Dalam buku Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia yang ditulis oleh Robert W. Hefner, dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, salah satu kelompok yang paling keras menentang pemerintahan otoriter tersebut adalah kelompok militan Islam
Munculnya kelompok militan saat itu, tidak bisa dilepaskan karena kebijakan politik pemerintahan Orde Baru yang dianggap meminggirkan ‘Islam politik’. Hefner mengemukakan bahwa semakin militannya kader DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) pada 1980-an dikarenakan pemerintahan Soeharto saat itu yang menolak rehabilitasi partai masyumi (Hefner,2001:202).
Padahal menurut Fachry Ali dan Bahtiar Effendy dalam buku Menempuh Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, awal naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan, semula memberikan harapan kembalinya Islam dalam panggung politik nasional.
Akan tetapi hal itu ternyata tidak terealisasi karena pemerintah Soeharto menolak untuk merehabilitasi Masyumi, bahkan meskipun Partai Muslimin Indonesia sebagai ganti Masyumi sudah dibentuk, tetapi ruang gerak mantan pemimpin Masyumi sangat dibatasi, bahkan dilarang (Ali dan Effendy, 1986:108).
Khamami Zhada pun dalam bukunya Islam Radikal, menjelaskan bahwa Islam poitik sendiri menjadi sasaran kecurigaan ideologis dan dianggap dapat membahayakan pemerintahan Soeharto. Di awal pemerimtahannya, pemerintahan Soeharto menunjukkan sikap yang tidak aspiratif terhadap umat Islam.
Dapat dikatakan, Soeharto melakukan depolitisasi dan deideologisasi sebagai sebuah rekayasa politik untuk memperlemah dan menekan potensi Islam politik. Soeharto membonsai politik Islam karena dianggap bisa menjadi ancaman.
Akibatnya, Pemilu pertama pada pemerintahan Soeharto (1971), Islam politik tidak memiliki kekuataan yang kuat untuk menandingi kekuasaan Soeharto. Bahkan pada 1973, jumlah partai politik Islam dibatasi dan kemudian dikenal dengan adanya fusi partai (Zada,2002: 29-31).
***
Sementara itu, Bahtiar Effendy dalam buku Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, dengan mengutip pendapat Herold Crouch (dalam Effendy,2009:121) berpendapat bahwa militer memainkan peranan yang penting dalam menanamkan sikap yang penuh curiga terhadap Islam politik tersebut.
Hal tersebut, karena pengalaman sejarah bagaimana kelompok muslim (seperti Darul Islam) pernah terlibat dalam pertempuran bersenjata dengan militer, diperparah dengan adanya pemberontakan PRRI dan keterlibatan Masyumi.
Kecurigaan dan antagonisme politik ini, yang antara lain, disebabkan oleh apa yang sementara pihak dianggap sebagai “ideologisasi Islam”, pada umumnya telah menyebabkan Islam-khususnya Islam politik pada posisi pinggiran. Sampai pada pertengahan dasawarsa 1980-an, seperti disimpulkan oleh Donald K. Emerson, dilihat dari perspektif manapun, konstitusional, politik, birokrasi, legalistk, dan bahkan simbolik, Islam telah “terkalahkan”.
“Pengkalahan” Islam ini dimaksudkan untuk memotong “gigi politik” Islam, karena Islamlah yang selama ini dianggap sebagai pesaing politik utama pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Ditambah dengan faktor Islam sebagai ideologi dan dasar perjuangan politik umat, untuk waktu yang lama, Islam pernah dianggap sebagai sesuatu yang mengancam konstruksi (ideologi-politik) negara-bangsa (Effendy, 2001: 144; Zhada, 2002: 35).
Hefner mengemukakan bahwa kondisi tersebut memancing kemarahan di kalangan umat Islam, hal tersebut semakin diperparah dengan munculnya wacana kristenisasi. Tidak berhenti di situ, pada akhir tahun 1970-an dan tahun-tahun selanjutnya, dimana media massa mengalami perkembangan pesat akibat lonjakan permintaan dari kalangan pembaca kelas menengah kota. Pada masa-masa itu Grup Kompas-Gramedia yang dimiliki kelompok Katholik mulai menempati posisi dominan dalam jajaran media cetak nasional.
Hal itu merupakan suatu kerugian bagi DDII. Saat itu, DDII menuding Kompas punya koneksi dengan kelompok Katholik China yang saat itu dekat dengan pemerintah. Bagi DDII, hal ini mendorong kemarahan umat Islam. Kekecewaan DDII terhadap berbagai kondisi sosial politik tersebut justru mendorong terciptanya kader-kader yang militan pada tahun-tahun 1980-an (Hefner,2001: 200-202).
Asas Tunggal dan Puncak Ketegangan
Pada periode 1980-an, pemerintah menggagas apa yang disebut sebagai asas tunggal Pancasila. Kebijakan tersebut menuai polemik, termasuk di kalangan umat Islam. Pada tahun 1984, terjadi kekacauan politik yang kemudian disebut sebagai ‘insiden Tanjung Priok.
Saat itu, umat Islam yang menolak Asas Tunggal Pancasila mendapat perlakukan represif dari pemerintah, dalam hal ini melalui tentara. Kondisi tersebut kemudian memancing ‘aksi balas dendam’ sehingga terjadi bom Natal pada tahun 1984 dan bom Borobudur pada awal 1985. Hal tersebut, sebagaimana yang dicatat oleh Solahudin dalam bukunya yang berjudul dari NII sampai JI (Solahudin, 2011: 160).
Perkembangan itu, membuat sebagaian masyarakat muslim di Indonesia merasa kecewa. Mereka merasa bahwa, tidak saja tokoh-tokoh mereka disingkirkan dari arus utama politik bangsa, bahkan diskursus politik pun tidak mencerminkan sebuah negara yang bermayoritaskan muslim. Mereka merasa bahwa pemerintahan Soeharto yang didominasi oleh militer telah memperlakukan para pemimpin atau aktivis politik Islam seperti “kucing kurap”.
Maka bisa dipahami banyak dari mereka yang melihat bahwa politik pengasastunggalan Pancasila sebagai upaya lebih jauh yang diambil oleh rezim untuk mendepolitisasi, jika bukan menghancurkan Islam.
Kekecewaan-kekecewaan religio-politis itulah yang mendorong terjadinya sejumlah insiden kekerasan yang diasosiasikan dengan aktivitas kelompok Islam. Tidak heran juga, kelompok yang paling keras menentang pemerintahan Soeharto justru dari kelompok-kelompok Islam (Effendy, 2009: 133-134).
Solahudin memaparkan, bahwa sebagian aktivis Islam memilih keluar dari jalur perjuangan politik formal, tidak bisa dilepaskan karna kebijakan politik pemerintah Soeharto yang meminggirkan para politisi Islam dari arena politik. Hal ini bisa dilihat juga bagaimana regenerasi kader Darul Islam saah satunya berasal dari aktivis yang dekat dengan DDII.
Selain meneruskan semangat dan ajaran Kartosuwiryo, Darul Islam pasca tahun 1980-an pun mulai terpengaruh pemikiran-pemikiran tauhid dari tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, seperti Sayyid Qutb, Abu Ala Maududi. Saat itu, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang didirikan oleh aktivis Masyumi tersebut banyak menerjemahkan karya-karya mereka, sehingga pemikiran mereka mempengaruhi gerakan Fundamentalis Islam di Indonesia (dalam hal ini Darul Islam).
Pada periode pemimpinan Soeharto, Darul Islam adalah organisasi bawah tanah yang masih aktif memperjuangkan tegaknya negara Islam (Solahudin, 2011: 119-120, 125).
Hubungan yang Akomodatif
Afan Gaffar (1993) mengemukakn bahwa pada tahun 1990-an, terjadi fenomena saling akomodasi antara Islam dan negara yang semakin transparan, karena visi dan orientasi dari generasi muslim baru berbeda dengan generasi sebeumnya.
Saat itu, aktivis muslim mempunyai visi menolak negara Islam dan memilih untuk memasuki sistem politik yang tersedia guna meraih akses yang besar dalam proses pembuatan keputusan.
Sejalan dengan itu, Bahtiar Effendy pun berpendapat bahwa harmonisnya hubungan antara Islam dan negara karena andil dari kemunculan intelektualisme Islam baru (yang padahal akar-akarnya sudah muncul sejak awal Orde Baru). Saat itu, substansialisme Islam secara kuat bergulir melahirkan format Islam politik yang salah satu gagasannya tidak mempertentangkan antara Islam dan konstruk negara Indonesia (Effendy,2009:333-334).
Editor: Dhima Wahyu Sejati