Oleh : Akmal Akhsan Tahir*
Sejatinya sebuah peradaban timbul dari perdebatan yang diskursif, setiap ide punya hak untuk terus bertarung dalam pacuan hidup manusia. Dialektika peradaban ini terbentuk dari tesis-antitesis-sintesis hingga pada waktunya nanti argumentasi yang kuat akan merajai peradaban. Demikianlah zaman berkembang dalam pertarungan pikiran, mereka yang hanya mengucapkan “suara sumbang” tak akan memenangkan pertarungan. Suatu argumentasi/pandangan akan bertahan tergantung pada sejauhmana ia mampu memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk yang dinamis. Demikianlah zaman bergulir dengan perdebatan yang diskursif hingga kita tiba pada abad 21, abad yang dihuni dengan perkembangan yang pesat dengan ciri materialis, sekalularisttik dan positivistik.
Diskursus tentang manusia pernah dipantik oleh filsuf Socrates dengan pernyataan “kenalilah dirimu sendiri”. Pernyataan yang diajukan Socrates tersebut berhasil membawa manusia pada belantara diskurus kemanusiaan. Plato dan Aristoteles melanjutkan dialektika peradaban dan sejak dari keduanya kemasyarakatan lalu menjadi objek penelitian sendiri. Menurut mereka susunan masyarakat mencerminkan susunan kosmos yang abadi, manusia wajib menyesuaikan diri dengan susunan tersebut agar selamat, bila tidak, ia telah menghancurkan dirinya sendiri. Pemikiran ini telah membawa manusia untuk segera menghadirkan konsep kehidupan yang bisa membawanya hidup bersama dengan alam semesta.
Di Eropa, pemikiran selalu berkembang dari satu diskursus kepada diskurus lainnya. kepercayaan lama dituntut, pemahaman bahwa semua yang berada di bawah kolong langit telah diatur oleh Tuhan secara absolut. Locke, Berkeley, Hume ,Montesquieu, Voltaire, Diderot, d’Alembert dan Rousseau telah tampil sebagai “orator” perubahan zaman saat itu. Zaman berlanjut, Revolusi Prancis tahun 1789 M yang kemudian diikuti revolusi baru tahun 1830 dan 1848 telah berhasil meruntuhkan struktur feodal yang menekan menuju demokratisasi.
Orde ini seolah kejutan besar bagi peradaban yang telah lama terjerembab dalam struktur dogmatik gereja. Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa masa baru akan menggantikan peradaban yang disangka sudah absolut dan final. Masa itu adalah “deklarasi” kebebasan manusia atas dogma Tuhan. Seiring kebebasan tersebut, narasi besar telah digaungkan, perubahan pemikiran ini hidup dalam perdebatan. Pada kondisi demikian sosiologi lalu lahir sebagai ilmu pengetahuan.
Optimisme besar bahwa segera datang zaman baru yang lebih baik membawa manusia pada upaya untuk melahirkan indutrialisasi. Sarjana ilmu alam meyakini bahwa fase ini akan melahirkan kesejahteraan bagi peradaban manusia, demikian juga bagi para ilmuan sosial yang yakin bahwa hukum-hukum sosial akan segera ditemukan. Diskursus kembali terjadi, lahirnya Revolusi Prancis pada abad 19 telah membawa kekhawatiran baru dalam masyarakat. Pada kondisi ambiguitas demikian, tampil dua aliran yang saling bertentangan. Pertama, aliran konservatif yang menginginkan manusia untuk kembali pada zaman feodal dan dogma agama. aliran kedua ialah aliran progresif yang secara terbalik tidak menginginkan kembali pada zaman feodal. Beberapa tokoh progresif seperti, Saint Somon, Charle Fourrier, Pierre Joseph Proudhon dan Auguste Comte meramalkan bahwa abad 19 merupakan abad ‘industri’ dan terbentuknya orde sosial baru.
Pada abad ini agama bukan lagi kekuatan yang melembaga semua bidang masyarakat, melainkan kecerdasan manusia. Masyarakat baru akan dibangun atas dasar suatu perencanaan rasional yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dialektika yang ada telah membawa ilmu sosial terus melebarkan pengaruhnya ke seluruh Eropa, para filsuf sosial dan mazhab telah mermunculan dan berkembang dimana mana, hingga kini yang paling terkenal adalaha mazhab Frankfurt. Lembaga ini didirikan oleh Felix Weil pada tahun 1923, dan mengalami puncak keemasan ketika Max Horkheimer menjadi direktur pada tahun 1930 M. Teori kritis merupakan visi misi dari Frankfurt dalam melakukan aksi pemikiran para tokoh-tokohnya. Lembaga ini semakin berkembang dan kuat dengan dukungan sarjana-sarjana dari berbagai bidang keahlian, seperti Horkheimer ahli dalam Filsafat Sosial, Friedrich Pollock (Ekonomi), Leo Lowenthal (Sosiologi, kesusasteraan), Walter Benjamin (Kesusasteraan), Theodor W. Adorno (Musikologi, Filsafat, Psikologi, Sosiologi), Erich Fromn (Psikoanalisa), Harbert Marcuse (Filsafat), Edmund Husserl (Filsafat), dan Jurgen Habermas (Filsafat).
Pada praktiknya Frankfurt membangun teori kritis yang lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran Marx dan Hegel, misalnya teori Marx dalam melihat hubungan-hubungan produksi dan bentuk-bentuk pengorganisasian sosial serta ketergantungan produsen dengan bukan produsen. Sementara Hegel memandang kehidupan sosial sebagai suatu kesatuan yang terorganisir, berkembang menuju arah yang pasti. Pemikiran yang dibangun di Frankfurt telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Pada tahun 1970-an pengkajian mengenai ilmu-ilmu sosial terus digalakkan, perihal ini dikarenakan ilmu sosial tak ingin kalah oleh ilmu alam dan ekonomi yang lebih dulu mendapatkan kerangka berfikir matematisasi.
Manusia Modern dan Problematikanya
Bersamaan dengan revolusi industri, manusia memasuki zaman baru : modernisasi. Terciptanya mesin manufaktur, pertanian, lokomotif dan otomotif, serta transportasi adalah cikal bakal infrastruktur modern yang dikenal saat ini. Akal dan panca indera telah menghantarkan manusia pada gerbang peradaban yang sebelumnya tidak dapat disangka-sangka akan terjadi.
Kehadiran modernitas digadang-gadang oleh para pelakunya sebagai sebuah solusi atas kemandegan berfikir dunia. Pada kenyataannya, modernitas dengan segala konsekuensinya justru menghadirkan persoalan-persoalan baru. Kehadiran teknologi dan informasi sebagai efek dari modernitas justru membawa manusia pada penjara baru, nilai humanisme kian raib, manusia dibendakan dan begitu juga sebaliknya… (Bersambung)
*) Kepala Madrasah Digital Yogyakarta