Tafsir

Mungkinkah Membuat Terjemah Resmi Al-Qur’an?

3 Mins read

Proses pewahyuan kepada Nabi Muhammad di tanah Arab meniscayakan wahyu al-Qur’an turun dengan bahasa Arab, bahasa kaum Nabi Muhammad, sebagaimana para nabi sebelumnya mendapatkan wahyu sesuai dengan bahasa kaum masing-masing (QS. 14: 4). Hal ini agar ajaran para nabi membumi dengan media bahasa dan pendekatan kultural yang menyertai wahyu tersebut. Dengan demikian, masyarakat objek dakwah diharapkan tidak akan asing dengan ajaran yang dibawa para nabi.

Al-Qur’an, di samping secara keseluruhan sudah nampak jelas berbahasa Arab, juga kembali menegaskan di beberapa kesempatan mengenai bahasa Arab yang digunakannya. QS. 12:2 menegaskan, “Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai al-Qur’an berbahasa Arab, agar kalian mengerti.”  Demikian pula dalam QS. 20:113; 26: 195; 41:3; 43:3, 44; 42:7; 43:3, dan; 46:12.

Bahkan lebih tegas lagi, QS. 39:28 menyatakan bahwa al-Qur’an yang berbahasa Arab tidak kebengkokan di dalamnya sehingga ia dapat menjadi pedoman bahasa Arab (QS. 13:37). Tuduhan orang-orang kafir bahwa Nabi Muhammad pernah mendapatkan inspirasi atau ajaran dari seorang –dalam beberapa riwayat, dikatakan orang tersebut bernama Jabr seorang Nasrani- dijawab oleh al-Qur’an dengan logika bagaimana bisa seorang ‘ajm (non-Arab) mengajarkan sebuah ajaran berbahasa Arab yang memiliki sastra yang luar biasa (QS. 16: 103).

Meskipun diturunkannya al-Qur’an dalam bahasa Arab memiliki hikmah agar ia dapat diterima oleh masyarakat pada waktu Nabi Muhammad mendapat wahyu, bukan berarti al-Qur’an ditujukan semata kepada orang Arab. Al-Qur’an ditujukan kepada seluruh umat manusia sebagai pelajaran dari Allah dan sebagai obat hati (QS. 10:57). Risalah Nabi adalah risalah universal yang tidak lekang oleh zaman dan terbatas oleh ruang, sebagai rahmat bagi sekalian alam.

Al-Qur’an sebagai suatu kitab suci yang mengandung sastra tinggi dalam bahasa Arab akan menemui kesulitan ketika diterjemahkan. Menurut Fazlur Rahman, seorang cendikiawan muslim neomodernis, terdapat dua kesulitan dalam menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa lain secara fasih.

Baca Juga  Konsep Syafa’at dalam Pandangan Fazlur Rahman

Pertama, gaya bahasa dan ungkapan al-Qur’an. Kedua, kenyataan bahwa al-Qur’an bukan benar-benar sebuah “kitab” sebab tidak ada seorang pun yang pernah “menulisnya”: al-Qur’an adalah wahyu ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat wahyu, yang bersumber dari Allah.

Pendapat Para Ulama

Manna’ al-Qaththan merangkum beberapa pendapat ulama mengenai penerjemahan al-Qur’an. Pertama, mengenai terjemah harfiyah, yaitu mengalihbahasakan kata per kata dalam suatu bahasa (dalam konteks ini bahasa Arab al-Qur’an) ke dalam bahasa lain sedemikian rupa dengan susunan dan tata bahasa yang sama. Hal ini tidaklah mungkin dilakukan sebab susunan dan tata bahasa Arab berbeda dengan lainnya.

Sebagai contoh, jumlah fi’liyah (kalimat verbal/ verbal sentence) dalam bahasa Arab mendahulukan fi’il (kata kerja) atas fa’il (subjek), yang mana berbeda dari bahasa Indonesia atau Inggris yang mendahulukan subjek dari kata kerja. Singkatnya, terjemah harfiyah tidak mungkin dilakukan sebab akan mengacaukan susunan kalimat yang berimbas pada kacaunya makna, dan dengan demikian, Manna’ al-Qaththan menyebut tentang haramnya model penerjemahan ini.

Kedua, terjemah maknawiyah. Sebelum membahas pengertiannya, terlebih dahulu patut diketahui mengenai dua makna yang dimiliki al-Qur’an: makna asli dan makna sanawi atau sekunder. Makna asli ialah makna yang dipahami sama dengan teks oleh setiap orang yang mengetahui lafaz secara mufrad dan mengetahui segi susunannya secara global. Adapun makna sanawi adalah karakteristik susunan kalimat yang membuatnya berkualitas tinggi atau memiliki nilai sastra yang unggul.

Para ulama membolehkan terjemah maknawiyah dalam penerjemahan makna asli kepada kalangan awam. Meski begitu, penerjemahan makna asli akan sedikit banyak menghilangkan nilai makna sanawi yang mengandung keindahan, atau “rasa bahasa”-nya yang dinamakan “rasa bahasa” yang juga membuat satu bahasa berbeda cara kefasihannya. Contoh sederhana, kalimat gaul “kok gitu sih?” akan sulit dirasakan “rasa bahasa”-nya ketika disampaikan dalam kalimat formal “mengapa/ bagaimana bisa begitu?”

Baca Juga  Robert of Ketton, Penerjemah Pertama Al-Qur'an yang Kontroversial

Di samping itu, beberapa lafaz yang musytarak (memiliki makna beragam) ketika diterjemahkan, sang penerjemah akan memilih satu dari sekian makna yang tersedia sehingga secara langsung akan mereduksi keluasan makna al-Qur’an. Beberapa ulama membatasi kebolehan penerjemahan al-Qur’an hanya dalam kadar darurat dalam menyampaikan dakwah. Bagi mereka yang ingin mempelajari al-Qur’an secara langsung, maka mutlak harus mempelajari bahasa Arab.

Ketiga, terjemah tafsiriyah. Penerjemahan ini berarti mengalihbahasakan sekaligus menafsirkan al-Qur’an dengan makna, pengetahuan, dan pemahaman yang dimiliki penerjemah atau penafsir. Terjemah model ini tidak memiliki halangan, sebab dengan demikian al-Qur’an dapat sampai kepada seluruh umat manusia yang beragam bahasa dan budayanya.

Siapa sangka Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, sempat membolehkan membaca terjemahan al-Qur’an dalam bahasa lokal ketika salat bagi mereka yang tidak mengetahui bahasa Arab atau tidak sempat mempelajarinya. Baginya, al-Qur’an adalah makna yang ditunjukkan terlepas dari bahasa Arab yang dipakainya, bukan pada taraf lafaz Arabnya. Akan tetapi, diriwayatkan kemudian bahwa ia telah mencabut fatwa tersebut. Pendapat tersebut ditentang oleh jumhur ulama yang dengan tegas mengatakan bahwa dinamakan al-Qur’an adalah lafaz dan maknanya.

Membuat Terjemahan Resmi, Mungkinkah?

Fazlur Rahman menulis tentang tidak mungkinnya membuat terjemahan al-Qur’an secara resmi dan otoritatif. Hal tersebut menurutnya akan mengancam untuk menggantikan praktik al-Qur’an yang berbahasa Arab, baik dalam sumber ajaran maupun ibadah. Beragam mazhab kalam (teologi) dan fikih mengaku berakar dari al-Qur’an. Ketika penerjemahan al-Qur’an dilakukan, penerjemah cenderung tidak bisa menerjemahkan sama persis dengan kalimat yang ditunjukkan al-Qur’an itu sendiri; ia cenderung akan menerjemahkan dengan model ketiga yaitu terjemah tafsiriyah.

Ketika penerjemahan al-Qur’an yang “resmi dan otoritatif” dilakukan, tulis Rahman, sang penerjemah akan menafsirkan lafaz al-Qur’an dengan dipengaruhi sedikit banyak oleh kecenderungan mazhab kalam maupun fikih yang ia anut. Di samping itu juga akan mereduksi makna lafaz musytarak, sebagaimana telah disebutkan di atas. Dengan demikian, terjemah “resmi dan otoritatif” akan menekan kekayaan dan keragaman dalam Islam.

Langkah bijak yang ditawarkan oleh Rahman adalah hendaknya penerjemahan al-Qur’an diserahkan kepada individu atau kelompok (organisasi) yang dapat selalu mengembangkan makna al-Qur’an. Islam tidak memiliki ‘gereja’ resmi, tidak pula dapat memiliki terjemahan resmi al-Qur’an.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Baca Juga  Menghidupkan Spiritualitas di Era Modern dengan Neo Sufisme
Avatar
6 posts

About author
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tertarik dengan isu keislaman, kemanusiaan, dan lingkungan
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds