Masyarakat lebih mengedepankan prasangka yang berujung konflik dalam menanggapi perbedaan. Dan eskalasi konflik dari tahun ke tahun meningkat karena tradisi dialog gagal dibangun di dalam struktur masyarakat kita.
Mengapa masyarakat kita menjadi begitu pemberang terhadap perbedaan? Padahal sejarah mengajarkan bahwa kita bangsa Indonesia dibangun dari keanekaragaman. Keragaman yang membuat bangsa dan negara ini kokoh. Bahkan kebangkitan bangsa ini di awal abad 19 ditandai dengan kesadaran bahwa keragamanlah yang menyatukan bangsa ini.
Komunikasi, Tradisi Langka dalam Keluarga
Masyarakat kita adalah masyarakat yang paternalistik. Itu artinya ketokohan sangat diagungkan. Masyarakat akan sangat patuh kepada pimpinan. Tidak ada keraguan, pertanyaan apa lagi sanggahan.
Di era sekarang ini, materi menjadi ukuran kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga. Setiap anggota keluarga sibuk dengan urusannya masing-masing. Orang tua sibuk dengan pekerjaannya, anak-anak sibuk dengan pendidikan dan dunia pertumbuhannya sendiri.
Waktu untuk bertemu dan berinteraksi dengan keluarga adalah waktu yang tersisa setelah rutinitas seharian. Dan di saat itupun, masing-masing masih saja tenggelam dengan gawai di genggaman. Hanya sedikit waktu, tenaga dan perhatian yang tersisa untuk membangun komunikasi antar individu di dalam keluarga. Tidak ada waktu yang cukup untuk memupuk fondasi dan nilai-nilai kekeluargaan.
Orang tua terkadang abai dalam memahami bahwa membangun komunikasi sangat penting untuk perkembangan emosi anak. Menyampaikan isi hati, perasaan atau pendapat kepada orang tua bukanlah kebiasaan yang lazim dalam hubungan orang tua dan anak. Berbicara dari hati kehati diantara anggota keluarga mungkin dilakukan, tetapi bukanlah tradisi yang umum dikerjakan.
Di dalam keluarga, anak-anak wajib patuh kepada orang tua atau mereka yang lebih tua. Anak-anak tidak ditanya apakah mereka setuju atau tidak dengan kata-kata, nasihat atau perintah orang tua. Apabila anak-anak memiliki perbedaan pendapat terhadap sesuatu hal, maka orang tua lebih sering mendorong anak-anak untuk mengalah, atau menyimpan perbedaan itu.
Akibatnya anak-anak tidak memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat yang berbeda. Alasannya adalah untuk menghindari pertengkaran dalam keluarga. Padahal, pertengkaran terkadang diperlukan untuk mengekspresikan ide, gagasan, atau pendapat. Pertengkaran yang sehat perlu dilakukan agar anak-anak berkesempatan untuk belajar mengelola emosi ketika menyampaikan perbedaan.
Pada akhirnya anggota keluarga tidak terbiasa mengelola perbedaan pendapat. Mereka tidak terbiasa membicarakan ide atau pendapat yang berbeda untuk berdiskusi mencari solusi, membuat kesepakatan, atau berkompromi. Dialog seringkali menjadi tradisi berkomunikasi yang kurang ditekankan dalam komunikasi keluarga.
***
Maka, apabila di kemudian hari mereka bertemu dengan orang lain yang memiliki ide atau pendapat yang berbeda, maka reaksi yang muncul akan beragam. Antara lain, memendam perbedaan ide atau pendapat mereka sendiri yang berbeda, menyampaikan ide atau pendapat dengan cara yang canggung, atau justru bersikap apatis karena tidak enak hati.
Pendidikan Dialogis
Pendidikan dialog pada dasarnya mendorong Proses Learning bukan sekedar Studying. Di sekolah, sistem pembelajaran di ruang kelas kita masih bersifat monolog. Guru mengajar dan murid berkewajiban untuk mendengarkan, patuh dan mengerjakan tugas yang diberikan guru.
Murid yang bertanya seringkali dianggap lambat memahami pelajaran, dan cenderung dianggap sebagai murid yang bodoh. Murid yang baik adalah murid yang patuh dan pintar. Pembelajaran yang paling dominan adalah menghafal.
Kurangnya kecerdasan berdialog ditambah dengan kebiasaan menghafal, cenderung membuat anak kurang memiliki keberanian untuk menyampaikan pertanyaan kepada para guru. Di samping itu para pengajar mungkin secara tidak sadar kurang menekankan pentingnya bertanya, atau menggali pertanyaan dari siswa terhadap suatu objek. Akibatnya anak-anak kurang memiliki gairah untuk sekedar mencari tahu, menyampaikan ide atau berinovasi terhadap pemecahan masalah. Anak-anak tidak memahami pentingnya bertanya.
Di sisi lain, padatnya kurikulum dan banyaknya tugas yang lebih bersifat administratif membuat para guru tidak memiliki banyak waktu untuk mengembangkan tradisi berdialog bagi para muridnya di dalam kelas. Para guru juga diharuskan mampu memenuhi angka kredit yang ditetapkan dalam kedinasan. Tidak jarang mereka memandang profesi pengajar sebagai sebuah pekerjaan semata, bukan “panggilan jiwa”.
Pendidikan diharapkan dapat mengarahkan anak-anak mengeksplorasi kemampuan dirinya agar mencapai keseimbangan kecerdasan intelektual, emosional, sosial, moral, dan spiritual.
Dan hal itu dapat ditumbuhkan apabila anak-anak didorong untuk tidak hanya menghafal dalam belajar. tetapi juga memahami, menelaah dan menjabarkan. Metode untuk mendorong hal ini adalah dengan dilakukannya dialog secara interaktif di antara murid dan guru.
Di dalam dialog, anak-anak akan belajar untuk mengamati, menghubungkan atau menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan suatu permasalahan.
Dari sini anak-anak juga akan belajar menanggapi perbedaan ide, gagasan maupun pendapat. Menilai dan menghargai perbedaan serta mengelola emosinya dalam dinamika perdebatan yang sehat.
***
Tradisi berdialog yang sehat akan membentuk karakter anak. Karena di dalam dialog, anak-anak didorong partisipasinya untuk bukan saja sekedar studying tetapi juga learning.
Sayangnya yang terjadi di lapangan, masih jauh panggang dari api.
Yang berbahaya dari tidak mengerti pentingnya bertanya adalah, timbulnya miskomunikasi, kesalahpahaman, atau salah kaprah. Dan perilaku ini akan terbawa dan melekat di alam bawah sadar mereka, sampai dewasa.
Tidak memiliki kebiasaan berdialog. Tidak cukup cerdas menyadari bahwa dirinya tidak paham. Tidak mengerti pentingnya bertanya. Tidak pintar dan tidak terbiasa menyampaikan gagasan, ide, atau pendapat. Tidak terbiasa berbicara mengekspresikan diri (speak up). Dan tidak cerdas dalam mengelola emosi ketika menemui perbedaan pendapat, atau ketika menyampaikan ide, gagasan atau pendapat.
Alasan-alasan inilah yang barangkali menyebabkan masyarakat kita tidak dewasa dalam memandang perbedaan gagasan, ide atau pendapat. Alhasil, peristiwa yang terjadi di permukaan masyarakat kita didominasi adanya gesekan, pertengkaran, kegaduhan, baku hantam, huru hara, serta perilaku kekanak-kanakan lainnya.
Bersikap Kritis Sekaligus Toleran
Setiap anggota masyarakat perlu mendidik dirinya sendiri untuk kritis sekaligus toleran terhadap perbedaan ide, gagasan atau pendapat. Di sinilah pentingnya bertanya atau bila perlu menggali pertanyaan, dan memiliki kesabaran sampai menemukan jawaban dari perbedaan itu.
Belum terlambat untuk memahami bahwa perbedaan itu keniscayaan. Perbedaan adalah anugerah bagi kita untuk saling belajar menjadi pribadi yang kritis, demokratis, toleran dan dewasa dalam menghadapi perbedaan. Perbedaan adalah media bagi bangsa ini bertumbuh dan besar.
Editor: Dhima Wahyu Sejati