Perspektif

Saatnya Santri Beraksi

3 Mins read

Dahulu, zaman saya kuliah pernah kami mau shalat berjamaah. Lalu ditunjuklah orang yang berpenampilan religius untuk menjadi imam, dan ia langsung bersedia. Jujur, saat itu saya malah fokus pada bacaannya. Bacaan shalatnya tidak tepat, dari mulai makhraj yang salah, panjang pendek yang terbalik, hingga hukum-hukum tajwidnya. Dia adalah seorang aktivis komunitas keagamaan di kampus. Padahal, di ruangan itu ada teman kami yang dulunya santri, hanya saja dia tidak ditunjuk, dan tidak menunjukkan diri.

Jurusan saya adalah jurusan eksak, yang mana orang berpikir kami ini jauh dari agama. Maka dibuatlah sebuah program pendalaman keagamaan dari fakultas. Berisi kelas mengaji dan materi keagamaan. Mentornya siapa? Kebanyakan aktivis keagamaan.

Meskipun perekrutan mentor ini dibebaskan untuk umum, namun kebanyakan yang menjadi mentor adalah aktivis komunitas keagamaan. Bukankah lebih enak yang mengajarnya adalah santri yang jauh lebih paham dan benar bacaan Qur’an-nya?

Santri pada Ke mana?

Dalam berbagai kesempatan dan kegiatan kampus, acara keagamaan seringkali diisi oleh komunitas keagamaan di kampus. Bahkan aliansi beasiswa dari pemerintah yang saya dapatkan juga dipimpin oleh mereka.

Para aktivis tersebut, selain penampilan religiusnya meyakinkan, shalat sunnah dan ngajinya terlihat oleh semua orang, rajin membuat kegiatan dan pengajian keagamaan. Sehingga kegiatan mereka masif dan lebih terlihat agamis, bahkan dibanding para santri pondok.

Lantas santri-santri pondok pesantren kemana? Saya tak menyalahkan santri, karena di pondok para santri juga memiliki banyak kegiatan, sehingga mereka tidak bisa selalu aktif di kegiatan keagamaan kampus. Selain itu, di pondok mereka juga belajar untuk tawadhu.

Ke-tawadhu’-an yang Pasif

Santrii selalu berpikir bahwa mereka bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa. Ilmunya terlalu sedikit untuk dibagikan, kemampuannya terlalu rendah untuk ditunjukkan. Mereka paham betul bahwa orang yang jauh lebih alim dan paham agama itu banyak, sehingga mereka memilih untuk diam.

Baca Juga  Santri Mendunia: Membawa Islam Indonesia ke Kancah Global

Sejauh ini, tidak pernah saya temui santri yang ngaji tadarus quran di dalam kelas keras-keras, tidak ada santri yang mengajukan diri jadi imam shalat, bahkan jika diminta. Tidak ada santri yang mau unjuk diri memperlihatkan apa yang diketahuinya, kecuali membenarkan yang keliru.

Tidak ada santri yang menunjukkan dirinya sering shalat sunnah atau tidak, tidak ada yang tau mereka puasa sunnah, dan tidak ada yang tau hafalan kitab atau qurannya sudah berapa. Tidak ada santri yang ingin dipandang sebagai orang yang paham dalam agama dan berdakwah. Dakwah adalah suatu tuntutan yang jika tidak disampaikan terjadi kemunkaran.

Bagi santri, selama masih ada orang lain yang sanggup dan mau, mereka lebih baik diam. Karena apa? Karena tanggung jawab sebagai pendakwah itu berat, bukan tidak mau. Tapi tidak semua orang mampu. Dan saya yakin ulama yang mengambil tanggung jawab itu bukan karena mereka ingin, tapi karena keadaan mengharuskan mereka untuk menyampaikan kebenaran.

Realita yang Terjadi Saat Ini

Dilema santri adalah orang luar berpikir santri itu bisa apa apa, padahal mereka merasa tidak bisa apa-apa. Jadi banyak dari mereka tidak mau unjuk gigi, bukan karena apatis, namun karena sadar tidak memiliki ilmu yang cukup. Namun sebaliknya, para aktivis komunitas keagamaan dituntut untuk selalu show up karena mereka sedang melakukan marketing dan branding.

Apa yang dipasarkan? Ya kelompok mereka, agar peminatnya banyak. Apa yang di-branding-kan? Ya diri mereka sendiri dan kelompoknya, sehingga orang awam berpikir bahwa orang yang paham agama itu ya seperti mereka, kalau mau belajar agama ya kepada mereka saja.

Mereka mem-branding diri mereka dengan sosok religius, pintar, aktif, rapi, dsb. Marketing dilakukan dengan mengikuti seluruh kegiatan kampus, aktif dalam setiap sudut kampus, masjid, komunitas eksak, komunitas beasiswa, mengambil tanggung jawab dalam banyak kegiatan.

Baca Juga  Bagaimana Pesantren Menjawab Tantangan Bonus Demografi?

Sedangkan santri, banyak yang sibuk dengan urusan pondoknya, tidak terlihat di kampus, tapi terlihat di pondok. Penampilannya, sarungan, rambut gondrong, sederhana, tidak terlihat rajin, tidak terlihat rapi. Kemampuan debatnya disembunyikan, karena mereka tau ilmu bukan untuk dipamerkan dalam perdebatan. Perdebatan yang baik adalah untuk saling belajar satu sama lain dan menerima kebenaran.

Baiknya Harus Bagaimana?

Namun melihat fenomena sekarang ini, sepertinya santri harus mengubah konsep tawadhu yang selama ini dianut. Tawadhu bukan berarti berdiam diri dan tidak mengambil porsi, jika suatu keadaan sudah diisi oleh orang orang yang belum paham agama, maka mereka harus mau ambil alih.

Santri yang seharusnya mengisi masjid kampus dan mengadakan kajian. Kenapa? Karena santri sudah memiliki basic-nya, memahami berbagai macam ilmu yang bersumber langsung dari kitabnya.

Di luar kampus, santri-santri harus banyak mengambil porsi, sesekali menjadi imam bukanlah sesuatu yang salah. Membuat kajian dan berbagai kegiatan untuk mengajarkan ilmu agama. Membuat komunitas di luar pondok untuk mengajak lebih banyak orang belajar.

Santri juga harus memasuki ruang-ruang digital. Meskipun sekarang sudah banyak, namun masih kalah masif dibanding yang lain. Ini bukan masalah bersaing, namun fakta bahwa santri lebih memahami agama membuat mereka harus mengambil tanggung jawab ini.

Meski kini sudah banyak kyai, gus, dan ning yang memasuki ruang digital, masih banyak yang mengambil di ranah pemikiran. Sedangkan banyak orang awam butuh ranah praktis. Tentang fikih, ngaji quran, bahasa arab, dll. Orang yang baru belajar agama akan lebih tertarik pada hal-hal yang mudah dipahami. Kajian dengan isu terkini yang pembahasannya ringan dan mudah dijalankan. Kajian dengan kemasan millenial dan modern.

Baca Juga  Pengalaman Nonton "Mekkah I'm Coming" yang Tak Kalah Lucunya

Saya sendiri membuat kelas tahsin, bukan karena saya ahli, awalnya hanya karena saya ingin mencari teman ngaji di perantauan. Saat pandemi ini saya buka kelas tahsin online. Dari situlah saya mulai mengamati bahwa banyak sekali kelas dan kajian online tapi pengajarnya bukan dari kalangan santri. Tahsin quran online, belajar bahasa arab online, belajar fikih online, dll.

Dimana para santri? Apa yang akan terjadi jika orang yang belum begitu benar ngaji Quran-nya lalu mengajar ngaji? Apa yang akan terjadi jika orang yang belum paham agama mengajarkan agama? Bukankah kini sudah saatnya santri beraksi?

Editor: Wulan
Avatar
5 posts

About author
Mompreneur, gusdurian, founder and teacher tahsinonlinebenome
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds