Perspektif

Pemuda, Mitos, dan Legenda “Indonesia Merdeka”

3 Mins read

Dulu saya katakan kepada anda bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman jagung berbuah. Kini saya katakan kepada anda bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman jagung berbunga.

Ir. Soekarno dalam Catatn Harian Moh. Hatta

Ada yang menarik ketika memasuki 17 Agustus di setiap tahunnya. Laksana bunga yang mulai bermekaran yang keharumannya kian ditunggu dan diidam-idamkan. 17 Agustus bukanlah perihal tanggal tanpa makna, dialah yang dikultuskan oleh masyarakat pribumi yang telah meyakini bahwa pada saat itu adalah sejarah monumental lahirnya “Indonesia merdeka”.

Lahirnya kemerdekaan Indonesia bukanlah tanpa sebab, yang oleh karenanya golongan tua dan golongan muda sempat bersikukuh dan bersitegang tentang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan. Maka, sekelas Soekarno dan Hatta pun tak akan menolak panggilan serta gejolak batin para pemuda yang haus akan kemerdekaan.

Kita mesti terlebih dahulu bersepakat bahwasanya 17 tahun sebelum Indonesia merdeka, atas nama bangsa, tanah air, dan bahasa, pemuda adalah instrumen pemersatu bangsa. Pemuda adalah simbol perlawanan terhadap imperium kolonialisme, imperialisme dan neoliberalisme.

Pemuda Menolak Fatalistik

Dari beberapa catatan historis di setiap belahan Nusantara, pemuda adalah corong penggerak perlawanan, penegak pembebasan, dan pelopor kemanusiaan. Bahkan, tokoh sekaliber Soekarno pernah mengatakan bahwa: “Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, tapi satu orang pemuda dapat merubah dunia.”

Tapi, catatan romantisme ini kian tak berbanding lurus dengan kondisi realitas sosial saat ini. Psikososial pemuda yang kian kehilangan sensitivitas dan miskin akan relasi sosial yang mengindikasikan lahirnya sifat individualistik, apatis nan ceroboh membuat simbolisme dalam dirinya kian bias. Mitos yang telah bertahan lama pun mulai rapuh dan memudar seiring berjalannya waktu.

Kaya akan kreatifitas, berdaya, dan responsibilitas yang kuat adalah bagian yang seharusnya tak terpisahkan dari pemuda saat ini. Dan itulah sebaik-baik DNA serta modal sosial bagi pemuda. Kini, kita tidak menginginkan pemuda yang mati suri dengan nalar dan perasaannya, pemuda yang pesimistis dan pemuda yang kian fatalistis. Hal itu pun tak pernah diwariskan oleh oknum intelektual muda bangsa ini sebelumnya.

Baca Juga  Hari Lahir dan Fakta Terkait Bahasa Indonesia yang Luput dari Perhatian Publik

Tepatlah tutur Kuntowijoyo, bahwasanya “Seorang cendekiawan muslim adalah dia yang senantiasa mengoreksi perjalanan sejarahnya sendiri.” Kini bukanlah saatnya terjebak dalam romantisme sejarah. Kekolotan, kebodohan, dan marjinalisasi sosial adalah hal yang harus enyah dan dibumihanguskan di seantero Nusantara ini.

Pemuda mesti sadar dan mulai berbenah diri, bahwa koreksi besar-besaran dibutuhkan agar keberlangsungan cita-cita kemerdekaan indonesia tetap berada pada porosnya. Karya nyata untuk bangsa adalah manifestasi semangat muda mereka. Kondisi ekonomi, sosial, politik, dan budaya adalah sebagian kecil dari dinamika dan problematika bangsa yang juga jadi tugas mereka.

Sebagai corong peradaban, isu temporal tak boleh luput dari kacamata pemuda. Responsibilitas kian dipertaruhkan di tengah arus teknologi informasi yang kian membelenggu aktivitas sosial masyarakat saat ini. Parade kemerdekaan tidak boleh hanya pada tatanan simbol dan tatanan ideologis. Karena sebaik-baik refleksi kemerdekaan adalah kemampuan kita untuk bersenyawa dengan realitas sosial masyarakat.

Mitos Kemerdekaan

Seperti apakah kata “Merdeka” itu? Apakah ukuran kemerdekaan adalah banyaknya beton-beton dan jalan layang yang berhamburan di perkotaan? Mazhab kemerdekaan seperti apakah yang kita konsumsi saat ini?

Tentu tafsiran-tafsiran ini adalah sikap nihilistik sebagian masyarakat yang kian termarjinalkan. Bahkan, cara elit menerjemahkan konsepsi kenegeraan kita saat ini pun kian kekanak-kanakan. Negara yang niscayanya mendistribusikan keadilan dan mencerdasakan kehidupan bangsa, malah menghardik nilai-nilai luhur serta cita-cita kemerdekaan.

Absurditas ini kian menjarah di setiap sektor kehidupan bangsa. Padahal menurut John F. Kennedy, untuk membangun suatu bangsa yang unggul, usaha dan keberanian saja tidak cukup tanpa tujuan dan arah perencanaan. Merdeka itu mesti berdaya dan berdaulat. Sistem yang konyol nan absurd ini mestilah enyah dari bumi pertiwi.

Baca Juga  Gagasan Politik Hijau Harus Menjadi Fokus di Pesta Demokrasi 2024

Kini kita dipertontonkan cara bernegara oleh kaum plutokrasi nan oligarki di negeri ini. Mungkinkah ini yang dimaksud oleh Yuval Noah Harari bahwa kita memang hidup dalam kubangan mitos-mitos. Dan mitos jualah yang mempersatukan kita, termasuk mitos kemerdekaan.

Maka, refleksi kemerdekaan adalah jalan pulang untuk menelisik kembali semangat dan jiwa bangsa yang kian terkubur. Kita mesti melakukan kerja-kerja perubahan. Bahwa tantangan kita kedepan kian kompleks dan dinamis. Prinsip kolaboratif antara golongan tua dan muda mesti didayagunakan kembali untuk membangun bangsa ini.

Jalan Pulang

“Masih ingatkah kau jalan pulang? Tak ada jalan dan tak ada pulang, kita di atap langit nan di bawah rata belaka, suatu saat biru di saat lain merah kesumba”

Sepengal puisi Sapardi Djoko Damono ini mengingatkan kita kembali bahwasanya negara ini terlalu jauh melangkah tapi meninggalkan sejarah, cita-cita dan nilai suci nan luhur bangsa ini. Arus modernisasi kian mengkerdilkan jiwa bangsa ini. Mulai dari pemudanya yang mati suri sampai para elitis yang kian memperkaya citra diri.

Kerja yang nirsubstansial dari para pemangku kebijakan mestilah digerogoti oleh semangat perlawanan. Karena sepakat atau tidak sepakat, perlawanan terhadap kebijakan publik yang tidak berpihak pada rakyat adalah cara agar menjaga dan merawat nilai dan kesucian kemerdekaan. Dan poros penggeraknya adalah pemuda pastinya.

Tentu di usia yang tak lagi muda ini, 75 tahun adalah bukti bahwa negara ini mampu eksis berkat pengorbanan dan perjuangan jasa para pahlawan terdahulu. Merdeka bukanlah narasi verbalisme, tapi merdeka adalah jalan pulang, jalan pemanusiaan dan jalan pembebasan.

Teringat kutipan dari Gus Dur bahwa “Menyesali nasib tidak akan mengubah keadaan. Terus berkarya dan bekerjalah yang membuat kita berharga.” Maka, itulah sebaik-baik pengingat dan sebaik-baik kontemplasi diri. Dirgahayu Indonesiaku, jayalah selalu negeriku!

Baca Juga  Agama Mana yang Paling Benar?

Editor: Rifqy N.A./Nabhan 

Avatar
4 posts

About author
Sekbid RPK PC IMM KOTA MAKASSAR
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds