Falsafah

Eksistensi Tuhan: Argumentasi Ontologis dan Kosmologis

3 Mins read

Argumen ontologis adalah membuktikan dengan membahas hakikat segala sesuatu yang ada. Sedangkan argumen kosmologis adalah membuktikan berdasarkan fakta atau klaim mengenai alam semesta. Kedua argumentasi ini biasa digunakan dalam membuktikan keberadaan Tuhan. Lalu bagaimana sebenarnya pembahasan kedua argumentasi ini mengenai eksistensi Tuhan?

Eksistensi Tuhan

Pergumulan pencarian Tuhan selalu hadir dalam tiap sejarah umat manusia. Meskipun begitu, tidak semua orang memahami secara esensial keberadaan Tuhan itu sendiri. Bahkan, beberapa kalangan melakukan penolakan atas eksistensi Tuhan.

Beberapa di antara mereka berangkat dari pengalaman kebingungan mencari Tuhan mana yang benar di antara sekian banyak Tuhan-Tuhan dalam beragam agama. Juga ada pula yang didasarkan atas ketidaktahuan, kekecewaan, hingga anggapan bahwa agama dan Tuhan adalah ilusi dan pelarian manusia.

Fenomena ateisme sendiri bukanlah barang baru bagi kita. Sejak zaman dahulu, ateisme telah memiliki sejarahnya sendiri. Untuk melawan ateisme, beberapa agamawan berusaha untuk mengajukan argumentasi-argumentasi mengenai eksistensi Tuhan.

Argumentasi ini mereka kemukakan selain untuk membela keimanan kepada Tuhan, juga untuk membalikkan keyakinan ateis menjadi beriman kembali. Dua di antara argumentasi-argumentasi mengenai eksistensi Tuhan ialah argumen ontologis dan argumen kosmologis.

Argumentasi Ontologis

Ontologi sendiri sejatinya membahas hakikat segala sesuatu yang ada. Dalam konteks argumentasi eksistensi Tuhan, argumen ini bertitik tolak pada ontologi Tuhan itu sendiri. Artinya, pembahasan ini berfokus pada hakikat apa yang disebut sebagai “Tuhan”. Argumen ontologis ini pertama kali dikemukakan oleh St. Anselmus (1033-1109 M).

Anselmus mengemukakan bahwa definisi “Tuhan” ialah suatu “wujud” yang tidak dapat dipikirkan lagi sesuatu yang lebih besar daripadanya. Dengan kata lain, bagi Anselmus, Tuhan adalah “ada” paling tinggi yang dapat dipikirkan manusia. Tuhan adalah puncak pikiran manusia yang dapat dia pikirkan.

Baca Juga  Berjalan di Atas Keyakinan yang Ekstrim

Frasa ‘suatu wujud yang tidak dapat dipikirkan lagi sesuatu yang lebih besar daripadanya’ berangkat dari Mazmur: 14 yang bunyinya: “Orang bodoh berkata dalam dirinya ‘tidak ada Tuhan’.” Anselmus bermaksud mengatakan dengan tegas bahwa frasa tersebut dapat dipahami maksudnya oleh orang bodoh (yang mana ia identifikasikan sebagai ateis).

Dalam pikiran Anselmus, orang bodoh itu akan mengakui hal tersebut, namun akan mengatakan bahwa wujud tersebut hanya ada dalam pikirannya. Akan tetapi, Anselmus berargumen bahwa sesuatu yang dapat dipahami tidak hanya eksis dalam pikiran, melainkan juga dalam realita. Karena itu, orang bodoh akan berkontradiksi dalam pikirannya, ia akan mengkorespondensi wujud tersebut dalam realita.

Kritik Atas Ontologis

Dari pemahaman di atas, selanjutnya akan timbul sebuah kritik: “Sesuatu yang dipikirkan belum tentu benar-benar nyata dalam realita.” Secara prinsip, dari memikirkan sesuatu tidak pernah dapat ditarik kesimpulan padake eksistensi nyata yang dipikirkan itu.

Dari analisis sebuah konsep, tak pernah diketahui apakah yang dikonsepsi itu benar-benar nyata atau tidak. Pikiran atau konsep tidak memastikan bahwa objek yang kita pikirkan ada dalam realita. Dengan kata lain, kritik terhadap argumen ini ialah konsep mengenai ‘Sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak dapat dipikirkan’ tidak sungguh-sungguh ada.

Kritik semacam ini dapat ditanggapi bahwa sebuah konsep bukanlah hanya sebuah pengertian abstrak yang dapat didefinisikan. Konsep juga merupakan sebuah usaha untuk memahami sesuatu. Secara singkat, konsep mengungkapkan apa yang ada dalam realita. Konsep berangkat dari pengalaman manusia, dan pikiran manusia berakar pada pengalamannya.

Maka, konsep manusia mengenai Tuhan pasti berangkat dari suatu pengalaman. Manusia mengalami suatu pengalaman tentang ketakterhinggaan yang mendorongnya merumuskan konsep ‘Suatu wujud yang sesuatu lebih besar daripadanya tidak dapat dipikirkan’ yang disebut sebagai Tuhan.

Baca Juga  Antonio Gramsci: Intelektual Organik Tak Akan “Membeo” pada Penguasa

Lebih lanjut, bagi Anselmus sesuatu yang bereksistensi tentu lebih sempurna daripada yang tidak bereksistensi. Oleh karena itu, wujud sempurna yang disematkan kepada Tuhan harus benar-benar bereksistensi, sehingga dengan sendirinya Tuhan harus bereksistensi. Jika Tuhan tidak bereksistensi, tentu ia akan menjadi tak sempurna.

Argumentasi Kosmologis

Argumen ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles dengan mengidentifikasi Tuhan sebagai penggerak yang tidak digerakkan, the unmoved mover. Ide ini kemudian dielaborasi oleh al-Kindi, Ibnu Sina, dan Thomas Aquinas.

Ide sentral dalam argumen kosmologis ialah adanya rangkaian hukum sebab-akibat (kausalitas) pada alam semesta yang harus berakhir pada sebab pertama, yang disebut Tuhan. Secara singkat, pembuktian eksistensi Tuhan didasarkan atas alam semesta yang diasalkan dan tergantung pada sesuatu di luar dirinya.

Secara agak panjang, argumen kosmologis bertitik tolak dari bahwa segala sesuatu di alam semesta tidak memiliki kuasa dari dirinya sendiri untuk bereksistensi. Eksistensi sesuatu berasal dan bergantung pada sesuatu di luar dirinya (liyan).

Liyan itulah yang menyebabkan keberadaan eksistensi sesuatu. Seperti contoh bahwa seorang manusia berasal dan bergantung pada eksistensi orangtuanya; sang orangtua bergantung pada kakek-nenek, dan begitu seterusnya.

Pangkal Segala Eksistensi

Ketergantungan eksistensi tersebut tidak mungkin tanpa akhir. Pasti ada sesuatu yang yang eksistensinya ada pada dirinya sendiri dan tidak bergantung pada sesuatu yang lain. Jika tidak demikian, maka tidak ada penjelasan dari eksistensi segala sesuatu. Pasti ada suatu pangkal eksistensi, dan pangkal eksistensi inilah yang disebut sebagai Tuhan.

Argumen kosmologis dapat dijelaskan dengan penjelasan lain meskipun nampak mirip. Dalam pemikiran Thomas Aquinas, pergerakan adalah transformasi potensial menjadi aktual. Segala sesuatu yang bergerak niscaya memiliki potensi bergerak, yang kemudian potensi ini diaktualisasikan menjadi sebuah gerakan.

Baca Juga  Gejala Kematian Peradaban Ilmu

Potensi gerak yang dimiliki suatu benda tidak mungkin diaktualisasikan oleh benda itu sendiri. Tidak mungkin secara bersamaan suatu benda bersifat potensial dan aktual. Aktualisasi potensi hanya mungkin dilakukan oleh sesuatu di luar dirinya.

Semua ini tentu terjadi secara terus menerus dan beruntun kepada suatu aktualisator sebelumnya. Akan tetapi, bagi Thomas, kemunduran tak terbatas tidak dapat dimengerti. Pasti ada pangkal dari segala gerakan tersebut, yakni penggerak yang secara aktual bergerak dengan sendirinya serta tidak memiliki penggerak. Dan lagi-lagi, pangkal inilah yang disebut sebagai Tuhan.

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
6 posts

About author
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tertarik dengan isu keislaman, kemanusiaan, dan lingkungan
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds