disebut dalam tafsir Syiah.

Hal serupa lebih banyak lagi kita temukan dalam Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab. Yang sebaliknya, yakni contoh bagaimana suatu tafsir Syiah merujuk tafsir Sunni namun tidak dalam rangka menyalahkan pendapat atau riwayat yang disebut dalam kitab tafsir Sunni, dapat mudah ditemukan dalam al-Mizan karya al-Thabathaba’i, yang tak jarang (di antaranya) mengutip riwayat yang ada di tafsir al-Durr al-Mantsur karya al-Suyuthi.

Dalam dunia tafsir, kita mudah sekali menemukan contoh kutipan atas tafsir dari mufasir yang berlatar belakang teologis berbeda (bahkan termasuk nukilan mufasir Salafi dari tafsir Muktazilah). Mengambil pandangan dari kitab yang ditulis oleh mufasir dengan manhaj atau mazhab yang berbeda, merupakan hal yang biasa dalam khazanah tafsir al-Qur’an. Merujuk pada tafsir yang disusun oleh seorang mufasir tidaklah sama dengan mengajarkan doktrin atau paham keagamaan kelompoknya.

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Penulis adalah pengkaji tafsir Sunni dan Syiah.
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *